Jumat, 01 Juli 2011

JIKA KAU MENGERTI AKU (Novel)

MURID BARU

Sudah jadi tradisi anak sekolahan bila ada jam pelajaran kosong, kelas ribut. Hari ini Bu Dewi, guru biologi tidak masuk karena sakit. Di kelas anak-anak ribut sekali. Ada yang ngerumpi, bercanda, timpuk-timpukkan kertas dan ada juga yang bernyanyi-nyanyi.
Di waktu senggang seperti itu seharusnya mereka manfaatkan untuk belajar sendiri seperti membaca buku, berdiskusi atau mengerjakan PR yang belum dikerjakan seperti halnya yang dilakukan Ungke, siswa terpandai di kelas dan juga ketua kelas, disela-sela gemuruhnya keadaan kelas yang tak terkendali itu justru ia memanfaatkannya dengan membaca buku biologi. Ungke memang siswa teladan di sekolah ELITE, selalu juara satu di kelas, absennya bersih, tidak punya daftar hitam di sekolah, aktif di organisasi OSIS dan olahraga khususnya basket.
Dive berlari menuju kelas, hendak menyampaikan berita gembira kepada sahabatnya, Ungke, yang barusan diketahuinya dari ruang kepala sekolah.
“Ke, ada anak baru, cewek, cantik, putih dan rambutnya panjang sebahu hitam lurus. Cakepnya…wuihhh kayak model!” Cerita Dive bersemangat. Namun, Ungke menanggapinya biasa saja. Ungke malah asyik membaca buku tanpa menoleh sedikitpun pada Dive. Ungke sama sekali tidak tertarik dengan cerita Dive atau dengan kata lain Dive dicuekkin.
Dive yang merasa dicuekkin pun jengkel. “Dibandingkan Lisa …keciill,” pancing Dive ketus. Dive sengaja memancing Ungke marah agar dia tahu kalau orang ngomong dicuekkin itu nggak enak, apalagi sama sohib sendiri.
Mendengar Dive berkata seperti itu, hati Ungke langsung panas. Matanya melototi muka Dive sebagai tanda tak suka kalau Dive berkata seperti itu. Ungke tidak suka bila ada orang yang membanding-bandingkan Lisa, cewek incerannya dengan cewek lain.
Melihat pandangan Ungke yang sinis, Dive tahu Ungke marah.
“Marah ya gue bilang begitu? Marah lu nggak seberapa dibandingkan rasa sakit hati ini. Gue bicara sama elu, eh elunya malah cuek. Emangnya enak dicuekkin? Gue bicara sama elu karena elu benda hidup yang bisa mendengarkan dan mengerti perasaan trus meresponnya! Elu kan sahabat gue!” Suara Dive marah-marah.
Bukannya minta maaf, Ungke malah berbalik membentaknya. “Emangnya kenapa kalau ada anak baru ?!”
“Ya harusnya seneng dong. Apalagi anak barunya cakep. Denger-denger sih dia akan masuk ke kelas kita,” suara Dive mulai antusias lagi bercerita.
“Darimana elu tahu?” Tanya Ungke yang masih jengkel.
“Gue kan tadi ke bawah, ke toilet. Sehabis dari toilet, gue ngeliat ada anak baru sama bokapnya di ruang kepala sekolah dan di situ juga ada Bu Ronyta, wali kelas kita.”
“Lu tahu siapa namanya? Asal sekolahnya dari mana?”
“Gue belum tahu,” jawab Dive sambil menaikkan bahunya.
“Payah! Ngasih informasi nggak jelas.” Ungke kembali melanjutkan bacaannya yang tadi sempat terhenti karena meladeni Dive ngomong.
Enru yang tempat duduknya di dekat jendela, melihat Bu Ronyta sedang berjalan menuju kelas.
“Eh diam! Diam! Ada Bu Ronyta datang!” Enru berseru pada teman-temannya.
Anak-anak yang tadinya berhamburan karena ngerumpi, langsung ngacir kembali ke tempat duduknya masing-masing. Mereka semua duduk dengan rapi dan pura-pura membaca buku. Mereka juga memungut sampah-sampah kertas yang ada di sekitar tempat duduk mereka. Mereka tidak membuangnya di tempat sampah, tetapi dimasukkin ke kolong meja dengan alasan karena DARURAT.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa Bu Ronyta yang datang bersama anak baru yang akan diperkenalkannya di kelas.
“Selamat pagi Bu,” sahut anak-anak serempak. Mereka mulai saling berbisik dengan teman sebangkunya, depan, belakang, dan samping kanan-kiri.
“Wah, kayaknya dia bakalan jadi kembang sekolah yang kedua nih setelah Lisa,” bisik Novi yang duduk di bangku barisan depan ke Lia, teman sebangkunya.
“Ya sudah pasti! Orangnya cantik banget sih,” Lia mengiyakan.
“Ungke…” Dive menyentak-nyentakkan lengan Ungke. “Itu anak barunya. Gue benar kan dia masuk kelas kita,” bisik Dive, tapi lagi-lagi Ungke tidak menanggapinya. Ungke masih serius dengan buku yang dibacanya. Ungke sama sekali belum melihat wajah anak baru itu.
“Lain yang anak pintar…tahan godaan,” suara Dive keki karena dicuekkin lagi. Tapi kali ini Dive tak mau ambil pusing seakan sudah kebal dicuekkin. Dive kembali memandangi wajah anak baru yang cantik jelita itu.
“Mimpi apa ya semalam bisa punya teman baru yang cantik kayak dia,” gumam Dive seraya tersenyum-senyum sendiri.
“Anak-anak, kalian akan punya teman baru…” belum selesai Bu Ronyta berbicara tapi anak-anak sudah memotongnya.
“Namanya siapa Bu!” Teriak murid cowok yang duduk di bangku paling belakang, Galuh.
“Pindahan dari mana Bu?” Teriak murid cowok yang duduk di bangku pojok, Nando. Pertanyaan datang dari sana-sini. Suasana kelas berisik seperti pasar.
“Sudah diam!” Teriak Bu Ronyta menggelegar menunjukkan muka marah dan mata melotot. Nah loh… keluar deh sifat galaknya.
“Kalian ini berisik sekali! Ini sekolahan! Di kelas bukan pasar! Kalian ini pelajar, intelektual, punya etika tata cara bertanya yang baik! Kalau mau bertanya itu satu-satu dengan suasana tenang dan tidak berisik! Jangan seperti pasar! Emangnya kalian mau jualan? Tanya sana! Tanya sini!” Suara Bu Ronyta dengan nada tinggi membuat anak-anak ketakutan.
Mereka diam menundukkan kepala. Mereka takut kalau melihat Bu Ronyta marah seperti itu.
“Ternyata bukan gue aja yang dicuekkin. Bu Ronyta sedang marah pun dia nggak peduli. Dia masih serius dengan bukunya,” gumam Dive pelan seraya menatap Ungke yang masih asyik membaca buku, tergeleng-geleng.
Setelah suasana kelas tenang, Bu Ronyta pun mulai mereda marahnya.
“Langsung saja,” Bu Ronyta mempersilahkan anak baru itu untuk memperkenalkan dirinya.
“Selamat pagi teman-teman,” sapa anak baru itu bersahabat.
“Selamat pagi nona manis,” sahutan spontan yang kompak dari anak-anak cowok. Anak baru itu tersipu-sipu mendapat salam seperti itu.
Sementara Ungke masih belum melihat wajah anak baru itu. Ungke mencoba mengingat-ingat suara lembut yang pernah akrab ditelinganya. Sebab, suara anak baru itu persis dengan suara teman lamanya.
“Nama saya Anye Anggrarespati Erlangga.”
Ungke langsung meletakkan bukunya ketika anak baru itu menyebutkan namanya dengan sangat lengkap. Ia memalingkan wajahnya ke depan. Ia sungguh tak percaya dengan kenyataan yang dilihatnya. Ia langsung berdiri terpana.
“Anye, kaukah itu?” Tanya Ungke sungguh tak percaya.
“Ternyata anak baru itu adalah teman lamanya,” gumam Dive menyadari.
Anye termangu, ia juga tidak menyangka kalau ia akan sekelas lagi dengan makhluk yang selalu jahil padanya dan sekaligus dirindukannya.
Bu Ronyta memberi isyarat agar Anye melanjutkan lagi bicaranya.
“Saya pindahan dari Bandung. Saya sekolah di Jakarta karena papa saya mendapat tugas kerja di Jakarta,” Anye bercerita lagi.
“Ohhhh…,” lagi-lagi anak cowok yang selalu merespon anak baru itu berbicara.
Dive melihat wajah Ungke yang terpana. “Heh, Ungke jangan bengong. Lu pasti terpesona ya melihat wajah anak baru itu. Benarkan Ke, dia cantik kayak bidadari.”
“Anye, pasti kamu ingin kenal dengan dengan teman –temanmu,” tukas Bu Ronyta sangat ramah pada Anye padahal barusan saja tadi ia marah-marah pada murid-murid lamanya membuat mereka jadi cemburu sama Anye. “Oke anak-anak, sekarang gantian untuk perkenalkan diri kalian masing-masing. Mulai dari bangku depan paling ujung di sudut kanan.”
“Nama saya Enru,” siswa yang duduk di bangku paling ujung menyebutkan nama dan terus bergiliran sehingga tiba di bangku Ungke baris ke-3.
“Anye, kamu masih ingat aku?”
“Ka…kamu kan Ungke,” kata Anye terbata-bata. Ia masih terkejut dan tak percaya bisa berjumpa lagi dengan Ungke.
“Iya. Aku Ungke Adiwijayaningrat, temanmu waktu di Bandung. Ke mana-mana kita selalu berdua. Main sepeda, ke sekolah, ke puncak, ke pantai…” Ungke berusaha menyakinkan Anye. Namun, bicaranya mendadak berhenti karena Dive telah memotongnya.
“Ungke, ternyata lu udah kenal dia ya. Kalau gitu, gantian dong kenalannya. Ini perkenalan bukan cerita masa lalu!” Sambar Dive kesal.
“Huuuu…!” Anak-anak menyoraki Ungke.
Disoraki seperti itu Ungke jadi malu apalagi ia melihat Anye dan Bu Ronyta yang berdiri di depan kelas ikut menertawakannya dan ia pun duduk kembali seraya berharap orang-orang seisi kelas berhenti menertawakannya.
“Oh… jadi kalian berdua sudah saling kenal,” kata Bu Ronyta memandangi Ungke kemudian Anye.
“Iya Bu. Ungke teman lama saya,” sahut Anye.
“Kalau begitu… Ibu nggak salah dong menempatkan kamu duduk di sebelah Ungke,” putus Bu Ronyta langsung menentukan.
Dive yang duduk sebangku dengan Ungke jelas saja terkejut dengan keputusan Bu Ronyta yang seperti tidak mau berkompromi dulu dengannya. “Terus… saya duduk di mana, Bu?”
“Kamu di belakang saja. Kalau Anye yang duduk di belakang kan kasihan. Soalnya di belakang drakula semua,” sahut Bu Ronyta sedikit berkelakar yang mampu mengundang tawa murid-muridnya.
“Apa Bu? Saya duduk di sebelah Ungke?” Suara Anye nampak gembira.
Ungke juga senang duduk dengan cewek imut itu. Ungke juga merasa terkejut ternyata teman lamanya itu mengalami banyak perubahan. Rambutnya yang dulu selalu pendek, sekarang sudah panjang hampir sepinggang dan hitam terawat persis rambut cewek yang ada diiklan sampo. Kulitnya makin lama makin putih, bersih, mulus dan lebih terawat seperti cewek yang rajin ke tempat spa. Anye telah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan penuh pesona.
Anye berjalan menuju bangku yang akan didudukinya dengan jantung berdebar-debar. “Hai apa kabar?” Sapa Anye lembut di pinggir bangku yang akan didudukinya.
“Baik,” sahut Ungke. “Kamu sendiri apa kabar?” Tanya Ungke masih dengan malu-malu.
“Aku juga baik.” Anye masih berdiri karena Dive belum menyingkir dari tempat duduknya.
Ungke menyenggol lengan Dive seperti memintanya untuk segera pindah. Ungke tampak cuek ketika Dive merespon dengan memelototinya seperti enggan untuk pindah. Namun, akhirnya Dive mau menyingkir juga setelah ia melihat gesture tangan Bu Ronyta yang menyuruhnya pindah. Jelas saja Ungke menyambut pengorbanan Dive dengan hati sangat senang.
“Silahkan duduk,” Ungke mempersilahkan Anye duduk.
“Terimakasih.” Anye mulai duduk.
“Bu, saya belum kenalan sama dia!” Protes Dive.
Anak-anak yang duduk di bangku belakangpun juga ikutan protes. Maklum, mereka cowok semua. Anak-anak yang sudah berkenalan menertawai mereka yang belum berkenalan. Bu Ronyta pun juga ikut tertawa.
“Ya sudah, kalian nanti saja kenalannya,” tukas Bu Ronyta sembari tertawa. Sungguh tawa yang jarang dilihat anak-anak.
“Ya…Ibu begitu,” keluh Dive kecewa. Dive menatap Ungke dengan tatapan iri dan pasang muka bete sebelum ia melangkah menuju bangkunya yang ada di belakang. “Apes banget sih nasib gue. Kenapa juga mesti gue yang harus dipindahin duduknya kenapa bukan Ungke?” Dive menggerutu pada teman sebangkunya yang baru, Galuh.
“Makanya elu jadi orang jangan slengean. Bu Ronyta jadi lebih milih si anak baru itu untuk duduk sama anak pintar dan baik-baik kayak Ungke daripada sama elu. Bisa sama sablengnya nanti tuh anak baru kalau dia duduk sama elu, man,” kata Galuh terkekeh membuat Dive jengkel.
“Ah reseh banget sih lu jadi orang! Gue pindah nih?” Dive mencoba menebar ancaman tapi Galuh malah nantangin.
“Ya silahkan kalau lu mau pindah. Emangnya lu mau duduk di mana lagi?”
“Iya juga sih…” Dive menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia berusaha menutupi gengsinya. “Bangku udah pada penuh semua seperti yang lu lihat kan? Jadi gue terpaksa nih Luh duduk di sini. So, lu jangan geer ya. Kalau emang masih ada bangku kosong…ngapain juga gue duduk di sini.”
“Ah dasar lu alasan aja! Masih bagus lu gue izinin duduk di sini. Coba kalau enggak? Mau duduk di mana lu?”
“Iya…iya deh… makasih tuan Galuh karena saya udah dibolehin duduk di sini,” kata Dive akhirnya mau mengalah dan mengeyampingkan gengsinya.
Sementara, Anye dan Ungke dari tadi hanya senyum-senyum saja seperti tidak tahu penderitaan Dive. Maklum baru pertama bertemu. Keakraban persahabatan mereka akan terlihat esok. Besok-besoknya pasti mereka bercanda, tertawa, bermain, bahkan berantem. Kemanapun pergi, mereka pasti akan selalu bersama.
Tak berapa lama kemudan, bel istirahat telah berbunyi.
“Oke anak-anak sekarang kalian istirahat dulu. Ingat kalau waktu istirahat sudah habis, kalian segera masuk ke kelas dan jangan ada lagi yang di luar,” pesan Bu Ronyta mengingatkan dengan sangat tegas.
Hanya sebagian anak-anak yang istirahat. Mereka yang tadi belum berkenalan, langsung datang mengerubungi Anye untuk berkenalan, terutama cowok. Dive termasuk salah satu dari gerombolan cowok-cowok itu.
“Eh apa-apaan sih. Bukannya pada istirahat,” suara Ungke marah tapi tidak diperdulikan. Ungke malah diusir dari tempat duduknya. Ironinya, Anye malah membiarkan anak-anak itu untuk berkenalan, bikin Ungke jengkel. Ungke tahu sifat Anye memang selalu begitu, orangnya mudah berkenalan, sikapnya banyak gerak, mudah bergaul dengan segala tipe orang, ramah dan baik hati sehingga dengan mudah dia mempunyai banyak teman. Waktu SMP dulu, siapa yang tidak mengenalnya. Anye lebih terkenal daripada Ungke.
Ungke menunggu anak-anak itu sampai selesai berkenalan. Tapi selesai berkenalan mereka bukan pergi malah mengajak Anye bercanda, ngobrol dan ketawa. Tapi Ungke menyabarkan hatinya. Ia masih setia menunggu Anye.
“Kalau ditinggal bisa gawat. Mereka cowok semua, nanti kalau terjadi apa-apa sama Anye bagaimana? Mereka semua kan cowok-cowok iseng. Lihat saja kalau mereka ngelakuin yang macam-macam. Gue tinju satu-satu sampai nggak bangun lagi,” gumam Ungke sendiri yang duduk di bangkunya Enru yang sudah turun istirahat.
Tak berapa lama kemudian, waktu istirahat yang cuma 30 menit berakhir. “Tet, tet, tet,” suara bel berbunyi keras.
“Huh, udah masuk!” Gerutu Ungke kesal begitu mendengar suara bel. Ungke berdiri sambil melihat jam tangannya, “cepat banget sih belnya. Gue aja belum istirahat.”
Saking jengkelnya, Ungke mengusir mereka dari tempat duduknya. “Sana-sana sudah bel.”
Mereka mencoba mengelak tapi Ungke menakut-nakuti mereka.
“Eh inget nggak, pesan Bu Ronyta? Sekarang udah bel, jadi kalian semua pada duduk yang manis dan rapi di tempat masing-masing.”
Mereka kembali ke tempat duduk masing-masing bukan karena takut dengan gertakan Ungke melainkan karena Pak Arsyad yang memiliki wajah angker sudah masuk ke kelas. Pak Arsyad tidak pakai basa-basi lagi. Ia langsung menulis di papan tulis. Anak-anak pun segera mengeluarkan bukunya dan menulis.
Anye bingung. Sepasang bola matanya berkeliling seisi kelas melihat teman-temannya yang langsung menulis. Suasana begitu hening.
“Namanya siapa? Kok guru itu nggak menyapa kita? Trus anak-anak kok pada diam kayak seperti pada ketakutan?” Tanya Anye pelan yang masih bingung dengan suasana sekolah barunya.
“Ini namanya Pak Arsyad, guru fisika yang paling galak. Dia mempunyai julukkan guru killer. Sekali dia dengar ada anak yang berisik maka dia akan langsung usir keluar,” suara Ungke berbisik pelan di telinga Anye. Mendengar itu Anye jadi bergidik ngeri.
“Hii… takut!”
Di dalam hatinya, nggak biasanya Ungke ngedumel dan baru kali ini ia bilang, “sial! Guru ini kenapa masuk sih padahal gue pengen banget ngobrol banyak sama Anye dan bertanya seputar hidupnya di Bandung sejak gue pindah ke Jakarta.”
“Duh… padahal aku pengin cerita banyak sama Ungke. Tapi nggak bisa karena gurunya masuk apalagi kata Ungke gurunya galak banget,” gumam Anye dalam hati.
Mereka berdua saling diam, serius mendengarkan penjelasan Pak Arsyad ketika guru itu menerangkan. Suasana belajar begitu tenang sekali, hanya Pak Arsyad yang berbicara. Tak ada satupun anak-anak yang berani nengok sana-sini atau ngobrol. Semua mata tertuju pada Pak Arsyad. Kesannya mereka memperhatikan Pak Arsyad yang sedang menjelaskan materi pelajaran. Padahal sesungguhnya mereka tegang dan deg-degan. Jantung juga udah dag-dig-dug nggak karuan kalau tiba-tiba Pak Arsyad memberikan pertanyaan trus kita nggak bisa jawab. Celakalah kau!
Setelah satu jam lamanya, pelajaran Pak Arsyad pun berakhir. Anak-anak bernafas lega. Masuk nggak basa-basi keluarpun demikian, langsung ngeloyor begitu saja.
Keinginan mereka untuk bisa ngobrol tertahan kembali karena Bu Sihombing, guru Bahasa Inggris sudah masuk ke kelas.
“Ini guru cepet banget sih masuknya, tunggu 10 menit kek biar gue bisa ngobrol sama Anye,” lagi-lagi Ungke menggerutu di hatinya. Padahal sebelumnya belum pernah Ungke seperti ini. Ungke biasanya selalu berharap gurunya masuk semua dan selalu tepat waktu.
“Ya…gurunya masuk, lagi. Aneh, guru-guru di sini kok pada on time banget sih,” gumam Anye dihatinya yang kecewa.
Dari pertama kali Anye masuk dan sampai jam terakhir ini tidak ada peluang waktu yang bisa dimanfaatkan untuk mereka bisa mengobrol tentang kehidupan yang mereka jalani selama berpisah.
“Tet, tet, tet.” Bel tanda pulang telah berbunyi. Anak-anak mengemasi bukunya dengan segera. Mereka ingin cepat pulang. Di bawah sana, papa Anye yang bernama Erlangga sedang menunggu.
“Bagaimana, kamu suka sekolah di sini?” Tanya papanya langsung ketika Anye baru muncul.
“Sepertinya gurunya galak-galak, pa. Saking galaknya…Anye sampai nggak bisa melirik,” jawab Anye sedikit berkelakar membuat papanya tertawa.
Kemudian Pak Erlangga melihat wajah tak asing lagi yang ada di samping Anye. “Sepertinya …saya pernah kenal kamu. Kalau nggak salah kamu Ungke kan yang dulu sering main ke rumah Om dan mengajak Anye bermain,” tebak Pak Erlangga.
“Betul Om. Saya Ungke,” jawab Ungke senang karena Pak Erlangga masih mengingatnya.
“Wah kamu sudah besar ya. Ganteng pula lagi,” puji Pak Erlangga yang membuat Ungke jadi geer.
“Jelek begini dibilang ganteng. Kayaknya papa harus pakai kacamata deh biar penglihatannya jelas,” kilah Anye yang tak ingin Ungke geer.
“Kita pulang sekarang aja ya. Oh iya, Ungke mau pulang bareng dengan kami?” Pak Erlangga menawarkan.
“Nggak usah Om, makasih. Lagipula saya juga dijemput sama sopir,” tolak Ungke halus. Padahal sih Ungke juga mau ikut. Pengen ngobrol sama Anye. Dan pengen tahu di mana rumahnya tapi Ungke kasihan sama Pak Yaya, sopirnya, takut di cari-cari.
“Ya sudah kalau begitu kita pulang duluan ya,” kata Pak Erlangga yang kemudian masuk ke mobil berbarengan dengan Anye.
“Sampaikan salam Om untuk mama dan papamu,” kata Pak Erlangga dari dalam mobil. Orang tua Anye dan Ungke memang sudah mempunyai hubungan yang baik sejak Anye dan Ungke saling kenal.
“Daaah…Ungke besok kita ketemu lagi ya,” Anye melambaikan tangannya. Ungke membalas lambaian Anye hingga mobil itu menderu meninggalkan lapangan parkir.
◊◊◊
Malamnya, Anye berbaring di tempat tidurnya yang dipenuhi boneka-boneka yang hampir semuanya pemberian Ungke.
“Tuhan, terima kasih karena Engkau telah mengabulkan doaku. Engkau telah mempertemukan aku dengannya. Dia sekarang begitu tampan. Aku menyukainya. Tuhan, kalau boleh ada satu permintaanku. Aku ingin dia milikku, berikanlah dia untukku dan aku mohon jangan pisahkan kami lagi,” seraya Anye berdoa dikeheningan kamarnya yang penuh dengan boneka mulai dari yang kecil hingga yang besar.
Begitupun dengan Ungke, dari balkon kamarnya, ia berdiri memandangi langit. Ia pun berbisik, “Tuhan, dulu aku penah berdoa padaMU. Aku minta seorang teman yang baik seperti Anye dan kini Kau kirimkan Anye kembali padaku. Mungkin Engkau menakdirkan kami untuk selalu bersama. Terima kasih Tuhan.”
“Ungke, kamu belum tidur,” suara mamanya tiba-tiba mengagetkannya. “Sudah mau jam sepuluh loh,” kata mamanya lagi.
Walaupun orangtua Ungke sibuk berbisnis tapi kedua orangtuanya masih sempat memperhatikan Ungke dan Kesha, adik kecil Ungke yang berumur 5 Tahun. Seperti hal rutinitas yang dilakukan mamanya setiap malam, sebelum dirinya tidur tidak lupa menengok kedua anaknya terlebih dahulu.
“Kesha adikmu sudah tertidur lelap. Mama perhatikan tidurmu selalu telat.”
“Ungke tidur telatkan karena belajar ma,” ujar Ungke memberi alasan.
“Iya, tapi tidur terlalu malam itu nggak baik buat kesehatan. Lihat nih kamu kurus begini,” kata mamanya setengah bercanda.
“Ah mama… masak segini aja dibilang kurus. Pak Erlangga aja bilang kalau Ungke ganteng.”
“Pak Erlangga? Pak Erlangga yang papanya Anye?” Tanya mamanya yang rupanya masih ingat pada teman lamanya.
“Iya ma. Mereka sudah pindah ke Jakarta. Ajaibnya… lagi-lagi kita satu sekolah, satu kelas dan trus satu bangku lagi, ma,” cerita Ungke dengan wajah riang.
“Kalian ini kok jodoh banget sih kayak nggak bisa dipisahin aja. Kamu pasti senang dong dan nggak kesepian lagi. Oh iya, trus Dive duduk di mana? Kalau tidak salah kamu kan satu bangku sama Dive?”
“Iya ma, sebenernya aku kasihan juga sama Dive. Dive duduk di belakang. Bu Ronyta merasa khawatir kalau misalnya Anye yang harus duduk di belakang. Takut digangguin soalnya yang duduk di bangku belakang itu cowok semua.”
“Oh begitu. Ya… ada bagusnya juga sih, karena keputusan Bu Ronyta menurut mama itu sudah tepat. Oh iya, bagaimana rupa Anye sekarang?”
“Mm…tampangnya beda sih dengan Anye yang dulu. Sekarang dia…”
“Cantik,” sambung mamanya karena Ungke bicaranya terlalu lama.
Ungke hanya mesem-mesem saja. Ia tidak menyangkal karena faktanya Anye memang benar-benar cantik.
“Sudah malam, ayo lekas tidur,” mamanya menggiringnya ke tempat tidurnya. Ungke merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan mamanya menyelimutinya.
“Oh ya ma, tadi siang papa Anye nitip salam buat mama dan papa.”
“Mama akan sampaikan salamnya pada papamu. Salam balik dari mama dan papa untuk Pak Erlangga dan putrinya yang cantik itu,” kata mamanya yang kemudian mencium kening Ungke. “Selamat tidur sayang. Semoga bermimpi yang indah.” Mamanya mematikan lampu kamarnya sebelum keluar dari kamarnya. Tapi Ungke kembali menyalakan lampu tidurnya dan ia meraih hpnya untuk menelpon seseorang. Setidaknya sebelum tidur ia ingin mendengar suara merdu gadis itu terlebih dahulu.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
ANYE DAN LISA SALING BERKENALAN

Keesokkannya di sekolah hingar bingar seluruh murid di sekolah ELITE membicarakan tentang anak baru itu. Memang belum semua anak melihat wajah anak baru itu.
“Eh Lis, di kelas Ungke kan ada anak baru namanya Anye,” kata Nella, pada Lisa, teman sebangkunya yang baru datang.
Lisa meletakkan tasnya kemudian duduk.
“Ya, aku sudah tahu itu, tadi aku mendengarnya dari anak-anak sepanjang menuju kelas. Tapi semalam kan Ungke nelpon aku. Kenapa dia nggak beritahu aku ya?”
“Maklum, dia itu kan lagi pedekate sama kamu, jadi nggak sempet ngebicarain soal itu. Paling-paling juga semalam dia bilang Lis, aku kangen deh sama kamu,” ledek Nella yang kemudian tertawa.
“Kamu kok tahu sih dia bilang begitu,” kata Lisa tampak malu karena ketahuan sama Nella kalau Ungke mengatakan kata-kata itu tadi malam.
“Ya tahu dong. Kamu kan sering cerita kalau setiap kali Ungke ketemu atau nelpon kamu, pasti ia selalu bilang Lis, aku kangen deh sama kamu,” kali ini Nella memperagakannya. Mereka berdua tertawa.
Percakapan mereka terhenti karena bel tanda masuk telah berbunyi.
Lisa melihat Ungke berjalan di luar kelasnya. Bergegas Lisa bangkit dari duduknya. “Pak, maaf saya minta izin keluar sebentar,” kata Lisa sopan.
“Ya silahkan tapi hanya 5 menit,” kata Pak Agus memberi izin.
Lisa langsung berlari mengejar Ungke.
“Ungke!” Panggil Lisa ketika Ungke hendak turun tangga dan Ungkepun berhenti.
“Hai,” sapa Lisa seraya memamerkan senyumnya yang manis.
“Hai juga. Hmm…Lis aku kangen deh sama kamu,” ucap Ungke malu-malu dan salah tingkah apalagi melihat Lisa tersenyum. Duh pengen pingsan deh rasanya Ungke.
“Ada apa Lisa ?” Tanya Ungke yang mencoba menenangkan dirinya.
“I heard in your class that there is a new student, isn’t it?”
“Iya. Namanya Anye dan dia teman sebangkuku.”
“Kebetulan sekali kalau begitu, Will you introduce me to her?”
“Tentu saja,” sahut Ungke cepat.
“Saat istirahat nanti, ajak dia ke kelasku ya.”
“Iya,” ucap Ungke seraya mengangguk tersenyum manis pada gadis Indo-Amrik yang cantik jelita yang ada di hadapannya. Ungke hampir mau melonjak kegirangan saat Lisa membalasnya dengan senyumnya yang indah. Ah, jatuh cinta memang berjuta rasanya!
“Ya udah…kalau begitu aku kembali ke kelas dulu ya,” pamit Lisa. Begitu urusannya selesai, Lisa kembali dengan berlari menuju ke kelasnya karena Pak Agus cuma memberi izin 5 menit untuknya.
Beberapa jam kemudian bel waktu istirahat telah berbunyi. Tapi Anye masih sibuk mencatat tulisan yang ada dipapan tulis.
“Anye, ada temanku yang ingin berkenalan denganmu,” kata Ungke yang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan terburu-buru.
Anye berhenti menulis. “Oh ya siapa?”
“Lisa,” jawab Ungke semangat.
“Tunggu sampai aku selesai nulis dulu ya,” Anye melanjutkan catatannya.
Ungke mengambil paksa buku yang sedang dicatat Anye. “Harus sekarang. Waktu istirahat kan cuma 30 menit. Dia pasti sudah menunggu di kelasnya.”
“Ayolah Ungke kembalikan bukunya. Aku harus menyelesaikannya sekarang.” Anye berusaha merebutnya tapi tak bisa.
“Kau kan bisa meminjam buku catatanku. Aku kan sudah selesai. Aku tidak akan mengembalikannya kalau kau tidak mau,” Ungke mengancam.
“Oke, aku menyerah.”
Ungke mengembalikan bukunya dan memasukan semua yang ada di atas meja ke dalam tas Anye dengan sangat cepat. Anye terheran-heran menyaksikan ulahnya.
Ungke sudah selesai membereskan bukunya. “Tunggu apalagi.” Ungke menarik tangan Anye keluar. Di gang-gang kelas Anye digodain para cowok dan mengajaknya untuk berkenalan. Untuk mengatasi hal itu, Ungke menggenggam erat tangan Anye dan dengan cepat Ungke membawa Anye pergi dari kerumunan cowok-cowok itu. Tentunya para cowok itu cemburu dan iri melihat Ungke menggandeng Anye. Tapi di sisi lain Anye salah mengartikan sikap Ungke. Dari tadi Anye selalu tersenyum senang karena Ungke menggandeng tangannya erat-erat.
“Sialan! Padahal Anye anak baru. Hebat benar si Ungke udah bisa menggandeng Anye,” keluh salah satu cowok dari kerumunan itu.
Di kelas tampak Lisa yang sedang duduk menunggu mereka dan Ungke datang memenuhi janjinya.
“Ini Lisa yang ingin berkenalan denganmu dan ini Anye si anak baru itu,” Ungke saling memperkenalkan mereka masing-masing.
“Hi, nice to meet you,” Lisa mengulurkan tangannya.
“Lisa ini Indo-Amerika jadi bicaranya kadang-kadang menggunakan Bahasa Inggris dan kadang-kadang Bahasa Indonesia,” kata Ungke segera memberi tahu begitu melihat Anye bengong.
“Oo…nice too meet you, too,” Anye membalas uluran tangan Lisa. “Udah ketahuan kok dari fisik kamu kalau kamu Indo. Rambutmu bule, postur tubuh kamu tinggi, kulit putih agak kemerah-merahan dan… ,”
“Lisa memang perfect dan inner beauty. Kalau kita kenal dekat dengannya, Lisa asyik loh diajak ngobrol,” imbuh Ungke.
“Oh ya?” Kata Anye pendek yang sebetulnya kecewa Ungke mengatakan itu.
“Your face is very beautiful, pantas saja kehadiran kamu di sekolah ini membuat gempar,” puji Lisa.
Anye tersenyum sumringah. “Aku tidak menyangka akan terjadi hal itu tapi mereka semua baik dan ramah padaku. Lisa, terima kasih atas pujianmu.”
“Kelihatannya kamu anak yang menyenangkan. Kamu mau kan jadi temanku?” Tanya Lisa.
“Tentu saja. Aku tidak pernah milih-milih teman dalam bergaul. Bagiku mempunyai banyak teman dengan tipe dan sifat yang berbeda merupakan suatu tantangan dan hal yang menyenangkan karena dengan begitu aku jadi bisa mempelajari sifat dan karakter mereka masing-masing,” kata Anye yang selalu menampakkan wajahnya yang bersahabat.
“Ungke, aku haus nih. Antarkan aku beli minuman yuk!” Ajak Anye.
“Aku sudah belikan minuman untuk kalian,” sergah Lisa cepat. “Aku menyuruh temanku untuk membelinya.”
Tak berapa lama kemudian datanglah Nella membawa 4 minuman kaleng.
“Thanks for your help,” ujar Lisa pada Nella.
“Don’t mention it,” balas Nella pendek juga dengan bahasa Inggris. “Ini pasti Anye ya,” tebak Nella langsung ketika ia melihat ada cewek asing diantara mereka. “Perkenalkan aku Nella Asteria.” Nella mengulurkan tangannya dan Anye pun menjabat tangannya.
“Anye Anggrarespati Erlangga,” Anye menyebutkan nama lengkapnya.
“Nama yang bagus dan kamu cantik, lagi,” puji Nella yang jujur apa adanya sesuai dengan yang dilihatnya membuat Anye tersanjung untuk kedua kalinya.
“Terima kasih atas pujiannya. Ini adalah anugerah yang diberikan Tuhan untukku,” ujar Anye merendah diri lalu menyeruput minumannya.
“Anye ini bukan baru lagi buatku. Dia ini teman lamaku waktu di Bandung mulai dari TK, SD, sampai kita SMP kita selalu satu sekolah, satu kelas bahkan duduk sebangku. Tapi saat beranjak SMA kita berpisah. Aku pindah ke Jakarta dan dia tetap di Bandung. Kita pisah selama 2 tahun dan sekarang kita bertemu lagi,” cerita Ungke duluan.
Lisa dan Nella benar-benar kagum dengan cerita Ungke.
“Luar biasa! Terus selama kalian berpisah apakah kalian masih berhubungan jarak jauh misalnya berkirim surat, email, fax atau mungkin telpon?” Tanya Lisa yang mulai tertarik dengan cerita tentang persahabatan Ungke dan Anye.
“Sejak pisah kami nggak pernah berhubungan lagi,” jawab Anye datar.
“Sewaktu aku ingin memberitahukan alamat baruku yang di Jakarta ternyata Anye sudah pindah dan ia tidak meninggalkan pesan atau alamat barunya padaku,” sambung Ungke bercerita.
Anye mendelik seakan ia baru tahu apa sebabnya, “Oh ya? Malahan waktu aku datang ke rumahmu, kamu sudah pindah ke Jakarta padahal aku datang ingin memberitahukan alamat rumahku yang baru sekalian aku ingin minta alamatmu yang di Jakarta,” jelas Anye yang tidak membenarkan cerita Ungke.
“Berarti kamunya yang telat datang ke rumahku,” Ungke mengambil kesimpulan siapa yang bersalah.
“Kamu yang telat. Seharusnya kamu lebih awal ke rumah ku,” protes Anye.
“Lho kok aku yang disalahkan? Seharusnya kamu sebelum mau pindah hubungi aku dulu. Waktu itu kan aku masih di Bandung,” elak Ungke tidak mau disalahkan. Anye cemberut.
“Hei, kalian kok malah bertengkar. Apakah ini yang dinamakan persahabatan kalian?” Lisa melerai pertengkaran mereka.
“Jadi selama berpisah kalian nggak pernah kontak?” Tanya Nella.
“Bagaimana mau kontak. Alamat dan nomor telponnya aja nggak tahu,” sahut Ungke.
“Anye, apakah sebelumnya kau tahu Ungke bersekolah di sini?” Tanya Lisa seperti detektif.
“Hahaha…!” Ungke mendadak tertawa. Entah karena apa ia tertawa membuat Anye, Lisa dan Nella bingung.
“Kenapa kau tertawa?” Tanya mereka kompak pada Ungke. Heran.
Ungke masih tertawa. Ia berusaha menahan tawanya yang geli dan mencoba untuk berbicara. “Kamu kangennya sama aku sampai-sampai kamu ngejar aku ke Jakarta,” celoteh Ungke yang terus tertawa.
“Idih… geer banget sih kamu,” Anye mencubit lengan Ungke.
“Aww!” Ungke berteriak kesakitan lalu mengelus-elus lengannya.
“Rasain. Makanya jangan geer,” ucap Anye tak berempati.
“Kamu sekolah di sini, sekelas lagi denganku berarti kamu tahu kan aku sekolah di sini,” kata Ungke yang makin geer dan Anye makin jengkel.
“Ya ampun! Kemarinkan aku udah bilang kalau aku pindah ke Jakarta karena aku ikut papa yang dapat tugas kerja di Jakarta,” jelas Anye geregetan.
“Apa hubungannya?” sambar Ungke masih ngotot.
“Makanya dengerin dulu ceritanya sampai selesai, jadi kayak begini nih panyakit geernya kambuh lagi. Aku tuh sekolah di sini karena sekolahnya dekat dengan tempat tinggal kami. Jadi kalau kita satu sekolah bahkan satu kelas lagi itu bukan karena aku ngejar-ngejar kamu tapi karena kebetulan,” jelas Anye lagi, geregetan.
“Nggak ngaku lagi,” gumam Ungke lalu menyeruput minumannya. Anye memelototinya. Dipelototi seperti itu Ungke akhirnya mengalah.
“Iya deh…aku percaya. Jangan marah ya manis,” rayu Ungke.
“Emangnya aku gula,” tukas Anye ketus.
“So, pertemuan kalian adalah suatu anugerah dari Tuhan. Ajaib sekali kan. Dua tahun kalian pisah dan nggak tahu alamat masing-masing lalu secara kebetulan Anye bersekolah di sini dan bertemu Ungke lagi bahkan satu kelas lagi. It’s so unbealiveable! Tuhan memang merestui persahabatan kalian. Apapun yang terjadi kalian pasti akan bertemu lagi,” decak Lisa kagum.
“Ya, persahabatan yang sejati. Jarang sekali ada persahabatan yang seperti kalian. Kalian memang jodoh,” Nella menimpali.
Beda dengan Anye, ia tidak ingin hubungan ini akan terus jadi persahabatan tetapi ia menginginkan sesuatu yang lebih. Ia berharap semoga Tuhan tidak menakdirkannya hanya sebagai sahabat saja tetapi menumbuhkan rasa cinta diantara mereka.
Bel waktu istirahat berakhir. Berakhir pula obrolan mereka.
“Aku balik ke kelas duluan ya. Permisi, sampai ketemu lagi.” Anye meninggalkan mereka cepat tanpa menunggu Ungke lagi. Ia membuang kaleng minuman ke tempat sampah yang ada di sudut kelas.
“Lis, nanti pulangnya bareng lagi ya,” pinta Ungke cepat. Lisa menggangguk. Ungke segera menyusul Anye tapi ternyata anak itu sudah sampai di kelas.
Ungke duduk di bangkunya. “Bagaimana pendapatmu tentang Lisa?” Tanya Ungke penuh harap.
Anye melihat wajah Ungke yang tampak begitu senang hari ini. Anye tidak memperdulikannya. Anye malah mengeluarkan buku yang tadi belum selesai dicatatnya dan menggelarnya di meja.
“Mana bukumu yang tadi. Aku pinjam. Aku mau catat.”
“Anye, apa komentarmu tentang Lisa?” Tanya Ungke sekali lagi.
“Kau tadi bilang akan meminjamkan bukumu. Sekarang berikan janjimu itu,” kata Anye yang berusaha menghindari pertanyaan Ungke.
Ungke membuka tasnya dan memberikan buku itu pada Anye. Ungke menatap Anye dan menanti jawaban Anye. Anye tidak bisa menulis dengan tatapan Ungke seperti itu.
“Aku harus berkomentar apa?”
“Menurutmu dia cantik, nggak?” Tanya Ungke penuh harap.
Anye melihat Dive yang sudah masuk ke kelas dan memanggil Dive untuk segera menghampirinya.
“Dive, menurutmu aku dan Lisa cantikkan siapa?” Tanya Anye lain yang membuat Ungke heran. Ungke tak butuh komentar Dive karena siapapun pasti akan dibilang cantik oleh Dive.
Dive berpikir sejenak. “Cantikkan siapa ya? Lisa bule, Indo-Amrik, jelas aja cantik. Sedangkan kamu asli Indonesia tapi juga cantik. Jadi kalian berdua sama-sama cantik,” jawab Dive yang sebenarnya sudah diduga oleh Ungke.
“Anye, aku tidak minta komentar Dive tapi aku minta komentarmu.”
“Kamu tadi sudah dengar komentar Dive, kan.”
“Apakah komentarnya juga sama dengan komentarmu?”
“Bisa ya, bisa nggak,” jawab Anye dengan nada lugas tapi malah membuat Ungke bingung.
“Anye…”
“Aku nggak mau perdebatkan itu lagi,” potong Anye cepat.
Mereka tak bicara lagi karena gurunya sudah datang. Sebenarnya Anye merasa jengkel Ungke bertanya seperti itu. Hatinya panas dan membuatnya emosi. Anye jadi mulai curiga dihatinya, “jangan-jangan Ungke menyukai Lisa. Sejak pertemuan tadi Ungke sangat senang sekali dan waktu mengajakku untuk berkenalan dengan Lisa, Ungke ngotot sekali dan maksa. Lihat saja hari ini hatinya berbunga-bunga.”
◊◊◊
Seperti janji mereka, Ungke dan Lisa pulang bareng.
“Anye, yuk pulang bareng!” Ajak Lisa begitu melihat Anye melintas di depan mereka.
Anye melihat Ungke dengan sikapnya yang dingin, berdiri di dekat pintu mobil. Anye menganggap mungkin Ungke marah padanya.
“Emangnya boleh sama yang punya?” Tanya Anye dan Ungke mendengarnya.
Lisa memandang Ungke seolah-olah meminta izinnya dan Ungke pun mengangguk acuh. Mereka bertiga masuk mobil. Anye duduk di depan karena Ungke dan Lisa sudah duduk di belakang.
“Sejak kapan Lisa mulai menumpang mobil Ungke dan ada hubungan apa di antara mereka? Apakah mereka …” Anye memaksa kepalanya untuk menoleh ke belakang. “Ya Tuhan aku cemburu!” Bathin Anye menjerit melihat kemesraan mereka.
“Soal tadi aku minta maaf,” Anye mengakui penyesalannya lebih dulu karena memang lebih baik jika ia meminta maaf atas kesalahannya lebih dulu daripada harus meninggikan gengsinya yang hanya akan merugikannya saja nanti. Bukankah rugi kalau ia terlalu lama marahan dengan Ungke yang merupakan teman sebangkunya? Nggak lucu juga kan marahan tapi sama temen sebangku. Pasti aneh banget jadinya!
“Aku juga minta maaf karena memaksamu untuk mengeluarkan pendapat,” respon Ungke positif.
“What’s the matter?” Tanya Lisa heran.
“Nothing matters,” jawab Anye dan Ungke kompak.
“Den, antarkan siapa dulu?” Tanya Pak Yaya menyela, membuat Lisa jadi tak bisa banyak bertanya lebih jauh lagi tentang persoalan yang terjadi diantara mereka berdua.
Ungke memandang Anye sejenak lalu memandang Lisa. Ungke sedang menentukan pilihan dan akhirnya pun memutuskan, “ke rumah Anye dulu deh, Pak. Rumah kamu di mana?” Tanya Ungke pada Anye.
“Pasti dia sengaja nganterin aku dulu biar dia bisa tenang berduaan sama cewek bule ini,” pikir Anye. Kesal dianterin pulang lebih dulu, ia pun jadi punya rencana dipikirannya.
“Jalan aja deh, nanti aku kasih tahu,” kata Anye.
Sopir itu menjalankan mobil sesuai dengan petunjuk Anye.
“Lis, diantara papa dan mamamu, siapa yang orang Amerika?” Tanya Anye yang ingin tahu banyak tentang seluk beluk Lisa. Walaupun Anye baru kenal tapi ia tak canggung berbicara dengan Lisa.
“My father is an American and my mom is an Indonesian. She comes from Yogyakarta,” jawab Lisa.
“Berarti kamu bisa bahasa Jawa dong?” Tanya Anye lagi.
“Little by little,” jawab Lisa ragu-ragu.
“Enak ya punya papa orang Amerika. Pasti kamu sering ke sana. Oh ya, Amerikanya di mana?” Anye terus bertanya.
“New York. Have you ever been to New York?” Kali ini Lisa yang bertanya pada Anye.
“Ya, aku pernah ke sana. New York adalah kota yang indah,” sahut Anye yang mengingat kembali saat-saat liburannya di New York dulu. “Selain pernah ke New York aku juga pernah ke Washington DC Ibukota USA, San Francisco, Hawai, Chicago, Philadelphia, Detroit, Boston, Conneticut dan Los Angeles. Sewaktu di LA, kita sekeluarga pernah nonton LA Lakers. Kak David suka banget sama Lakers. Tujuan kita ke sana cuma pengen nonton itu dan kak David seneng banget impiannya bisa nonton Lakers di Staples Center bisa terwujud. Waktu itu Kak David masih berumur 11 tahun sedangkan aku 9 tahun,” cerita Anye panjang lebar. Ada kesenduan dalam nada bicaranya. Ungke bisa memahaminya. Pasti butuh kekuatan untuk bisa menceritakan masa lalu bersama orang yang sudah tidak ada lagi di sisi kita sekarang.
“Wah kayaknya semua kota di USA sudah kau kunjungi semuanya ya,” kata Lisa yang tahu betul semua kota di Amerika Serikat.
“Aku juga sudah pernah ke Amerika tapi nggak semua seperti yang dikunjungi Anye. Aku pernah ke Washington DC, New York dan Los Angeles selebihnya kita sekeluarga lebih banyak liburan ke Eropa,” cerita Ungke nggak mau kalah.
“Berarti kalian sudah pernah lihat patung Liberty dong,” kata Lisa lagi.
“Nah, itu dia tujuan kita ke Amerika, terutama New York karena kita kepingin lihat patung Liberty,” kata Anye dan Ungke kompak.
“Kalau aku ke Jakarta because I wanted to see MONAS,” aku Lisa jujur.
Mereka bertiga tertawa. Suasana di dalam mobil jadi tampak begitu akrab dan menyenangkan. Tidak ada suasana kaku lagi. Mereka bicara lepas, tak peduli meskipun Anye dan Lisa baru kenal.
“Non Anye, belok kiri atau kanan?” Tanya sopir ketika melihat ada dua jalur.
Anye tampak kebingungan. Namun ia berusaha berpikir cepat. “Kanan,” jawab Anye akhirnya, lalu sopir itu membelokkan mobil ke kanan. Mobil ini sudah memasuki wilayah Lenteng Agung.
“Kira-kira di mana ya aku turun?” Pikir Anye tampak menimbang-menimbang seraya memandangi dengan jeli tiap rumah yang ada dikawasan tersebut. Tiba-tiba Anye bilang, “berhenti pak.”
Pak sopir pun memberhentikan mobil mendadak di depan pagar rumah bercat biru no.15 yang cukup megah dan berdesign Eropa klasik.
“Rumah kamu di LA ya?” Kata Ungke bernada meledek.
“Lenteng Agung,” sambung Lisa yang mengerti ledekan Ungke kemudian tertawa dan Ungke pun juga tertawa.
“Anye kapan-kapan aku akan main ke rumahmu,” kata Ungke.
“Aku boleh juga nggak main ke rumahmu?” Tanya Lisa.
“Silahkan, dengan senang hati,” kata Anye dengan senyum dikulum lalu keluar dari mobil. “Ungke makasih ya atas tumpangannya,” kata Anye dimuka pintu belakang yang kaca mobilnya dibuka oleh Ungke.
“See you tomorrow,” ujar Lisa menutup pembicaraan seraya melambaikan tangan pada Anye.
“Daaah,” Anye balas melambaikan tangannya. Mata Anye terus memandangi dengan detail gerak laju mobil Ungke. Mobil tampak sudah berjalan jauh hingga berbelok dan tak kelihatan lagi. Setelah dirasanya cukup aman kemudian Anye memberhentikan taksi yang kebetulan lewat.
“Perumahan Bintaro ya pak,” kata Anye pada sopir taksi itu.
“Baik neng.”
Wah ternyata rumah Anye bukan di situ tetapi di Bintaro. Kira-kira apa ya motif Anye memberikan alamat rumah palsu. Tak tahu lah, yang pasti Anye punya maksud tertentu dengan tindakannya itu. Tapi bagaimana dengan Ungke kalau dia tahu kalau Anye telah membohonginya. Akan kecewakah Ungke? Kita lihat saja nanti.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺


















DI MULAINYA AWAL KISAH CINTA UNGKE DAN LISA DI TAMAN UNGKE

“Lis, oma kamu marah nggak kalau kamu pulangnya telat?” Tanya Ungke kalem.
“Kamu ingin ngajak aku jalan-jalan ya,” tebak Lisa langsung tahu maksud Ungke.
“Kalau kamu mau, hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
“Ke suatu tempat? Tempat apa itu?”
“Taman Ungke. Di mana kau akan menemukan kedamaian di sana,” sahut Ungke mantap.
Lisa mengerutkan dahinya, ia hendak berpikir, “sepertinya tempat itu sangat menarik. Ok. I want to go there. Aku ingin tahu sedamai apa taman Ungke itu.”
Mobilpun berputar haluan menuju taman itu. Tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di taman Ungke yang sangat indah itu. Tampak pria setengah tua membuka pintu gerbang taman yang tinggi dan kokoh.
“Itu Pak Saimin yang merawat dan menjaga taman ini,” kata Ungke memberitahu.
“Siang tuan muda,” sapa pria setengah tua itu membungkuk hormat. Ungke mengangguk tersenyum menerima salamnya.
Mobil memasuki pelataran taman. Ungke dan Lisa keluar dari mobil. Lisa dapat merasakan hembusan semilir angin yang sejuk menyapanya. Terdengar kicauan burung dari dahan pohon seolah memberi salam padanya.
Lisa mengelilingi taman itu. Ungke mengikuti langkahnya dari belakang. Lisa merasakan keharuman dari bunga yang diciumnya.
Begitu indah taman ini, rindang, hijau dan sejuk. Sebuah taman yang dikelilingi pohon-pohon cemara yang tinggi dan besar. Semuanya tertata dengan baik. Bunga bermacam-macam jenis dan penuh warna – warni seperti mawar merah-putih, anggrek, kamboja dan aneka bunga lainnya yang indah penuh warna menghiasi taman ini, lalu ada juga air yang memancur dari tengah kolam yang bersih dan ada tanaman-tanaman kecil lainnya di dalam kolam itu
“Wow…inikah yang disebut Taman Ungke,” decak Lisa seraya merentangkan tangannya dan berputar-putar. Lisa mendapati kesegaran dan kesejukkan angin yang berhembus lembut menerpa tubuhnya.
“Ya,” sahut Ungke pendek sembari menghirup udara segar.
“Ku pikir di Jakarta ini tidak ada lagi tempat yang sejuk dan indah seperti ini. Apakah taman ini kau yang buat?” Tanya Lisa.
“Bukan aku. Taman ini tersedia dengan sendirinya. Aku menemukan taman ini sejak aku kelas satu SMA dan mulai saat itu dan sampai sekarang aku masih sering datang ke sini untuk menghilangkan rasa jenuh, penat, sedih dan sepiku,” jawab Ungke kemudian duduk di bangku taman yang menghadap ke kolam dan di belakangnya tumbuh bunga-bunga mekar yang cantik dan harum. Lisapun ikut duduk di sampingnya.
“Kamu ini seperti Christopher Columbus saja,” ujar Lisa dibarengi tawanya yang mendengar penuturan Ungke yang layaknya bagai sang penemu tempat.
“Kalau bukan karena kesasar mungkin aku tidak akan menemukan taman ini,” bongkar Ungke yang tertawa terkekeh mengingat masa dulu yang tak pernah dilupakannya.
“lost?”
“Iya. Waktu itu aku baru satu bulan di Jakarta. Aku belum tahu betul jalan-jalan yang ada di Jakarta. Tapi aku nekat pulang sekolah sendiri naik bis. Saat itu aku lupa jalan dan nggak tahu mesti turun di mana. Waktu itu aku panik sekali, kemudian aku asal turun aja. Aku nggak tahu persis aku turun di mana saat itu. Nggak tahu harus naik kendaraan umum apalagi. Sengsara juga sih. Mana panas matahari sungguh menyengat kulitku. Aku asal jalan aja, nggak ada tujuan sampai akhirnya aku menemukan taman ini,” kenang Ungke menceritakan pengalamannya yang dapat dipetik hikmahnya. Sementara cewek bule blasteran Amerika ini tertawa terkekeh mendengar cerita Ungke yang terdengar lucu dan iba bila mendengarnya. Di saat itupun Ungke menikmati tawa renyah Lisa yang amat mempesona.
“And then what…?” Tanya Lisa minta di lanjutin ceritanya.
“Ya aku beristirahat dulu di situ dan melihat-lihat isi taman itu. Dulunya sih taman ini tak sebagus yang sekarang ini. Karena seringnya aku datang ke sini, aku jadi mempunyai ide untuk merehab dan menata kembali taman ini dengan menanam bunga-bunga, tanaman dan pohon-pohon ini terus menambahkan patung dekat air mancur,” kata Ungke seraya menunjuk satu-satu benda yang disebutkannya dan mata Lisapun mengikuti arah gerak jari yang ditunjuk Ungke.
Lisa melihat patung yang berada dekat air mancur. Patung pria yang sedang duduk menopang dagu sehingga wajah menengadah ke atas. Lisa tidak tahu entah apa maksud Ungke membuat patung berekspresi seperti itu. Lisa tidak ingin menanyakan hal itu. Ia hanya mengagumi patung yang tentunya punya arti tersendiri bagi Ungke.
“Setiap kali aku datang ke sini taman ini keadaannya selalu sepi, tidak pernah ada orang yang mengunjunginya baik pagi, siang, sore, maupun malam. Mungkin karena letak taman ini yang tersembunyi sehingga tak ada satupun yang mengetahuinya,” lanjut Ungke lagi.
“Kamu nggak berniat untuk mencoba mengenalkan taman ini pada orang lain?”
“Pengennya sih begitu, tapi setelah kupikir-pikir lebih baik tak ada orang yang menjamahnya agar kelestarian dan keindahannya tetap terjaga. Untuk mengukuhkan ini aku meminta papaku untuk membeli areal ini dan mengatasnamakan dengan namaku. Maka nama taman ini ku beri nama Taman Ungke. Agar tak sembarang orang datang ke sini maka dibuat pagar yang tinggi.”
Ada rasa bangga Lisa pada cowok berwajah ganteng, berbadan tinggi tegap dan berkulit putih bersih yang ada di sampingnya.
“Apa sih yang tidak akan kamu dapatkan? Orangtuamu pasti akan memberikan dan menyanggupi semua yang kamu pinta,” gumam Lisa pahit dalam hatinya yang merasa iri karena hidupnya tak sebahagia dan seberuntung Ungke.
Sudah cukup lama mereka berada di taman ini hingga malampun tiba. Sebenarnya ada tujuan Ungke membawa Lisa ke sini. Tapi hingga malam datang Ungke belum juga mengutarakan maksud hatinya pada Lisa. Dilirik jam tangannya yang sudah menunjukkan jam tujuh malam. Kemudian diliriknya Lisa yang sedang asyik menatap bulan yang bersinar terang bersama bintang-bintang lainnya di atas langit malam yang cerah.
“Sungguh indah malam ini,” kata Lisa seraya menatap Ungke dengan bola matanya yang indah lalu kembali menatap bulan dan bintang di langit.
Ungke mencoba mengatur nafasnya dan menenangkan dirinya.
“Gue harus mengatakannya sekarang. Malam ini begitu indah dan sangat mendukung keinginan gue untuk mengatakan cinta sama Lisa. Ya, gue harus berani mengatakan cinta sama Lisa,” desak hati Ungke.
“Lis…ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” suara Ungke memecah keheningan. Dengan sedikit kaku ia melanjutkan bicaranya, “sebenarnya sudah lama kata-kata ini ingin kusampaikan padamu dan aku ingin mengatakannya di sini…dimalam yang indah ini.” Bibir Ungke langsung terkatup ketika Lisa menatapnya kembali. Ungke tak kuasa melanjutkan kalimatnya.
Lama Ungke terdiam dan Lisa menunggunya untuk melanjutkan kata-katanya lagi. Ungke berdiri dan memulainya dengan puisi.
Keelokkan wajah yang tercipta
Begitu sempurna melekat diwajahnya
Ada keindahan yang tersimpan yang tak diketahuinya
Sedangkan Tuhan menyempurnakan anugerah untuknya
Kilauan wajahnya yang terang
Membuat alam semesta terang karenanya dan…
Kilau itu mengalahkan di antara kilau-kilau yang lainnya
Begitu lembut sehingga aku ingin menyentuhnya
Aku berharap…kilau wajahnya selalu menyinariku

Kisah cinta dua sejoli yang sejati
Menuai cinta hingga akhir hayat mereka
Tak peduli di mana berada maka akan dikejar
Untuk mencari belahan jiwa
Adam dengan Hawanya
Romeo dengan Julietnya
Rama dengan Sintanya
Lalu kemudian Ungke bersimpuh dihadapan Lisa dan memegang jemari Lisa. Ungke menatap Lisa dengan penuh kesungguhan.
“Bisakah kita menambahkannya dengan dua nama baru…Ungke dan Lisa yang akan menjadi kisah baru. Maukah kau menjadi bagian cerita Ungke dan Lisa?”
Lisa begitu terenyuh mendengar untaian puisinya. Lisa mengerti maksud dari untaian kata-kata puisi itu.
“Kata-katamu begitu romantis, begitu menyentuh hatiku. Sejujurnya aku terbuai oleh puisimu.” Lisa menundukkan kepalanya, matanya berkacak-kacak hendak meneteskan air mata. “Selama ini tak pernah ada pria yang mengucapkan puisi semanis itu padaku apalagi dimalam yang sangat indah ini,” lanjut Lisa dengan suara parau. Lisa mengangkat kepalanya memandangi wajah Ungke yang terlihat jujur dan tulus mencintainya. “Ungke apakah itu keluar dari lubuk hatimu yang dalam?”
Ungke mengangguk, kembali duduk di samping Lisa, Ungke menghapus butir air mata Lisa. Lisa menyandarkan kepalanya pada dada bidang Ungke. Ungkepun merangkul pundak Lisa. Kepala Lisa menerawang ke atas melihat bintang yang begitu banyak dan bulan yang bersinar terang. Lisa kembali menatap Ungke, ada desir keharuan dilihatnya. Lisa merasa hangat dipelukkan Ungke.
“Ungke, aku tahu kau selama ini menyukaiku dan lama kunantikan saat-saat seperti ini. Di bawah cahaya bulan bersama bintang-bintangnya, hembusan angin, bunga-bunga indah dan gemericik air, kuucapkan kata padamu…aku juga mencintaimu,” ucap Lisa lirih seraya menatap lembut mata Ungke.
Tepat jam delapan malam awal kisah cinta mereka dimulai. Mulai jam ini dan mungkin hingga seterusnya.
Sementara, Anye tertidur lelap ditempat tidurnya yang empuk di kamarnya yang ber-AC. Anye tidak mengetahui peristiwa penting malam ini yang terjadi di Taman Ungke yaitu dimulainya kisah cinta antara Ungke dan Lisa.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
GADIS MISTERIUS DALAM MIMPI

Darlen berada di ruangan yang aneh. Matanya menyapu seisi ruangan yang temaram.
“Ya Tuhan aku berada di mana?” Tanya Darlen resah. Darlen melihat ada sinar terang di lorong, ia pun mendekati sinar itu. Alhasil Darlen tak sanggup melihatnya. Sinar itu telah menyilaukan matanya sehingga ia menghalanginya dengan kedua tangannya. Darlen berusaha melihatnya, ia memicingkan matanya. Samar-samar ia dapat melihat seorang gadis di bawah naungan sinar itu. Sempat Darlen melihat gadis itu tersenyum penuh arti padanya. Darlen menikmati senyumnya yang sesaat karena gadis itu kemudian berlari bersama sinarnya. Darlen mengejarnya dengan rasa penasaran.
“Hei…tunggu dulu! Siapa kamu dan mengapa kita selalu bertemu dalam keadaan yang misterius seperti ini? Mengapa kau selalu datang dan pergi begitu saja?”
Gadis itu terus berlari tak memperdulikan Darlen yang terus berteriak mengejarnya. Gadis itu tetap begitu anggun meskipun ia harus berlari dengan mengangkat gaunnya yang menjuntai lantai. Lalu gadis itu menghilang dan ruangan pun menjadi gelap dan terasa sesak.
“Ya Tuhan, aku bermimpi hal yang sama lagi,” gumam Darlen begitu sadar dari mimpinya dengan napas yang tak teratur dan detak jantung yang begitu cepat. Mimpi tadi telah membuat energinya terkuras.
“Mengapa aku selalu bermimpi yang sama? Gadis itu selalu hadir dalam mimpiku.”
Darlen memandangi lukisan yang tergantung di dinding kamarnya. Lukisan tentang gadis misterius yang selalu ada dalam mimpinya. Gadis yang berdandan bak putri di kerajaan-kerajaan Eropa. Gadis itu berambut coklat, panjang bergelombang hingga sepinggang. Gadis itu memakai gaun dengan punggung terbuka berwarna putih. Gaun itu berbalut bunga anggrek yang cantik. Lukisan itu dibuatnya dua minggu yang lalu. Sebenarnya Darlen masih samar-samar dengan wajah gadis yang ada dalam mimpinya itu. Namun, goresan tangannya telah membentuknya secara alami begitu saja sehingga wajah gadis itu dapat tercipta seperti yang terpasang didinding kamarnya saat ini.
“Kriiiing…” Dering suara telepon tiba-tiba di tengah malam begini mengagetkannya. Darlen melihat jam wekernya yang menunjukkan jam dua belas malam lewat dua belas menit. Wajahnya pucat pasi, dengan ragu-ragu diangkatnya telepon itu.
“Hallo siapa ini?” Suara Darlen berat dengan napas yang belum teratur.
“Hallo sayang, bagaimana kabarmu di Jakarta?” suara dari seberang yaitu mamanya. Darlen menghela napasnya lega begitu tahu itu suara mamanya.
“Mama, di sana jam berapa?!” Tanya Darlen pada mamanya yang ada di Detroit.
“Kenapa kamu tanya jam, sayang? Mama rasa nggak penting kamu nanyain soal jam karena maksud mama nelpon kamu ada hal yang lebih penting yang ingin mama bilang ke kamu. Ini menyangkut sekolah kamu. Bi Ratih bilang udah sebulan lebih kamu nggak sekolah. Aduh sayang…kamu kok nggak pernah sekolah? Kemana saja kamu? Bagaimana dengan masa depanmu nanti nak kalau kamu malas sekolah. Mama ingin kamu berhasil seperti kakakmu, Yudha, yang umur duapuluhan tahun sudah dapat gelar. Kamu harus bisa lebih hebat dari kakakmu yang super jenius itu. Karena tidak semua bisnis papamu akan diberikan padanya. Tentu kamu akan mewarisinya sebagian…”
“Tapi ma… di sini udah jam satu pagi,” Darlen segera memotong mamanya yang sudah bicara menghabiskan waktu banyak. Darlen tidak suka mamanya bicara terus kayak rel kereta api yang tidak ada ujungnya. Bila mamanya sedang bicara memang tidak ada habisnya kalau tidak segera dipotong cepat.
“Ya ampun…mama lupa. Pasti mama mengganggu tidurmu. Maafin mama ya sayang,” ujar mamanya yang merasa berdosa pada putra bungsunya.
“Mama dan papa kapan pulang?” Tanya Darlen yang sudah kangen karena sudah hampir dua bulan orangtuanya di Amerika untuk urusan bisnis.
“Kayaknya 2 minggu lagi pekerjaan ini akan selesai. Kamu masih sabar menunggu kepulangan mama dan papa kan? Mama dan papa rindu sekali sama kamu. Makanya mama menelponmu ingin tahu keadaanmu. Mama mengkhawatirkanmu sayang. Kamu pasti kesepian,” suara mamanya iba.
“Terima kasih mama sudah mengkhawatirkan dan merindukan Darlen. Darlen di sini baik-baik aja. Darlen juga rindu mama dan papa.”
“Oh ya sayang, kamu ingin dibawakan oleh-oleh apa dari Amerika? Kamu ingin dibelikan jaket, pakaian, sepatu, arloji atau mobil keluaran terbaru yang ada di Amerika? Kebetulan mama dan papa sudah melihat pameran mobil di Detroit Auto Show. Mobilnya bagus-bagus tapi mama sudah menaksir mobil biru yang merupakan warna favoritmu. Mama dan papa sudah nanya banyak tentang mobil itu. Kalau kamu sudah lihat kamu pasti akan suka. Kamu jangan khawatir sayang, karena mobil itu akan datang bersamaan dengan kepulangan mama dan papa,” ucap mamanya panjang lebar yang menyampaikannya dengan wajah senang karena merasa sudah berbuat sesuatu untuk menyenangkan hati putra bungsunya.
“Nggak usah, ma. Darlen masih suka dengan mobil Darlen yang lama. Ma, udah dulu ya. Darlen ngantuk.”
Di seberang sana, mamanya panik karena ternyata putranya tak tertarik sama sekali dan ingin cepat-cepat menutup telponnya.
“Eee…tu…tunggu dulu sayang. Jangan ditutup dulu telponnya. Ada pesan penting dari papamu yang mesti disampaikan,” sergah mamanya cepat.
“Pesan apa tuh ma?” Tanya Darlen yang masih bersedia ditelpon.
“Begini, mama-papakan pulang kira-kira 2 minggu lagi sementara di Jakarta ada dukumen yang mesti ditandatangani oleh papa tapi nggak bisa, sedangkan itu harus segera ditandatangani agar bisa diberikan pada relasi papamu…”
“Jadi Darlen harus nyusul ke sana dengan membawa dokumen itu,” lagi-lagi Darlen memotong mamanya bicara.
Di Detroit sana mamanya tersenyum maklum tapi sayangnya Darlen tidak dapat melihat senyum mamanya yang sudah hampir dua bulan tak dilihatnya.
“Ya tidak dong sayang. Dokumen itu tolong kamu berikan pada Pak Erlangga, Direktur Cabang perusahaan papamu yang baru. Kamu tentu sudah mengenalnya karena waktu di pesta perayaan pengangkatannya, kamu juga hadir menyaksikannya.”
Darlen ingat waktu itu dirinya memang datang dan hanya sebentar saja mengikuti ceremony itu. “Ya Darlen kenal,” jawab Darlen.
“Kamu pinta beliau untuk menandatanganinya karena papamu sudah mempercayakan sepenuhnya pada Pak Erlangga untuk mewakili papamu. Dokumennya ada di meja kerja papamu di rumah. Tolong ya nak, besok kamu langsung temui beliau karena itu sangat penting dan bisa menghasilkan keuntungan yang besar. Dan jangan lupa besok kamu harus sekolah!” Pesan mamanya sembari mengakhiri telponnya.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
















GADIS MISTERIUS DALAM MIMPI MUNCUL DI DUNIA NYATA

Keesokkan paginya, Darlen bangun lebih cepat dari biasanya. Darlen tampak segar pagi ini sampai-sampai Bi Ratih pengasuh Darlen sejak kecil hingga sekarang terheran-heran melihat Darlen yang sudah rapi dengan seragam SMA-nya yang ditutup dengan jaket birunya.
“Tuan muda sekolah?” Tanya Bi Ratih dengan penuh keheranan sekaligus senang melihat Darlen mulai sekolah lagi.
“Iya Bi, aku mau ke sekolah,” jawab Darlen lalu duduk di meja makan.
Dengan segera Bi Ratih menyiapkan sarapan pagi untuk Darlen.
“Bibi heran ya?” Tanya Darlen lalu memakan roti yang sudah diberi keju oleh Bi Ratih dan meneguk segelas susu hangat setelah menghabiskan roti panggangnya.
Bi Ratih memperhatikannya dengan rasa gembira. Gembira karena Darlen sudah mau sekolah lagi dan sarapan sepagi ini.
“Darlen sendiri juga bingung kenapa bisa bangun sepagi ini dengan mata dan tubuh yang segar trus mau sekolah, lagi,” ujar Darlen sambil mengangkat bahunya.
“Tuan dan nyonya pasti senang melihat tuan muda sekolah lagi.” Bi Ratih mengembangkan senyum bahagia yang tak dapat disembunyikannya, melihat anak yang di asuhnya sejak kecil itu mulai masuk sekolah lagi setelah satu bulan lebih dia absen.
Tiba-tiba Darlen teringat mamanya yang dini hari tadi nelpon. “Dini hari tadi mama nelpon dan berpesan agar Darlen masuk sekolah. Tapi Darlen nggak yakin kalau bangun pagi, masuk sekolah karena nurut pesan mama. Pasti ada sesuatu hal lain yang menyebabkan Darlen mau masuk sekolah. Bi Ratih kan tahu sendiri kalau mama nyuruh Darlen sekolah, Darlen nggak pernah mau,” ujarnya sedikit berkilah.
“Lantas karena apa?”
“Yang pasti bukan karena pesan mama,” sahut Darlen yakin. Darlen bangkit dari duduknya, Bi Ratih pun mengiringinya hingga keluar rumah. Tapi ketika Darlen hendak membuka pintu mobilnya, ia teringat ada pesan mamanya yang terlupakan.
“Oh iya, dokumen yang ada diruang kerja papa lupa Darlen ambil soalnya mama pesan.”
“Kali ini memang karena nurut pesan mama kan,” tukas Bi Ratih memancing Darlen untuk tersenyum tapi usahanya tak begitu berhasil karena Darlen hanya sedikit tersenyum.
“Memang ada benarnya juga Bibi bicara seperti itu,” kata Darlen membenarkan. Darlen kembali masuk ke dalam rumah. Darlen mencari dokumen itu diruang kerja papanya, tepatnya dilaci meja kerja papanya. Tidak lama mencari, iapun akhirnya menemukan dokumen yang berada dalam map berwarna biru.
◊◊◊
Darlen sudah sampai di sekolahnya. Darlen menempatkan mobilnya di tempat parkir khusus untuknya di mana orang lain tak boleh memarkirnya di tempat itu selain mobilnya. Darlen keluar dari mobilnya. Ditatapnya gedung sekolah secara keseluruhan yang telah sebulan lebih ditinggalkannya.
Tiba-tiba sepasang matanya melihat ada mobil Baleno putih melintas di depannya dan berhenti ditempat yang agak jauh darinya. Keluarlah seorang gadis lebih dulu dari mobil itu. Gadis yang sangat dirindukannya. Ada rasa senang saat Darlen melihat gadis pirang berparas cantik itu, karena disaat hari pertamanya masuk sekolah, ia langsung melihat kekasihnya, Lisa. Sudah lama Darlen tak berjumpa Lisa. Ingin rasanya ia berteriak memanggil Lisa dan memberikan senyum manis padanya. Tapi keinginannya pupus ketika ia melihat Ungke juga keluar dari mobil itu.
“Lisa tak sendiri,” gumam Darlen pahit. Ia terkejut sekaligus kecewa.
Sama halnya dengan Lisa, Lisa pun juga terkejut ketika ia keluar dari mobil Ungke langsung mendapati wajah Darlen yang berdiri dekat mobil birunya. Mereka saling berpandangan.
“Ungke, itukan Darlen,” ujar Lisa dengan nada heran.
Ungke melihat Darlen. Ungke juga heran dan bertanya–tanya dalam pikirannya, “ada angin apa anak pemalas itu masuk sekolah?”
Ungke berjalan menghampiri Lisa dan berdiri di sampingnya.
“Tumben, anak malas itu masuk sekolah,” kata Ungke sambil tersenyum sinis ke arah Darlen.
Mereka bertiga saling berpandangan cukup lama. Pandangan yang dingin antara Ungke dan Darlen seperti pandangan yang mengajak untuk berduel.
Sementara ada cewek yang langsung berlari menuju kantin begitu melihat Darlen ada di tempat parkirnya. Cewek itu pergi memberitahu teman-temannya tentang kedatangan Darlen. Sedangkan Darlen tidak tahu dengan tingkah cewek itu kalau ternyata cewek itu berlari kegirangan karenanya. Memang kedatangan Darlen begitu surprise untuk mereka kaum cewek.
Setibanya cewek itu di kantin, “hi, girls may I have your attention for a while, please. Ada berita gembira!” Teriak cewek itu yang bernama Bunga mengagetkan semua penghuni kantin yang sedang sarapan pagi. Mereka yang merasa temannya Bunga langsung bangkit dari duduknya mendekati Bunga dengan wajah antusias berharap menanti kelanjutan ucapan Bunga yang bikin penasaran. Akhirnya dengan perlahan-lahan Bunga berbicara, “Darlen… cowok kece di sekolah ini masuk!”
Teman-teman Bunga yang berjumlah 2 orang cewek itu yaitu Rindu dan Cinta langsung berteriak histeris saling berpandangan.
“Haaa…sumpeh lo Darlen udah masuk sekolah lagi?” Tanya Rindu tak percaya.
“Ah, serius lo dia udah masuk?” Tanya Cinta juga tak percaya.
“Swear. Kesamber gledek deh kalo gue bo’ong sama lu berdua. Sekarang doi lagi di parkiran. Ayo cepetan, mumpung belum bel masuk nih.”
Rupanya rumpian ketiga cewek itu jadi pusat perhatian penghuni kantin. Mereka yang tadinya hanya memandang aneh kelakuan tiga cewek yang mengaku paling modis di sekolah ELITE itu, ikutan bangkit dari duduknya dan mengejar trio itu. Jadilah kantin yang tadi penuh cewek itu kosong menyisakan anak-anak cowok yang terbengong-bengong melihat para cewek itu lari berbondong-bondong dengan teriakan histeris menuju tempat parkir yang di komando Bunga. Kumpulan cewek yang riuh itu berhenti di muka gedung sekolah. Mereka hanya berani melihat Darlen dari kejauhan. Mereka melihat Darlen yang masih tetap dengan potongan rambut yang selalu berponi, mengenakan jaket biru muda dengan lengan bergaris vertikal dan mobil Murcielagonya yang keren berwarna biru sporty yang hanya memuat 2 orang.
Ungke dan Lisa melihat gerombolan cewek itu dengan pandangan heran, tak menyangka kalau kedatangan Darlen akan disambut seperti itu. Darlen ikut menoleh apa yang dilihat Ungke dan Lisa. Darlen melihat para cewek yang bergerombol berteriak histeris memanggil-manggil namanya. Mereka memberikan senyum manis dan genit, namun sayangnya Darlen tak membalas senyuman mereka. Darlen nampak cuek bebek. Meskipun begitu, mereka tetap dapat melihat aura Darlen yang terlihat cool dan calm. Seperti itulah selalu sikap Darlen yang tidak pernah bisa dirubahnya dan semua orang menilainya begitu. Walaupun demikian tak sedikit orang yang mengaguminya terutama kagum dengan ketampanan wajah dan suaranya yang bagus serta kepiawaiannya bermain musik seperti biola, drum, gitar dan piano. Darlen mempunyai sebuah band yang cukup terkenal dikalangan SMA. Bandnya yang bernama Cartenz selalu menang dalam setiap festival band yang dikutinya. Tidak salah lagi bila Darlen menjadi idola di sekolah ELITE dan banyak cewek yang ingin jadi pacarnya.
Darlen melihat Ungke dan Lisa yang pergi menuju kelas. Darlen mengambil tasnya yang berwarna biru dan menyelempangkannya dibahu kanannya. Darlen melangkah, tentu saja hati para cewek pada berdebar-debar menyaksikan Darlen yang sebentar lagi akan mendekat melewati mereka. Darlen berjalan dengan pandangan lurus ke depan tanpa senyum melewati kumpulan cewek-cewek yang memberinya jalan dengan lapang. Darlen berjalan dengan tenangnya tanpa memperhatikan mereka seolah-olah mereka tak ada. Mereka tak berani menyentuh karena Darlen adalah manusia yang dikenal dingin seperi es. The Iceman, Itulah julukan yang diberikan oleh siswa-siswi yang bersekolah di SMA ELITE.
Di depan pintu kelasnya, Darlen melihat ketiga teman bandnya, Egan, Robin dan Shalu sedang berebutan baca majalah musik.
“Kesinian dikit dong,” Egan menarik majalahnya ke kiri. “Nah kan jelas.”
“Yeah…enak aja lu,” protes Robin yang menarik majalah ke kanan. Sedangkan yang duduk di tengah–tengah mereka mendengus kesal.
“Ah kalian ini…baca majalah aja sampai berantem segala!” Suara Shalu kesal.
“Lu enak di tengah. Lha kita…!” Kata Robin dan Egan bareng tidak kalah sewot sambil mendorong bahu Shalu keras.
“Enak apaan!” damprat Shalu sambil gantian membalas mendorong bahu Egan dan Robin sehingga hampir jatuh dari kursi. “Dari tadi kalian main tarik sana-tarik sini! Gimana bisa baca kalau tulisannya jalan begitu!” Lanjut Shalu marah-marah yang sedikit bermajas.
Darlen yang sejak tadi berdiri didekat pintu kelas menggelengkan kepalanya melihat ketiga sahabatnya bertengkar. Darlen lalu menyapa mereka.
“Hallo semuanya,” sapa Darlen dengan wajahnya yang penuh kerinduan.
Egan, Shalu, dan Robin nengok ke arah suara itu. Mereka terkejut melihat Darlen yang sedang berdiri di dekat pintu, karena menurut hitungan mereka sudah satu bulan lebih anak itu tidak masuk sekolah.
“Darlen,” sebut mereka berbarengan dan langsung saja mereka berdiri menghampiri Darlen. Mereka sudah melupakan majalah musik itu.
“He…he… bintang kita masuk nih,” kata Egan lebih dulu.
“Iya nih… ada angin apa, tumben masuk?” Timpal Robin.
“Disuruh sekolah ya sama mama,” ledek Shalu yang disambut gelak tawa Egan dan Robin sedangkan Darlen hanya diam saja. Akhirnya ketiga temannya berhenti tertawa. Mereka merasa tidak enak dengan Darlen yang memang tidak bisa diajak bercanda padahal itu dilakukan teman-temannya hanya untuk memancing Darlen tertawa atau tersenyum. Selama ini mereka memang selalu berusaha membuat Darlen tertawa, tersenyum, banyak bicara dan tidak terlampau cuek. Tapi mereka sadar untuk bisa membuat Darlen seperti itu sangat sulit. Walaupun demikian mereka tetap bersemangat menjadi teman Darlen.
“Oh iya, ada berita baru nih. Di sekolah ada anak baru, cewek. Orangnya cantik banget. Apalagi kalau ngeliat bibirnya yang mungil merah merona dan bola matanya yang indah. Pokoknya dia perfect banget deh. Iya nggak, temen-temen?” Cerita Robin bersemangat.
“Rambutnya panjang hampir sepinggang dan kulitnya putih seperti elu, man,” timpal Egan seraya menepuk pundak Darlen.
“Namanya Anye,” Shalu melanjutkan cerita kedua temannya.
“Namanya lucu. Kenapa nggak Anyer aja sekalian,” ujar Darlen yang tampak biasa saja menanggapi cerita teman-temannya. Meskipun Darlen mengatakan nama Anye lucu, tetap saja Darlen tak tertawa.
“Jangankan Anyer…dia itu indah kayak pantai di Hawaii,” tukas Shalu minta anggukan.
“Sok tauk! Emangnya lu dah pernah ke Hawaii?” Tanya Robin.
“Belum pernah sih tapi kan gue punya tv. Ya gue bisa lihat keindahan pantai itu dari tv lah.”
“Iya gue setuju ma lu, Sha. Si Anye ini emang cantik banget. Pokoknya kalau kita ngeliat wajah dia, seger banget dan amat sangat mempesona,” kata Egan.
Bel tanda masuk telah berbunyi. Semua siswa segera masuk ke kelasnya masing-masing. Darlen duduk dengan Shalu di meja nomor tiga dan di depannya Robin duduk dengan Egan. Pelajaran pertama dimulai dengan pelajaran Pak Arsyad yaitu Fisika. Pak Arsyad pun masuk kelas dan langsung menulis materi pelajaran dipapan tulis tanpa banyak bicara.
Darlen melihat sekelilling isi kelasnya, semuanya mulai menulis apa yang tetulis di papan. Suasana begitu hening. Darlen begitu bosan dengan suasana yang ada di dalam kelas apalagi pikirannya masih terganggu dengan apa yang dilihatnya pagi ini di tempat parkir.
“Mengapa Lisa berangkat sekolah bersama Ungke? Sudah berapa lama hal itu terjadi?” Pikirnya gelisah.
Meskipun sudah 10 menit Darlen berada di kelas, tapi tak satupun alat belajarnya dikeluarkan. Ia benar-benar bosan hingga akhirnya ia bangkit dari duduknya.
“Permisi Pak, saya minta izin keluar?” Darlen minta izin.
“Ya silahkan,” Pak Arsyad memberikan izin.
Ketiga temannya memperhatikan Darlen keluar hingga hilang dari balik pintu. Mereka memaklumi sikap Darlen yang tidak pamit dulu pada mereka.
“Anak itu sekalinya masuk tetap saja ia tidak pernah betah di kelas,” kata Shalu seraya menggelengkan kepala sedangkan Robin dan Egan hanya mengangkat bahu dan menghela napas panjang.
“Sudah kita lanjutkan lagi belajarnya,” ujar Pak Arsyad menyela pandangan semua muridnya yang memperhatikan Darlen keluar kelas. Pak Arsyad menjelaskan tulisan yang barusan ditulisnya. Semua murid mendengarkan penjelasan Pak Arsyad dengan baik.
Darlen melangkah melewati kelas Lisa yang jaraknya hanya 2 kelas dari kelasnya. Perlahan Darlen berjalan seraya menempelkan jari-jari kirinya ke jendela kelas Lisa. Dari balik jendela, Darlen dapat melihat Lisa. Pak Agus yang tadi sedang menjelaskan pelajaran pun jadi terhenti ketika melihat Darlen yang melintas di luar sana menjadi pusat perhatian semua muridnya. Lisa hanya duduk terdiam bahkan ia tak berani mengangkat kepalanya. Lisa merasa malu dengan perbuatan Darlen. Lisa dapat merasakan teman-temannya dan juga Pak Agus, pasti saat ini sedang melihat ke arahnya. Karena semua orang di sekolah ini tahu kalau Lisa adalah kekasih Darlen meskipun sebenarnya sekarang sudah tidak lagi. Namun, apa daya karena belum ada orang yang tahu kalau Lisa dan Ungke sudah resmi berpacaran.
“Aku terpaksa mencintainya dan aku selalu berharap bisa terbebas dari belenggu cintanya yang kaku. Aku rasa keputusan ku sudah tepat dengan menerima Ungke sebagai pacarku dan kini saatnya aku untuk mengakhiri hubungan aku dengan Darlen,” gumam Lisa dalam hatinya mantap.
Darlen masuk ke ruang seni yang berukuran sama dengan ruang kelas, tempat di mana semua karya siswa ditaruh di tempat itu. Ada patung, topeng, kerajinan tangan, lukisan, foto-foto yang semuanya merupakan karya seni dari kelas satu sampai kelas tiga. Semuanya tertata dengan baik.
Lisa mencari-cari Darlen ke mana-mana hingga akhirnya ia menemukan Darlen di ruang karya seni. Dengan ragu-ragu Lisa menghampiri Darlen yang sedang melihat lukisan bergambar wanita penari Bali.
“Hai,” sapa Lisa.
Darlen menoleh. “Hai,” Darlen balas menyapa. “Aku senang kau di sini,” kata Darlen lagi dengan wajah berseri-berseri.
“Aku tadi mencarimu ke mana-mana, ke perpustakaan, studio, bahkan ke kantin. Aku pikir kamu ada di sana tapi ternyata kamu ada di sini.” Lisa berhenti sejenak untuk menyusun kata-kata berikutnya. “Oh iya, kamu apa kabar? Sudah lama kita tidak pernah bertemu. Where have you been so long?” Tanya Lisa basa basi. Sesungguhnya tak penting lagi Lisa bertanya seperti itu karena dia sudah tak mau lagi turut campur urusan Darlen.
“Aku baik, tepatnya 3 minggu yang lalu aku ikut festival drum untuk usia remaja yang pesertanya dari beberapa Negara Asia, Eropa, Amerika, Australia dan Afrika di UK. Aku berada di sana hingga 8 hari. Kontes itu amat luar biasa karena di sana juga hadir Drummers dari band-band ternama. Aku senang sekali berada di sana,” cerita Darlen panjang lebar.
Lisa senang Darlen bisa bercerita banyak tentang aktivitasnya karena selama ini Darlen adalah pribadi yang sangat tertutup dan tak banyak bicara.
“Nice to hear that. Semoga keadaanmu masih baik saat aku akan mengatakan sesuatu yang penting padamu.” Lisa terdiam sejenak. Ia mengumpulkan semua kekuatan untuk bisa bicara langsung pada Darlen yang rentan mendengar hal-hal yang buruk. Tapi tekad Lisa sudah bulat. Lisa harus mengatakannya sekarang juga agar hubungan barunya dengan Ungke tidak menggantung lantaran dirinya belum putus dengan Darlen.
“Darlen,” Lisa menarik napasnya, ia tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, ia harus mengatakannya dengan hati-hati. “Ada masalah yang harus kita selesaikan. Sebulan lebih kau tidak masuk sekolah dan selama itu pula kita tidak pernah bertemu atau pun bicara lewat telepon. Hatiku tidak cukup mampu menahan godaan yang datang. Kau tentu tahu maksudku,” kata Lisa berharap Darlen bisa menangkap maksud dari kata-katanya.
Darlen menatap Lisa lekat. Garis wajahnya meminta agar Lisa tidak akan berkata hal yang buruk padanya.
Lisa harus bisa melawan tatapan Darlen dan akhirnya pun Lisa berani bilang juga, “aku…berpaling darimu. Ungke telah mengambil cintaku darimu.”
Darlen terdiam. Bibirnya kelu. Darlen tak sanggup mengatakan apa-apa karena ia mengerti maksud Lisa. Hubungannya dengan Lisa telah berakhir.
Tangan kanan Lisa memegang pipi Darlen. “Kuharap kau baik-baik saja,” ujar Lisa lalu pergi meninggalkan Darlen.
Darlen duduk di bangku yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Darlen teringat mimpinya tadi malam. “Inikah arti dari mimpi semalam? Sungguh itu mimpi yang buruk. Lalu buat apa aku masuk sekolah kalau hanya untuk mendengarkan Lisa memutuskanku,” keluhnya menyesal.
Lunglai langkah Darlen menelusuri koridor kelas. Perasaan sedih menyelimuti hatinya. “Mengapa aku menerima keputusannya? Aku begitu bodoh tidak dapat menyanggahnya. Apa yang sebenarnya ada dalam hatiku ini? Mengapa hari ini aku begitu aneh seolah-olah ada sesuatu yang mengaturku tapi entah apa aku sendiri tak tahu,” gumam Darlen dalam hati.
Langkahnya berhenti ketika Darlen berada di pintu studio musik. Ia membuka handle pintu itu. Ia melangkah ke dalam dan mendekati peralatan musik. Pertama-tama, ia memegang gitar dan memainkannya hanya sebentar lalu duduk di belakang drum dan menggebuknya. Suara drum begitu bising ditelinganya. Ia berhenti lalu matanya teralih pada sebuah piano. Ia bangkit dan duduk di bangku piano. Jari-jarinya mulai memainkan tuts-tutsnya. Ternyata suara piano itu bisa membuatnya merasa lebih damai. Alunan nada yang dimainkannya sangat indah. Darlen begitu mahir memainkan tuts-tutsnya. Sejak umur 3 tahun, Darlen sudah belajar bermain piano dan piano adalah alat musik yang pertama kali ia pelajari. Setelah pandai bermain piano lalu ia belajar biola, drum, dan gitar. Oleh karena itu, Darlen bisa memainkan musik apa saja dengan baik.
◊◊◊
Anye langsung meloncat turun dari mobil papanya. Pintu gerbang sekolah sudah ditutup tetapi Anye mencoba mendorong gerbangnya, ternyata belum dikunci. Beruntung sekali, membuat Anye tersenyum lega. Ketika masuk, di depan dalam jarak 5 langkah lagi, Anye melihat Pak satpam yang hendak mengunci pintu gerbang. Langsung saja Anye memasang senyum khasnya dan menyapanya.
“Pagi, Pak Januar.”
“Pagi. Untung gerbangnya belum saya kunci,” kata Pak Januar. Pak Januar mengamati wajah Anye. “Kamu anak baru yang pindahan dari Bandung ya?”
“Iya Pak, saya Anye.”
“Lebih baik neng segera masuk,” suruh Pak Januar lekas.
“Ooo…” Anye melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 07.10, “iya nih udah telat. Permisi, Pak.”
“Iya, silahkan.” Pak Januar lalu mengunci gerbangnya ketika Anye telah berlalu pergi darinya.
Anye jalan tergesa-gesa. Belum saja ia memasuki gedung sekolah, Anye melihat mobil berwarna biru yang baru di lihatnya hari ini parkir di tempat parkir khusus. Anye sangat tertarik melihat mobil itu. Anye mendekati mobil itu. Anye melihat ada papan yang bertuliskan PARKIR KHUSUS UNTUK DARLEN. Anye melihat flat depan mobil yang bertuliskan DARLEN. Anye mengelilingi mobil itu dan tergoda untuk mengelus mobil itu. Anye baru melihat ada mobil sebagus itu di Indonesia. Di belakang ada nama merk mobil itu, Murcielago yang diketahuinya kalau mobil itu adalah mobil impor yang tentu saja harganya sangat mahal dan tergolong mobil mewah.
“Pantas saja keren…mobil impor. Pemilik mobil ini bernama Darlen, pasti dia adalah salah satu siswa di sekolah ini. Wajar aja kalau di sekolah ELITE ini ada siswa yang memakai mobil mewah ini. Tapi, walaupun aku baru beberapa hari bersekolah di sini, aku baru hari ini melihat mobil ini parkir di sini,” kata Anye yang bicara sendiri.
Kemudian Anye sadar tentang keterlambatannya. Anye melihat jam tangannya. “Aduhh… udah telat banget nih,” suara Anye panik.
Dikala Anye berlari, larinya terusik kembali dan berhenti karena ia mendengar ada suara piano berdenting dari studio musik. Melihat pintu itu tidak tertutup rapat, alunan musik piano yang indah membuat Anye tertarik untuk masuk. Dengan langkah pelan Anye masuk agar tak ketahuan. Anye melihat seorang cowok berjaket biru sedang bermain piano. Anye duduk dibangku, persis di belakang cowok itu. Anye terpukau dengan suara dentingan piano cowok itu. Anye penasaran dengan wajah cowok itu. Anye memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan tapi tetap tidak kelihatan juga wajahnya.
Tiba-tiba saja Darlen berhenti dan spontan terdengar suara tepuk tangan Anye, membuatnya langsung berbalik badan.
Anye sadar, ia menghentikan tepukkannya dan sedikit grogi. Ingin rasanya segera ia meninggalkan tempat itu karena malu. Namun, ketika ia hendak berdiri cowok itu memanggilnya
“Anggrek,” suara cowok itu seperti memanggilnya membuat Anye berbalik badan. Anye sama sekali tidak mengerti mengapa cowok itu menyebut Anggrek.
Darlen memandang takjub wajah Anye yang mirip sekali dengan gadis yang ada dalam mimpinya. Ya seperti itulah rupa wajah gadis misterius yang dilukisnya. Meskipun rambut dan pakaiannya beda, tak pirang bergelombang dan tidak memakai gaun putih yang dikelilingi bunga anggrek. Tapi wajah Anye sangat persis dengan yang dilukisnya. Ajaib! Darlen merasa mendapat keajaiban. Dihadapannya langsung berdiri seorang gadis yang selama ini menjadi teka-teki mimpinya yang dulu belum terjawab kini seperti sudah terjawab semua pertanyaanya. Darlen memandangi Anye dari atas sampai bawah, dia berharap ini bukan mimpi.
Dipandangi seperti itu tentu saja Anye risih. Anye takut ada yang salah dengan penampilannya. Anye lalu mengambil inisiatif duluan.
“Perkenalkan nama aku Anye, anak baru di sekolah ini.” Anye mengulurkan tangannya.
“Anye?” Darlen teringat pernah mendengar nama itu dari ketiga temannya. Darlen membenarkan cerita ketiga temannya. Anye memang cantik. “Oh, kamu si anak baru itu ya.” Darlen membalas uluran tangan Anye. Seperti ada getaran saat mereka bersalaman. Getaran yang seolah-olah mereka sudah memiliki keterkaitan. Mata mereka saling beradu. Darlen memandang tajam mata Anye sementara Anye seperti terhipnotis olehnya.
Sebetulnya bagi Darlen sama saja, dia kenal atau tidak, jangankan ada anak baru, dengan anak yang bersekolah di sini pun tak banyak wajah yang dikenalnya kecuali ketiga sahabatnya, Lisa dan Ungke. Yang lebih ironisnya lagi Darlen juga tak mengenal teman-teman sekelasnya karena saking cueknya dan sikap masa bodonya yang melampaui batas.
Mereka masih berjabatan tangan tapi Darlen belum menyebutkan namanya.
“Kamu belum menyebutkan namamu,” kata Anye mencairkan suasana yang kaku.
Darlen terhenyak dari pandangannya, “Oh, nama aku Darlen Navarro.”
“Darlen…berarti dia adalah sipemilik mobil itu. Benar saja dugaanku kalau ternyata pemiliknya seorang murid yang kaya. Aku bisa menilai dari penampilannya, jaket mahal yang dikenakannya, sepatunya, jam tangannya dan lagi kulitnya yang putih bersih tampak dari wajahnya. Bukan itu saja, rambutnya pun hitam terawat. Melihat Darlen aku seperti melihat pangeran saja. Itu tak dapat kupungkiri. Aku rasa orang lain akan berpendapat sama denganku,” gumam Anye dalam hati.
Tapi lagi-lagi Anye teringat tentang keterlambatannya, dan ini adalah yang kedua kalinya dia teringat. “Ya ampun, aku harus segera ke kelas!” Teriak Anye panik dan segera melepaskan jabatannya. Anye berlari keluar tanpa menutup pintu lagi. Darlen berlari ke pintu mengejarnya.
“Hai… kamu kelas berapa?” Tanya Darlen setengah berteriak di luar pintu studio.
Anye berbalik badan. “Kelas III IPA 1,” sahutnya kemudian menaiki tangga dan hilang dari pandangan Darlen.
“Kelakuannya sama dengan gadis yang ada dalam mimpiku, pergi tiba-tiba dan terburu-buru,” gumam Darlen. Wajah Darlen yang murung berubah jadi ceria karena akhirnya mimpi-mimpi misteriusnya dapat terpecahkan. Dan Anyelah sebuah jawabannya. Darlen berjalan menyusuri koridor ruangan dengan gurat wajah senang. Darlen bersandar di pinggir balkon seraya memegangi liontin yang bertuliskan namanya dan Lisa kemudian melepaskan kalung itu dari lehernya. Lama Darlen menekuri kalung yang penuh kenangan itu, masa-masa saat ia bersama Lisa. Darlen menelan ludah. Tidak mungkin ia akan terus menyimpan kalung itu, kalung yang menyisakan kenangan pahit. Tentu ia tidak ingin lagi mengingatnya maka dibuanglah kalung itu ke kolam air yang ada di sisi lapangan.
Anye terus berlari sambil memikirkan jawaban apa yang akan diberikan kepada Bu Ronyta bila guru matematika itu bertanya soal keterlambatannya. Anye tidak dapat membayangkan lagi bagaimana ekspresi wajah Bu Ronyta nanti saat ia muncul di pintu. Menyadari kalau ia sudah sangat terlambat, ketika sudah dekat, Anye memperkecil langkahnya. Perasaan takut tengah menyelimutinya.
Anye tidak mungkin bilang secara jujur kepada Bu Ronyta kalau ia terlambat gara-gara berendam terlalu lama di bath up untuk merasakan sensasi mandi susu yang dapat menghaluskan, melembutkan dan membuat kulitnya tetap putih terawat. Belum lagi karena kamar mandinya yang wanginya semerbak oleh aroma terapi yang lembut dan mampu menenangkan jiwa dan juga pikirannya, ia jadi lupa waktu dan tidak ingat harus segera berangkat ke sekolah hingga papanya yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya harus masuk ke kamarnya dan mengetuk pintu kamar mandinya berkali-kali untuk mengingatkannya kalau ia sudah terlambat. Papanya seakan sudah paham betul dengan kebiasaannya yang bisa satu jam lebih bila berada di kamar mandi. So, Anye segera menepis alasan pertamanya itu karena yang ada nanti ia bisa langsung kena damprat Bu Ronyta. Pada perkenalannya di kelas beberapa hari yang lalu telah cukup membuat ia paham seperti apa watak Bu Ronyta yang sesungguhnya yaitu seorang guru matematika dan wali kelas yang sangat galak dan nggak mau kenal kompromi.
Anye juga segera menepis alasan keduanya ketika muncul bayangan Darlen di kepalanya. “Ah…tidak mungkin kan aku bilang kalau aku terlambat gara-gara tadi tergoda mendengarkan alunan nada piano yang indah yang ternyata dimainkan oleh seorang murid cowok yang tampannya kayak pangeran. Ah…bisa sama marahnya Bu Ronyta nanti, seperti marahnya waktu itu. Trus anak-anak nanti bisa menertawakan jawabanku yang kedengarannya polos ini. Aduh…gimana nih? Tuhan, tolong aku dan selamatkanlah aku dari wajah murkanya Bu Ronyta. Aku takut sekali bila melihat wajahnya dan mendengar suaranya bila guru matematika itu sedang marah,” gumam Anye ketakutan sendirian.
Anye sudah berada di ujung pintu. Dirinya betul-betul pasrah bila guru itu ingin memarahinya dan menghukumnya. Dengan ragu-ragu ia mengetuk pintu kelas.
“Pagi Bu,” suara Anye gemetar.
Semua yang berada di kelas cemas dan tegang melihatnya dan memikirkan kelanjutannya yaitu dimarahi atau akan dihukum apa.
Bu Ronyta menengok jam tangannya, “Anye sudah jam 8 lewat 15 menit bahkan sebentar lagi jam pelajaran ini akan berakhir. Kamu terlambat satu jam lebih,” suara Bu Ronyta sangat tegas dan lugas.
“Maaf Bu, tadi ada sedikit gangguan ketika menuju ke sekolah,” jelas Anye menghiba.
“Ya sudah, kamu duduk,” perintah Bu Ronyta yang sungguh tak diduga olehnya dan juga teman-temannya.
Anye bernapas lega. “Terima kasih Bu.” Dengan perasaan lega Anye menuju tempat duduknya. Sedangkan yang lainnya terheran-heran dan bertanya-tanya mengapa Anye bisa mendapat perlakuan istimewa dari Bu Ronyata.
“Aneh, kok bisa sih si anak baru itu nggak dihukum? Dulu waktu gue terlambat di jam pelajarannya Bu Ronyta, gue sampai nggak diizinin masuk trus dijemur sambil menghadap hormat ke tiang bendera,” bisik Ronald cemburu kepada teman sebangkunya yang ternyata didengar oleh Anye.
“Begadang ya,” celetuk Ungke pelan.
Anye cuma tertawa kecil. “Cowok ganteng di sekolah ini siapa?” Tanya Anye tampak dengan wajah berseri-seri.
Sebenarnya Ungke agak aneh Anye bertanya seperti itu apalagi melihat Anye yang terlihat ceria meskipun jelas-jelas ia sudah datang terlambat, tapi tak terlihat sedikitpun rasa berdosa atas keterlambatannya hari ini.
“Aku,” jawab Ungke super pede.
“Hahaha…,” tawa Anye meledak sehingga semua perhatian tertuju padanya. Sadar akan hal itu, Anyepun langsung menutup mulutnya.
“Ada apa Anye?” Tanya Bu Ronyta.
Anye gelagapan sedangkan Ungke cekikikan. “Mmm…nggak ada apa-apa Bu,” sahut Anye yang terlihat pucat. Takut Bu Ronyta akan memarahinya di depan anak-anak.
“Ya sudah, Ibu kirain kamu punya sesuatu cerita lucu yang bikin kamu tertawa trus kan bisa dibagi ke teman-temanmu yang lainnya,” ucap Bu Ronyta seperti berkelakar.
“Nggak ada apa-apa, Bu. Ini bukan cerita lucu,” jelas Anye lagi.
Aneh bin ajaib. Itulah yang ada dipikiran anak-anak. Lagi-lagi Anye dimaafkan padahal ia sudah mengganggu ketenangan belajar. Anye adalah murid kedua yang mendapat perlakuan istimewa di kelas setelah Ungke.
◊◊◊
Bel istirahat sudah berteriak tapi Lisa masih saja duduk. Nella memperhatikan Lisa yang tampak gelisah. Kelas sudah sepi dan hanya tinggal mereka berdua.
“Kau kenapa?” Tanya Nella merasa aneh dengan gelagat Lisa.
“Aku mengkhawatirkan Darlen,” sahut Lisa dan Nella menatapnya tak mengerti.
“Aku memutuskannya,” lanjut Lisa membuat Nella terkejut. Tatapan mata Nella tampak garang. Suatu tatapan yang tidak adil untuknya.
“Kau sudah memikirkan akibatnya kalau keputusanmu akan berdampak buruk untuk Darlen. Apalagi Darlen baru aja mulai masuk sekolah. Dia bisa nggak masuk sekolah seumur hidupnya akibat hatinya hancur trus hilang semangat!” Suara Nella galak. “Dia pasti akan selalu murung dan makin tak banyak bicara,” lanjut Nella yang membuat Lisa jadi semakin merasa bersalah.
Mata Lisa berkacak-kacak, “aku sadar melakukannya. Aku begitu hati-hati mengatakannya dan setelah itu dia tidak berkata apa-apa. Aku merasa lega karena dia tidak bereaksi apa-apa dan hubungan baruku dengan Ungke akan berjalan dengan baik tanpa harus merasa dibayang-bayangi Darlen,” suara Lisa parau.
“Apa!” Nella berteriak histeris membuat Lisa tersentak kaget. Jadi kamu sama Ungke sudah jadian?” Tanya Nella tak percaya.
Lisa tak dapat lagi menahan air matanya. “Salahkah aku bila aku menentukan pilihanku sendiri?” Suara Lisa terisak.
Nella merasa iba dan memeluk Lisa. Dia berpikir, “jika Lisa kejam, Lisa tak akan mungkin menangis seperti ini karena merasa bersalah.”
Saat bel pulang berbunyi, Lisa bergegas keluar menuju tempat parkir. Lisa ingin memastikan kalau Darlen baik-baik saja. Setelah beberapa menit menunggu muncullah Darlen.
Darlen tahu Lisa mengkhawatirkannya. “Aku baik-baik saja,” ujar Darlen tanpa ekspresi. Bagaimana Lisa percaya dengan ucapannya, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Ketika Lisa hendak bicara, Darlen pergi berlalu meninggalkan Lisa yang tampak kebingungan tapi Lisa membiarkannya pergi.
Sehabis pulang sekolah, Darlen langsung ke kantor papanya di mana Pak Erlangga menjadi Direktur Cabang perusahaan milik papanya.
“Selamat siang,” sapa Darlen pada sekretaris itu.
“Siang, maaf ada yang bisa saya bantu?” Tanya sekretaris itu ramah.
“Saya ada perlu dengan Pak Erlangga karena ada dokumen penting yang harus ditandatangani oleh beliau. Apa Pak Erlangga ada?”
Sekretaris itu langsung mengerti karena memang sebelumnya Pak Erlangga sudah memberitahukannya. Sekretaris itu menyuruh Darlen masuk. “Oh silahkan Anda memang sudah ditunggu di dalam.”
Sepeninggal Darlen, sekretaris itu berkata-kata, “tampan tapi kok dingin sekali orangnya.”
Darlen mengetuk pintu, Pak Erlangga yang sedang sibuk di dalam menyuruhnya masuk.
“Pak Erlangga?” Tanya Darlen setelah masuk.
Pak Erlangga langsung berdiri mendekatinya. “Ya, saya sendiri.”
“Saya Darlen, putra Pak Wisnu Navarro dan ini dokumen yang dipesan papa. Mungkin Pak Erlangga sudah diberitahu,” kata Darlen seraya memberikan map yang berisi dokumen.
Pak Erlangga menerimanya. “Ya…ya… saya sudah menerima telepon dari Pak Wisnu.”
“Kalau begitu saya permisi,” pamit Darlen.
“Loh, apa nak Darlen tidak mau minum dulu.”
“Tidak usah repot-repot, Pak.”
Pak Erlangga tidak memaksa lagi, “ya sudah baiklah.” Pak Erlangga memandangi kepergian Darlen hingga keluar pintu. “Aku tak menyangka ternyata putranya Pak Wisnu tampan juga. Kira-kira dia mungkin seumuran dengan Anye atau mungkin setahun lebih tua dari Anye. Tapi sikapnya kok dingin sekali? Dia tidak banyak bicara,” kata Pak Erlangga yang bicara sendiri di ruangannya.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺













DARLEN JATUH CINTA LAGI

Malam minggu ini, Darlen dan ketiga temannya hanging out di kafe. Robin, Shalu dan Egan duduk di dalam kafe yang bersebelahan dengan tempat parkir mobil mereka. Kafe ini merupakan kafe yang bersifat outdoor yang tidak memiliki sekat tembok dan antara dalam kafe dengan tempat parkir hanya dibatasi oleh pagar kayu mahoni yang rendah. Bila Robin, Shalu, dan Egan berada di dalam kafe maka di luar kafe ada Darlen sedang tidur-tiduran di atas mobilnya dan kaca sebagai sandaran pundaknya.
“Kalian semua pada percaya nggak dengan cinta pada pandangan pertama?” Tanya Darlen menoleh pada ketiga temannya dan mereka mengangguk kompak. Lalu Darlen memalingkan wajahnya kembali menatap langit. “Pandangan yang begitu melayangkan hati,” lanjutnya kemudian.
Ketiga temannya sebenarnya tidak mengerti apa yang dimaksud Darlen dengan cinta pada pandangan pertama. Robin, Shalu dan Egan berembuk.
“Darlen tadi bilang cinta pada pandangan pertama. Dia pernah bilang begitu saat pertama kali dia melihat Lisa dan langsung jatuh cinta. Dan sekarang dia bilang lagi kata-kata seperti itu,” kata Egan mengawali.
“Itu tandanya dia jatuh cinta lagi pada gadis yang pertama kali dikenalnya,” kata Shalu menambahkan.
“Berarti Darlen udah putus dong dari Lisa. Soalnya selama Darlen nggak masuk sekolah, Ungke mengambil kesempatan untuk mendekati Lisa. Lihat saja akhir-akhir ini, Lisa sering naik mobil Ungke,” Robin menarik kesimpulan. Egan dan Shalu berpikir sejenak lalu mengangguk yakin.
“Tapi kira-kira siapa cewek yang ditaksir Darlen? Apakah cewek itu berasal dari sekolah kita juga atau…” Omongan Egan terpotong karena ia mendengar tiba-tiba saja Darlen bicara lagi.
“Dia cantik alami, bola matanya indah, bibirnya mungil tampak merah merona tanpa lipstik, senyuman manisnya, kulitnya yang indah, rambutnya yang hitam kemilau menggerai lembut dibahunya, tubuhnya harum dan tangannya lembut,” ucap Darlen yang masih mengingat dengan jelas pertemuan pertamanya dengan Anye lalu Darlen pun tersenyum. Suatu senyum bahagia yang jarang dikeluarkannya. Malam ini, hati Darlen memang lagi berbunga-bunga.
“Eeee…Eh Lihat tuh! Darlen tersenyum tuh!” Teriak Robin heboh lebih dulu.
“Eh, iya bener! Darlen tersenyum!” Teriak Egan juga tidak kalah heboh dari Robin.
“Wah… Darlen bisa juga tersenyum,” kata Shalu cukup dengan suara datar.
“Horeee!” Seru mereka sambil tos. Akhirnya kita bisa juga melihat Darlen tersenyum,” kata mereka puas dan gembira.
Wah ternyata teriakkan mereka tadi mengundang orang-orang yang berada di kafe ingin tahu apa yang mereka teriakan.
“Ada apa sih di luar sana? Kok heboh banget?” Tanya cewek berbaju hijau yang sudah mahasiswi sambil melihat cowok yang tadi ditunjuk oleh Robin. “Wah ganteng juga tuh anak!” seru cewek itu kemudian setelah melihat Darlen.
“Loh itu kan Darlen vokalisnya band Cartenz yang sering juara dalam festival band,” kata cewek yang usianya masih anak SMA menimpali kakaknya.
“Kamu kenal dia De? Apa dia itu teman sekolah kamu?” Tanya kakaknya.
“Bukan kak,” sahut adiknya. “Aku nggak satu sekolah sama dia tapi aku kenal sama dia. Dia itu siswa dari SMA ELITE.”
“Kok kamu tahu sih?” Tanya kakaknya lagi penasaran.
“Karena aku kan sering nonton festival band dan lagipula profil Darlen dan bandnya sering diliput majalah Remaja, kak,” jelas adiknya.
“Ohhh…kakak kirain kamu satu sekolah sama dia. Kan lumayan De kalau kamu satu sekolah apalagi bisa satu kelas sama dia, kan bisa kamu pacarin deh dia.”
Adiknya hanya tersenyum-senyum mendengar ucapan kakaknya. “Tapi kak, aku seneng deh bisa melihat senyum dia. Soalnya banyak yang bilang Darlen itu jarang senyum.”
“Iya De, kakak juga suka senyumnya. Manis banget!”
Siapapun yang melihat Darlen pasti akan bilang ganteng dan siapapun yang melihat senyumnya pasti akan merasa surprise dan senang.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

















RAHASIA LISA

Matahari sudah mulai naik ke atas, bersiap untuk menyinari segala makhluk yang ada di bumi. Hari minggu memang hari yang tepat untuk bermalas-malasan bangun tidur buat Lisa. Lisa memang kebiasaaan kalau belum jam 9 pas dia tidak akan muncul dimeja makan.
Berbeda dengan neneknya yang sudah bangun sejak jam 5 subuh, melakukan kegiatan rutinitasnya seperti lari mengelilingi komplek. Eit, jangan salah walaupun sudah punya cucu tapi beliau masih segar bugar dan tampak awet muda dan itu dikarenakan beliau rajin berolahraga. Kerap kali beliau menyuruh Lisa untuk ikut lari bersamanya namun Lisa selalu menolak karena Lisa malas untuk bangun pagi-pagi, padahal udara pagi sangat bagus untuk dihirup.
Benar saja Lisa muncul tepat jam 9 pas. “Good morning, Grandma,” Lisa memeluk neneknya yang sedang menggunting daun-daun yang sudah tua dari belakang.
Neneknya melihat jam tangannya, “sudah siang cucuku. Kamu ini selalu saja bangunnya kesiangan. Tidak baik anak gadis bangunnya kesiangan.”
Lisa melepaskan neneknya. “Ah grandma… biasanya kan aku memang selalu bangun jam 9,” kata Lisa sedikit merengut manja.
“Michelle,” nama yang biasa dipanggil neneknya untuk Lisa. Michelle Lynch Davis adalah nama aslinya. Lynch Davis adalah nama ayahnya yang berkebangsaan Amerika. Lisa hanyalah nama samarannya dan tidak seorang pun yang tahu tentang asal-usulnya meskipun itu adalah sahabatnya sendiri.
“Kamu sudah 2 tahun lebih tinggal di Indonesia. Tujuan orang tuamu mengirimkanmu ke sini adalah untuk mendidikmu dengan adat timur, mengubah perilaku, sikap dan kepribadianmu menjadi anak yang lebih baik dan menghargai dirimu sebagai wanita,” kata neneknya yang selalu menasihati Lisa.
“They’re selfish. I hate them. Mereka sudah tak berlaku adil padaku. They abandoned me. Karena aku dianggap anak yang tak berguna. Mereka selalu mengatur hidupku, mengekang kebebasanku dan menentukan dengan siapa saja aku harus bergaul!” Kata Lisa sengit. Sedangkan neneknya hanya diam mengamati wajah cucunya dengan perasaan iba lalu mendekati dan memegang pundak Lisa.
“Ini memang tidak adil untukmu. Tidak adil untuk cucu Oma tapi pikirkanlah kebaikan dan hikmah yang kau dapat selama kau tinggal di sini,” kata neneknya yang membawa Lisa ke masa lalunya. Terbayang dimatanya gambaran dirinya yang kelam, berteman dengan anak-anak nakal yang membawa pengaruh buruk untuknya seperti bolos sekolah, merokok, mengerjai guru, mengganggu teman, suka buat keributan di kelas dan nilai ulangannya yang selalu anjlok. Karena kenakalannya itu membuat dirinya menjadi daftar hitam di sekolah. Sekolahnya penuh masalah membuat orang tuanya mesti bolak-balik ke ruang kepala sekolah lalu tak sanggup dan memutuskan untuk mengirimkan Lisa ke Indonesia.
“Sekarang kau berbeda dengan dirimu yang dulu,” lanjut neneknya lagi, yang mengingatkannya kembali pada dirinya yang dulu adalah cewek yang selalu bicara kasar, tak tahu sopan santun dan tak tahu cara berpakaian yang baik. Mengingat masa lalunya, Lisa hanya diam terpaku sambil terus mendengarkan petuah bijak neneknya.
“Lihatlah dirimu yang sekarang. Perubahan yang kau rasakan selama kau tinggal di sini bersama Oma, berada di sekeliling orang-orang yang ramah dan teman-teman yang baik. Berbedakah?” Tanya neneknya.
“Tentu saja,” sahut Lisa yang merasakan betul perubahannya selama ia tinggal di Indonesia bersama neneknya. Lisa memeluk neneknya erat, “Thank you for everything, grandma. You’ve changed my world to be better,” suara Lisa lirih.
Neneknya tersenyum. “Sudahlah,” kata neneknya pendek sambil melepaskan pelukannya. “Oma sudah siapkan sarapan untukmu.”
“Grandma,” kata Lisa menahan neneknya.
“Iya.”
“Grandma, aku tidak suka Grandma memanggil aku Michelle apalagi di depan Ungke.” Lisa melihat wajah neneknya yang seolah-olah bertanya siapa Ungke dan apa hubungannya.
“He’s my new boyfriend. I broke up Darlen,” jelas Lisa. Kini wajah neneknya berubah kaget. “Grandma, please trust me. Darlen baik-baik saja dan tidak akan terjadi apa-apa dengannya. I did it very careful and he accepted that. Grandma, apakah kau setuju dengan keputusanku. Setidaknya Ungke lebih baik dari Darlen.”
“Semoga kau langgeng dengannya Michelle,” kata neneknya yang masih memanggilnya Michelle walaupun Lisa sudah memintanya untuk tidak memanggilnya Michelle lagi.
“Grandma, aku ingin kita dapat bekerja sama dan tolong jangan ceritakan apapun tentang diriku. Aku mohon jangan pernah memangilku Michelle di depan Ungke. Oke, Grandma?”
Neneknya mengangguk tanda setuju. “Kau selalu mengatakan hal yang sama, menutupi identitasmu dari Nella, Darlen dan semua orang kecuali kepala sekolah, Wulan yang bekerja dibagian tata usaha sekolah dan guru yang bersangkutan yang semuanya setuju untuk menyembunyikan indentitasmu,” kata neneknya lembut seraya mengelus pelan rambut Lisa yang bule menggemaskan.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺












CEWEK BULE

Hari minggu ini Ungke bête banget. Ia kesepian. Papanya, mamanya dan Kesha adik kecilnya yang berusia 5 tahun pergi tamasya. Di rumah, ia cuma sendirian bersama para pembantunya.
“Siapa yang bisa diajak main lagi. Biasanya hari minggu begini aku ngajak Kesha ke taman atau main gokart,” gumamnya sendirian sambil menghempaskan badannya ke sofa yang ada di dalam kamarnya. Tidak ada yang bisa ia kerjakan. Nonton tv sendirian nggak enak. Dengerin musik, bosan. Mau main basket tidak ada yang bisa diajak main basket. Dan tiba-tiba saja ia teringat Anye.
“Oh iya kenapa nggak ke rumah Anye aja ngajak Anye main basket. Dulu kan waktu SMP kita sering main basket bareng, lagipula aku sudah tahu rumahnya.”
Ungke membawa bola basketnya. “Pak Yaya, tolong antarkan saya ke rumah Anye,” kata Ungke ketika muncul di depan rumah pada sopirnya yang baru saja selesai mencuci mobilnya.
Pak Yaya bergegas membukakan pintu mobil untuknya.
“Pak Yaya masih ingetkan rumah Anye?” Tanya Ungke ketika Pak Yaya sudah masuk mobil.
“Rumah yang di Lenteng Agung nomor 15 itu ya, Den?”
“Betul sekali. Kalau begitu cepat berangkat, Pak,” perintah Ungke.
Setelah satu jam perjalanan akhirnya mobil sudah sampai di rumah yang dituju.
“Kita sudah sampai Den di rumah non Anye,” kata Pak Yaya memberitahu.
Ungke membuka jendela kaca mobilnya. Matanya mengamati baik-baik rumah itu.
“Ya, ini rumahnya,” kata Ungke sangat yakin pada Pak Yaya.
Ungke keluar dari mobilnya. Ia mendekati pagar rumah itu. Kebetulan ada belnya. Ungke memencet bel itu. Tak berapa lama kemudian keluarlah seorang cewek muda, bule.
Ungke heran. “Loh kok yang keluar orang bule? Apa Anye punya saudara sepupu bule?”
“What can I do for you?” Tanya cewek bule itu ramah.
“Sorry, can you speak Indonesia?” Bukannya menjawab Ungke malah balik bertanya.
“I’m sorry, I can’t speak Indonesia. I have been living here for three months,” jelas cewek bule itu.
Masih dengan wajah herannya Ungke bertanya lagi. “Do you know Anye?”
“Anye? Who is Anye? The girl?”
Ungke mengangguk cepat.
“I don’t know her,” lanjut cewek bule itu yang menunjukkan raut wajah kalau ia berkata jujur. Walaupun demikian Ungke tetap bersikeras.
“She’s my friend. Don’t you really know her?” Tanya Ungke menyakinkannya sekali lagi.
“I don’t really know her, definitely,” sahut cewek bule itu yakin.
“Are you sure?”
“Don’t make me angry. Do you realize that you just wasting my time,” sahut cewek bule itu mulai kesal.
“I’m sorry. May be I’m wrong house.”
“Yeah …I think so.”
“Thank you for your time and sorry to trouble you.”
“Nevermind.”
Ungke memperhatikan cewek bule itu kembali masuk ke dalam rumahnya dengan raut wajah kecewa. Ungke baru sadar kalau Anye telah membohonginya.
“Why did she lie to me?” Ungke seolah-seolah bertanya pada Pak Yaya yang hanya bengong mendengarnya bicara.
“Den Ungke ngomong apaan sih? Maaf Den, saya nggak ngerti.”
“Ini bukan rumah Anye, Pak,” sahut Ungke dengan nada kecewa.
“Apa Den, bukan? Ah masak sih Den? Waktu itu kan kita anterinnya sampai sini.”
“Iya, Pak. Waktu itu kita memang nganterinnya sampai sini, tapi ternyata rumahnya bukan di sini. Ini rumah ekspatriat Pak atau orang asing,” jelas Ungke yang kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. “Tapi aku nggak tahu nomor teleponnya. Bapak tahu nggak nomor telponnya Anye?”
Pak Yaya menggeleng
Ungke memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. “Kalau rumahnya tahu nggak, Pak?” Tanya Ungke lagi yang sebenarnya sia-sia saja. Ungke tahu kalau Pak Yaya akan menggeleng lagi. Ungke jadi ngelantur bertanya karena saking kecewanya. Ungke tidak menyangka selama bertahun-tahun bersahabat dengan Anye baru kali ini Anye membohonginya. Ungke masuk ke dalam mobil.
“Kita mau pergi kemana lagi, Den?”
“Pulang,” sahut Ungke tidak bersemangat.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺






TERIMA KASIH MBA WULAN

Keesokkannya di sekolah pada waktu mereka istirahat bareng di kantin sekolah.
“Kau dari tadi diam saja. Biasanya kau selalu berkelakar menggodaku,” kata Anye yang heran melihat aksi diam Ungke yang tidak jelas apalagi melihat wajahnya yang masam seperti orang marah saja.
“Kenapa kau berbohong padaku?” Tanya Ungke tiba-tiba sinis.
Anye terkejut. Anye tidak tahu apa salahnya. “Apakah aku pernah berbohong padamu?” Tanya Anye hati-hati. Anye masih belum menyadari kesalahannya.
“Kemarin aku ke rumahmu,” Ungke bicara langsung pada intinya. Kata-kata Ungke barusan benar-benar pukulan telak buat Anye. Setelah itu Anye baru sadar akan kesalahannya.
“Oh ya,” sahut Anye pendek.
“Bagaimana, apakah kau sudah tahu apa kesalahanmu?”
Anye hanya terdiam.
“Aku sungguh kecewa kemarin. Ternyata yang keluar cewek bule bukan kamu. Apa maksudmu membohongiku?” Ungke marah sekali dengan sudut matanya yang tajam membuat Anye tak berani menatapnya.
“Selama kita bersahabat kau belum pernah berbohong padaku,” lanjut Ungke lagi dengan nada kecewa.
Anye dapat merasakan kekecewaannya. Hatinya merasa tak enak. Tak ada kata lain yang harus diucapkannya selain penyesalan dan pengakuannya.
“Aku minta maaf…aku bersalah.”
“Bila bicara janganlah menunduk!” Kata Ungke keras.
Anye langsung berani memandang wajah Ungke. Duduk gelisah dengan perasaan bersalah dan menyesal, menunduk seperti orang yang lemah dalam menghadapi masalah membuat Anye merasa seperti orang bodoh dihadapannya. Tentu tidak. Anye tidak ingin membiarkan Ungke berhasil memojokkannya dan menerima dakwaannya begitu saja.
“Aku sengaja melakukan itu karena aku ingin kau tahu sendiri rumahku tanpa aku beritahukan padamu. Kita bersahabat sejak lama. Buktikan padaku sebagai seorang sahabat sejauh mana kesungguhanmu dalam menjalin persahabatan kita. Mampukah kau cari tahu sendiri di mana rumahku,” sahut Anye seperti menantangnya.
“Kau menantangku?”
Anye tak menyahutnya dan pergi meninggalkannya.
Belum lama melangkah, Ungke memanggilnya, “Anye! Aku akan cari sendiri alamatmu secepatnya. Mungkin nanti malam aku akan ke rumahmu.”
“Dengan cara membututiku pulang.”
Ungke menggeleng, “jangan khawatir. Aku tidak akan membuntutimu pulang. Akan kulakukan dengan caraku sendiri,” janji Ungke.
“Aku harap kau bisa menemukannya dengan cara yang jujur. Semoga sukses.” Anye melanjutkan lagi langkahnya dan menghilang dari pandangan Ungke.
Ungke mulai berpikir bagaimana caranya mencari alamat Anye. Tidak mungkin ia melakukannnya dengan cara membuntuti Anye pulang karena Anye tidak menyukai cara itu. Tidak surprise untuknya. Dan idenya muncul setelah bel tanda masuk kembali berbunyi.
Setelah pulang sekolah, Ungke mulai melaksanakan idenya tapi sebelumnya ia menemui Lisa terlebih dahulu.
“Hai Lisa,” sapa Ungke ketika Lisa muncul.
“Hai Ungke. Are we go home now? Oh iya, where is Anye?” Tanya Lisa begitu melihat Ungke sendirian menunggu.
“Lisa, kita tidak langsung pulang dulu karena aku akan ke ruang Tata Usaha dulu.”
“What are you going to do there?”
“Aku ingin mencari alamat Anye. Rumah yang di LA itu bukan rumahnya. Kemarin aku ke rumah itu dan pemiliknya ternyata orang bule yang baru 3 bulan tinggal di sana.”
“Oh God. But why she did lie?”
“Anye ingin aku tahu sendiri rumahnya. Ia ingin melihat kesungguhanku dalam bersahabat dengannya.”
“She’s so weird.”
“Ya terkadang sikap anehnya itu yang membuatku suka bersahabat dengannya dan penasaran. Sejak dulu Anye memang begitu, aneh. Sikap dan tingkah lakunya sulit ditebak meskipun aku bersahabat sudah lama dengannya.”
Mereka sudah sampai di ruang tata usaha.
“Selamat siang mba Wulan,” sapa Ungke pada wanita yang menangani biodata para siswa.
“Selamat siang, ada perlu apa kamu kemari?” Sahut mba Wulan yang sudah mengenal betul siapa Ungke. Ungke yang pintar, ketua OSIS yang sebentar lagi masa jabatannya berakhir karena sudah kelas tiga selain itu Ungke juga masih menjabat sebagai ketua tim basket sekolah dan lagi orang tuanya masuk daftar salah satu nama orangtua konglomerat di SMA ELITE yang merupakan sekolah yang hanya menampung anak-anak dari kalangan atas.
“Saya mau minta tolong sama mba Wulan. Mba Wulan kan yang memegang biodata para siswa terutama alamat siswa. Mba Wulan bisa tolong mencarikan alamat Anye, nggak?”
“Anye? Anye yang anak baru itu? Dia bukannya sekelas denganmu bahkan sebangku denganmu, kan. Kenapa nggak langsung kamu tanyakan saja kepadanya?” Tanya Mba Wulan menatap Ungke heran.
“Saya ingin buat dia surprise, mba,” sahut Ungke sekenanya dan akhirnya wanita itu meresponnya baik.
“Sebentar mba carikan ya.” Mba Wulan mencari data itu di komputernya. Tak berapa lama kemudian mba Wulan telah mendapatkan alamatnya. “Nih dia, Anye Anggrarespati Erlangga. Rumahnya di jalan Mertilang XXI Blok KD No.9, Bintaro Jaya dan nomor telponnya 7718430.”
“Oh…jadi rumahnya di Bintaro.” Ungke langsung mengambil secarik kertas dan pulpen dari dalam tasnya. Ungke mencatat alamat dan nomor telponnya juga.
“Terima kasih ya, Mba Wulan,” kata Ungke setelah selesai mencatat.
“Sama-sama. Kamu nanya alamatnya mau ngedate ya?” ledek mba Wulan. Ungke hanya tersenyum menanggapinya. Ungke jadi merasa tak enak pada Lisa. Tapi Lisa tak mempermasalahkan itu karena Lisa tahu hubungan mereka hanya sebatas teman saja.
“Kapan kamu akan datang ke rumahnya?” Tanya Lisa ketika sudah keluar dari ruang TU.
“Nanti malam aku akan datang ke rumahnya karena aku sudah janji padanya begitu,” sahut Ungke.
Seperti biasa Ungke selalu mengantarkan Lisa pulang.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺










BIDADARI KECIL

Anye tampak gelisah ditempat tidurnya, membayangkan kata-kata Ungke tadi pagi di kantin.
“Kemarin aku kerumahmu. Aku sungguh kecewa kemarin. Ternyata yang keluar cewek bule bukan kamu. Apa maksudmu membohongiku? Selama kita bersahabat kau belum pernah berbohong padaku.”
Kata-kata itu terus berulang-ulang terdengar ditelinganya.
“Apa yang telah aku perbuat padanya? Aku melihat Ungke sangat kecewa dan begitu marah padaku. Pasti ia akan sangat membenciku karena aku telah menghancurkan hubungan yang bertahun-tahun terjalin dengan kebohongan yang baru sekali ku lakukan. Ungke maafkan aku,” Anye memejamkan matanya.
“Tok, tok, tok!” Anye mendengar ada suara orang mengetuk pintu kamarnya.
“Siapa?”
“Bibi, Non.”
“Masuk aja, Bi nggak dikunci.”
“Non waktunya makan malam.”
Anye melihat jam wekernya yang sudah menunjukkan pukul 7 malam yang memang sudah waktunya ia makan malam.
“Ungke pasti tak datang,” pikirnya.
Anye segera beranjak dari tempat tidurnya. Ketika Anye menuruni tangga terakhir, ia mendapati surprise dimeja makan yang jaraknya tak jauh dari tangga. Anye yang selama ini selalu makan sendiri lantaran papanya selalu sibuk kerja sehingga mereka tidak pernah punya kesempatan untuk makan bersama. Namun, kali ini papanya sudah menunggunya di meja makan. Anye tidak tahu kalau hari ini papanya pulang lebih awal dari biasanya karena sejak pulang sekolah ia mengurung diri di kamar. Tapi Anye bukannya senang karena malam ini baru bisa makan malam bersama papanya, ia malah menyambut dengan sikapnya yang dingin.
“Big surprise!!” Anye duduk di sebelah papanya. “Hallo pa, Anye pikir kita akan selamanya tidak makan bersama di meja ini,” kata Anye dengan nada menyindir.
Tapi papanya tak menggubrisnya. Akhir-akhir ini Anye memang selalu bersikap dingin terhadap papanya sebagai aksi protesnya karena papanya lebih suka mementingkan pekerjaan ketimbang meluangkan sedikit waktu untuknya.
Pak Erlangga menerima sikap putri tunggalnya yang selalu minta ingin diperhatikan dengan sikap sabar, lapang dan memakluminya.
“Papa senang malam ini bisa menemanimu makan malam,” kata pak Erlangga hangat yang diiringi seutas senyum tulusnya.
“Anye juga senang sepertinya hari ini Anye baru merasa punya papa,” lagi, Anye selalu mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan.
“Loh, kamu kok makannya sedikit sekali? Apa menu hari ini membosankan?” Tanya Pak Erlangga yang melihat sedikit nasi yang ada dipiring Anye.
Rupanya kejadian tadi pagi telah mempengaruhi pola makannya yang jadi sedikit dan juga rasa tidak sregnya terhadap papanya.
“Hari ini Anye lagi tak berselera. Papa makannya banyak sekali. Papa stress ya?” Tanya Anye sinis tapi papanya sama sekali tak tersinggung. Lagi, papanya selalu menyikapinya dengan sikap sabar.
Anye menyudahi makannya dan meninggalkan meja makan.
“Ada apa dengannya, Rima?” Tanya Pak Erlangga yang heran melihat Anye tampak murung.
“Sehabis pulang sekolah, non Anye langsung pergi ke kamar dan tidak keluar-keluar lagi, tuan.” sahut Bi Rima, wanita yang mengasuh Anye sepeninggal ibunya.
Bagaimana Pak Erlangga bisa meneruskan makannya bila melihat putrinya murung seperti itu. Pak Erlangga menyusul Anye yang sedang nonton tv di ruang keluarga. Pak Erlangga duduk di sebelah Anye.
“Kata Bi Rima semenjak kamu pulang sekolah, kamu terus mengurung diri di kamar. Kamu sakit?” Pak Erlangga memegang kening Anye. “Tidak panas,” katanya lagi sambil melepaskan telapak tangannya dari kening Anye. Anye tidak berkomentar apa-apa. Ia membiarkan papanya bingung dengan kelakuannya yang aneh hari ini.
“Non Anye, ada telpon untuk non,” tukas Bi Rima memberitahu.
Anye menoleh. “Dari siapa?”
“Orang itu tidak menyebutkan namanya,” sahut Bi Rima.
Anye bangkit menerima telpon itu. “Hallo siapa ini?”
“Hallo, kamu hafal suara aku, kan?” Suara dari seberang menyahut.
Anye terkejut dengan suara itu karena ia tahu sipemilik suara itu.
“Ungke… dari mana kau tahu nomor telpon rumahku?” Tanya Anye heran.
Ungke malah tertawa. “Yang pasti aku tidak membuntutimu pulang karena seperti biasa tadi siang aku mengantarkan Lisa pulang.”
“Huh sebal! Selalu saja Lisa yang ia bicarakan,” umpat Anye. Anye mencurigai papanya dan Bi Rima, ia menuduh kalau merekalah yang memberitahu. Pertama-tama Anye mendakwakan tuduhannya kepada papanya.
“Papa berapa kali ketemu Ungke?”
“Baru sekali papa bertemu dengannya, waktu pertama kali mengantarkanmu masuk sekolah,” jawab papanya.
“Ah papakan orang sibuk. Mana mungkin bertemu Ungke lagi,” pikir Anye lalu dakwaan berpindah kepada Bi Rima.
“Bibi pernah bertemu Ungke?” Tanya Anye.
“Ungke? Ungke yang dulu sering ke rumah dan mengajak non Anye bermain? Memangnya Non bertemu dengannya lagi?” Bi Rima malah balik bertanya padanya.
“Hallo…” Anye berusaha bicara lagi pada Ungke tapi hanya nada tut..tut..yang ia dengar. “Ya telponnya dimati’in. Nggak sopan banget sih nih orang,” gerutu Anye.
Berselang kemudian terdengar bunyi bel. Bi Rima bergegas keluar tapi Anye menahannya. “Bi, biar Anye aja yang bukakan pintunya.” Anye segera keluar membukakan pintu. Begitu pintu terbuka lebar, Anye mendapati sosok orang yang ditunggu-tunggunya. Anye benar-benar terkejut dibuatnya.
“Ungke…?!” Histeris Anye terkejut. “Bagaimana anak ini bisa udah sampai di rumahku?” Tanyanya heran dalam hati sebab belum lama ia berbicara dengan Ungke ditelpon tapi sekarang mendadak Ungke sudah muncul di depan pintu rumahnya. Jelas saja ia sangat terkejut.
“Ka..kamu barusan aja nelpon,”
Ungke mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menunjukkanya pada Anye. “Aku tadi nelpon kamu pakai handphoneku.”
Saking terkejutnya dengan kedatangan Ungke membuat Anye lupa teknologi yang sudah semakin canggih. “Ah bodoh sekali aku, seperti orang yang gagap teknologi saja,” kata Anye dalam hati.
“Dari mana kau tahu nomor telpon dan alamatku?” Tanya Anye yang ingin tahu darimana Ungke mendapatkan informasi itu.
“Aku akan selalu berusaha untuk menemukanmu dan bila aku tak mampu aku akan berdoa pada Tuhan memohon petunjuk ada di mana dirimu,” jawab Ungke, sedangkan Anye melongo mendengar jawaban Ungke yang diplomatis itu.
“Boleh aku masuk?”
Anye terhenyak, “Ya silahkan.”
“Siapa yang datang?” Tanya papa yang barusan muncul.
“Selamat malam, Om,” sapa Ungke sopan.
“Oh, nak Ungke, malam. Mari silahkan duduk,” Papanya menyambut kedatangan Ungke dengan senang hati. Anyepun ikut duduk dan Bi Rima pergi ke dapur mengambilkan minuman.
“Apa kabar Om?”
“Alhamdulillah, sehat. Kamu sendiri dan keluargamu apa kabar?” Gantian Pak Erlangga bertanya.
“Alhamdulllah semuanya sehat, Om”
“Om minta maaf karena Om tidak pernah sempat datang ke rumahmu. Maklum, Om selalu sibuk.”
“Nggak apa-apa Om. Papa juga sama sibuknya seperti Om.”
“Boro-boro mau datang kerumahmu. Denganku saja tidak ada waktu untuk mengetahui perkembanganku,” sambar Anye sinis.
Ungke dapat melihat ketidakharmonisan hubungan antara Anye dan papanya masih berlanjut hingga sekarang. Itu dimulai sejak Anye masih SMP di mana Anye selalu berkeluh kesah padanya tentang papanya yang sudah jarang memperhatikannya lagi. Anye bilang papanya lebih terfokus pada pekerjaan kantornya ketimbang pada anaknya sendiri.
Kemudian datang Bi Rima membawa minuman berwarna orens. “Den Ungke silahkan diminum. Bibi senang bisa bertemu Aden lagi.”
“Terima kasih, Bi. Ungke juga senang bisa bertemu Bibi lagi.”
Bincang-bincang Bi Rima dan Ungke dapat mencairkan suasana yang tadi sempat kaku. Ungke meneguk sedikit minumannya. Bi Rima kembali lagi masuk ke dalam.
“Om, boleh nggak, Anye saya bawa keluar malam ini?” Pinta Ungke ragu-ragu.
Anye kaget soalnya Ungke tidak bilang akan membawanya keluar malam ini. Anye juga tidak yakin kalau papanya akan mengizinkannya keluar. Anye belum pernah keluar malam. Apalagi Anye baru tinggal di Jakarta.
Pak Erlangga belum menjawab. Ia sedang mempertimbangkannya. Tapi melihat Anye yang murung sejak tadi siang, ia berpikir, “Anye selalu bahagia bila Ungke bersamanya karena Ungkelah orang satu-satunya yang sangat akrab dengan Anye sejak kecil dan lagipula Ungke bisa menghibur dan melunakkan hatinya. Mungkin dengan pergi bersama Ungke akan bisa mengembalikan keceriaannya.” Dilihatnya jam tangannya yang baru menunjukkan pukul 19.20 malam. “Belum terlalu malam,” kata Pak Erlangga dalam hatinya. Dan akhirnya Pak Erlangga memutuskannya.
“Ya, Om izinkan kamu membawanya keluar malam ini. Tapi…tolong kamu kembalikan Anye sebelum jam 10 malam, nggak lebih.”
Ungke dan Anye yang semula tegang menanti keputusannya bernapas lega.
“Makasih, pa. Anye senang banget boleh keluar malam sama Ungke,” Anye langsung menghambur memeluk papanya senang.
“Iya sayang,” tutur papanya turut senang.
“Ungke, kamu tunggu di sini dulu ya soalnya aku mau ganti baju dulu.”
“Iya, tapi jangan lama-lama ya.”
Pak Erlangga senang melihat Anye berlari kegirangan menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
“Anye adalah anak Om satu-satunya dan milik Om yang paling berharga. Hanya dia yang Om miliki setelah kepergian ibu dan kakaknya,” ujar Pak Erlangga tanpa ragu berbicara pada Ungke karena menurutnya Ungke adalah orang yang tepat untuk diajak bicara masalah keluarganya apalagi ia sudah lama mengenal Ungke dan orang tuanya.
“Hanya dia yang Om miliki setelah kepergian ibu dan kakaknya yang meninggal karena kecelakaan 5 tahun silam. Mobil kami bertabrakan dengan truk karena berusaha menghindari sepeda motor yang menyalip mobil kami dari belakang. Namun Om tetap bersyukur karena Om dan Anye selamat. Anye hanya luka ringan di kepala dan tanganya sedangkan Om mengalami kelumpuhan akibat tulang Om yang patah di punggung.”
“Saya turut berduka Om.”
Pak Erlangga menghela nafas panjang, seolah mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan masa lalunya yang tragis.
“Kematian istri Om dan David serta menderita kelumpuhan membuat Om terpukul dan hidup kayaknya sudah tidak berarti lagi. Om hanya bisa terbaring tak berdaya dan terus meratapi kematian istri dan anak Om. Om sudah tak punya semangat hidup lagi dan tinggal menunggu ajal. Kemudian pikiran itu sirna ketika tiba-tiba Om mendengar suara tangis Anye. Suara tangisnya seakan-akan mengingatkan kalau Om masih punya sesuatu yang berharga yaitu Anye yang masih butuh perlindungan dan kasih sayang serta perawatan. Anye telah mengembalikan semangat Om yang sempat hilang. Dokter bilang kalau Om akan bisa berjalan lagi asalkan Om mau latihan terapi secara rutin dan Om mengikuti saran dokter. Demi Anye, Om melakukan terapi dengan super intensif. Tidak lama kemudian hanya dalam waktu 3 bulan Om sudah bisa berjalan sedikit demi sedikit. Anye sangat senang dan dia terus menyemangati Om. Dia bilang Ayo papa latihan terus! Berjalan saja tidak cukup, papa harus bisa berlari dengan cepat. Dan setelah 6 bulan berlatih akhirnya saya bisa berjalan normal. Anye anak kecil yang tegar, itu terlihat dari apa yang ia katakan saat itu. Ia bilang, Anye memang kehilangan mama dan kak David dan itu membuat Anye sedih tapi Anye senang karena Anye masih punya papa. Om terharu mendengar kata-katanya. Dan mulai saat itu Om memulai kehidupan baru bersama Anye. Om ingin menjadi ayahnya yang baik. Apapun permintaannya akan Om penuhi karena dia adalah milik Om satu-satunya,” cerita Pak Erlangga panjang lebar yang mengundang rasa haru.
“Yuk kita berangkat sekarang,”Anye langsung menarik tangan Ungke dengan semangat begitu muncul.
“Permisi Om, kami permisi dulu,” pamit Ungke seraya mencium tangan Pak Erlangga.
Pak Erlangga melihat wajah putrinya yang ceria. Ia melihat Anye yang menarik paksa tangan Ungke dengan semangat menuju keluar rumah.
“Anye, pelan-pelan dong,” keluh Ungke yang tangannya digandeng paksa oleh Anye yang jalan terburu-buru. “Kamu kok nggak pamitan dulu sih sama papamu.”
“Kan tadi kamu udah bilang sekalian,” jawab Anye enteng. Ungke mengerti. Ia tadi memang bilang dengan kata kami. Itu tandanya Anye pamit dengan diwakilinya.
“Ungke, Om percaya padamu. Tolong jangan kecewakan Om.” kata Pak Erlangga sebelum mereka masuk mobil.
“Terimakasih atas kepercayaan yang Om berikan pada saya. Saya janji akan membawanya pulang tepat waktu,” kata Ungke datar. “Permisi Om kami pergi dulu,” pamit Ungke lagi.
Mereka masuk mobil. Kali ini Ungke sendiri yang menyetir mobilnya. Ungke menyalakan mesin mobilnya.
“Mari Om.”
Mobil melaju keluar pagar dan hilang dari pandangan Pak Erlangga. Rasa cemas menyelimuti Pak Erlangga begitu putri semata wayangnya pergi keluar malam untuk pertama kalinya. Bi Rima dapat menangkap perasaan resah Pak Erlangga.
“Jangan khawatir tuan. Tidak akan terjadi apa-apa dengannya,” kata Bi Rima menghibur.
Mobil sudah meninggalkan komplek Bintaro dan akan menuju ke taman yang jaraknya tidak jauh dari Bintaro.
“Anye, kamu tidak boleh bersikap seperti itu pada papamu,” kata Ungke mencoba menasihati Anye.
“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi papaku yang mempunyai tipe pekerja keras itu. Aku bingung …aku selalu emosi bila bicara dengan papa. Tapi papa tetaplah yang dulu, tidak pernah berubah sejak mama dan kak David meninggal. Papa sudah tidak lagi punya waktu untukku. Papa lebih terfokus pada pekerjaannya. Itulah yang membuatku selalu bicara kasar pada papa, berharap papa tuh mengerti. Tapi untuk menanyakan mengapa aku bersikap begitu saja papa tidak pernah,” curhat Anye dengan mata berkacak-berkacak. Ungke dapat melihat jelas di matanya yang hendak menitikkan airmata. Ungke memegang jemari tangan Anye untuk memberikan kekuatan padanya. Mereka berdua tidak lagi bicara hingga sampai taman.
“Kita sudah sampai.” Ungke keluar dan Anyepun ikut keluar memandang heran Ungke yang berjalan kemudian duduk dibangku taman yang panjang menghadap kolam.
“Dia seperti sudah sering ke sini,” gumam Anye lalu menghampiri Ungke dan duduk di sebelahnya.
“Tempat apa ini?” Tanya Anye yang disambut dingin pandangan Ungke. “Taman ya?” Anye menjawab sendiri pertanyaannya.
“Mengapa taman ini sepi sekali?” Tanya Anye yang heran karena tak melihat satupun orang ada disini selain mereka berdua. Taman ini jauh dari jalan raya juga tidak ada rumah di sekelilingnya.
“Mengapa kau mengajakku ke tempat yang sepi seperti ini? Atau kau punya maksud jahat padaku ya?” Kata Anye setengah bergurau.
Ungke mengerti maksud Anye. Ungke tersenyum dikulum lalu berkata, “aku tidak akan tergoda padamu sekalipun kau tidak berpakaian.” Ungke mengacak-acak rambut Anye.
Anye sebal Ungke menjawab itu dan iapun terpancing emosinya. “Mungkin bila Lisa yang telanjang di depanmu kau akan lepas kendali,” ucap Anye sewot seraya merapihkan rambutnya.
Ungke menatap Anye aneh.
“Aku hanya bergurau,” ujar Anye cepat.
“Mungkin,” jawab Ungke yang tidak diduga Anye. Ungke memang sengaja ingin membuat Anye jengkel.
Anye gregetan. “Kau memang sudah kesambet setan!”
“Aku normal tentunya akan ku lakukan hal itu pada Lisa bila ia menjadi istriku nanti,” jawab Ungke dengan tenangnya sementara kuping Anye panas mendengarnya .
“Oh my God! He’s very crazy,” jerit Anye dihatinya. “Aku tidak serius bicara seperti itu! Mengapa kau menanggapinya serius? Bisakah kita tidak membicarakan ini lagi!” Suara Anye meninggi.
“Kau yang mulai duluan,” Ungke memojokkannya.
“Oke…aku salah, maafkan aku,” ujar Anye mengalah.
“Ku maafkan kau. Bisakah kita mulai menikmati taman yang indah ini?”
Anye mengangguk.
Ungke menengadahkan wajahnya ke langit menatap bintang-bintang yang bertaburan. Anyepun melakukan hal yang sama.
“Sungguh indahnya taman ini, begitu asri, sejuk, nyaman, indah, rindang sepi dan dingin karena hembusan angin malam. Pohon-pohon yang tinggi dan rindang, bunga-bunga yang cantik, air yang memancur dari kolam yang bersih. Semuanya tertata baik sehingga mempunyai seni yang tinggi. Bebas dari polusi dan jauh dari kebisingan kendaraan. Yang terdengar hanyalah suara air pancuran kolam yang ada di depan kami dan merdunya suara angin malam. Aku sangat menyukai taman ini,” kata Anye dalam hati.
“Kamu sering ke sini?” Tanya Anye yang sedang menatap bintang- bintang di langit.
“Ya, aku sering ke sini. Menikmati suasana malam yang sunyi, tenang, nyaman, sejuk, dan indah. Melihat bintang-bintang sambil menunggu bintang jatuh,” sahut Ungke tanpa menoleh Anye.
Anye tampak tertarik dengan jawaban Ungke. “Apakah bintangnya sudah jatuh?”
Ungke menatapnya. “Ya.”
“Apa yang kau pinta darinya?”
“Aku meminta agar bidadari kecilku dikembalikan padaku.”
Anye tertegun mendengar jawaban Ungke yang manis. “Mungkinkah Lisa yang dimaksud bidadari kecilnya,” tebak Anye di hatinya.
“Oh ya, siapa bidadari kecil itu?” Selidik Anye.
“Dia sekarang ada di sampingku,” jawab Ungke kemudian tersenyum. Anyepun jadi tersipu malu.
“Ah Ungke…aku senang mendengarnya,” kata Anye dalam hati.
“Kamu tahu nggak, berapa banyak jumlah bintang-bintang ini?” Tanya Ungke seraya menatap bintang-bintang.
“Mmm…aku nggak tahu. Aku manusia dan hanya Tuhan yang tahu berapa banyak jumlah bintang ini,” jawab Anye simple.
“Aku tahu,” kata Ungke.
Anye heran, ia nggak percaya kalau Ungke bisa menghitung bintang.
“Tak terhingga,” jawab Ungke.
Anye tertawa. “Kau benar.”
Ungkepun tertawa berhasil telah membuat Anye bingung.
“Sekarang kamu cium aku,” Ungke menyodorkan pipinya ke Anye.
Anye kaget dan makin bingung. “Loh kok begitu?”
“Kamu kan kalah nggak bisa menjawab pertanyaanku,” Ungke menjelaskan dan Anye tertawa lagi.
“Lucu sekali. Kita kan nggak taruhan. Tak ada perjanjian sebelumnya.”
“Ya udah. Kalau kamu nggak mau biar aku aja yang cium kamu,” Ungke mencoba mencium paksa Anye tapi Anye menolaknya.
“Apa-apaan sih kamu,” Anye berdiri menghindarinya. “Nanti aku bilangin papa loh biar tahu rasa!” Anye mengancamnya.
Ungke masih berusaha memaksa Anye tapi Anye terus mengelak.
“Aku memang menyukainya tapi aku tidak mengerti mengapa malam ini ia nakal sekali. Entah apa yang ada di otaknya. Dia melakukan ini hanya karena bercanda atau…” kata Anye dalam hatinya. Anye menarik tangan Ungke. Ia melihat jam tangan Ungke dan kaget.
“Ya ampun! Udah mau jam 10. Aku kan harus pulang jam 10 malam. Aduh inikan Jakarta yang rawan macet,” suara Anye panik.
“Kita kan baru sampe,” kata Ungke yang masih tenang.
Dengan kesal Anye menunjukkannya dan Ungke pun kaget begitu melihatnya. “Hah jam 10 kurang 20 menit!” Teriak Ungke kaget. Sebab jarak taman dengan rumah Anye ditempuh dalam waktu 50 menit bila dalam kondisi jalan normal. Belum lagi kalau macet maka bisa satu jam lebih baru sampai. Ungke langsung menarik tangan Anye dan membawanya cepat ke mobil.
Ungke memakai seatbeltnya. “Anye cepat pakai seatbeltnya karena kita akan ngebut,” perintah Ungke lalu Anye memakai seatbeltnya. Anye hampir saja lupa memakai seatbeltnya kalau saja Ungke tidak mengingatkannya. Ungke langsung menancap gas mobilnya.
Benar saja di jalan raya terjadi macet. Ungke berusaha tenang dalam mengendarai mobilnya walaupun ia sendiri merasa tegang membayangkan kalau terlambat mengantarkan Anye pulang ia takut Om Erlangga tidak akan mengizinkannya lagi mengajak Anye pergi. Ungke terus melihat jam tangannya. “Mengapa dalam keadaan seperti ini waktu bergulir cepat,” desah Ungke dalam hati.
Mobil jalan secara perlahan hingga akhirnya mereka keluar dari kemacetan. Lalu lintas kembali normal. Ungke menyetir dengan kecepatan tinggi. Untungnya di jalan tidak terlalu banyak mobil sehingga Ungke dengan leluasa mengemudi mobilnya sampai-sampai ada lampu merah menyalapun ia tetap lewat.
“Ungke, itukan lampu merah!” Teriak Anye khawatir.
“Kita udah nggak ada waktu lagi. Kalau kita tunggu sampai lampu hijau nyala kita bisa terlambat. Lihat saja sekarang waktunya udah mepet banget.”
“Tapi kalau polisi tahu kita melanggar lalu lintas, bagaimana?”
“Kamu jangan khawatir. Disitu nggak ada polisi yang jaga. Buktinya nggak ada polisi yang ngejar kita sekarang.”
Malam ini mereka memang beruntung sekali. Sebentar lagi dalam jarak 100 m mereka akan memasuki wilayah Bintaro. Mobil masih melaju cepat. Ungke mahir sekali dalam mengemudi dan cukup jeli seolah-olah ia pernah ikutan lomba reli. Tidak ada mobil yang hampir ia tabrak dan tidak ada mobil yang menabrak mereka. Hingga akhirnya mobil sudah memasuki wilayah Bintaro dengan waktu yang tersisa 60 detik lagi. Mobil sudah memasuki Blok KD dan pas sekali mobil sudah sampai di halaman rumah Anye.
“Jam 10 pas,” ujar Ungke menghela napas lega.
“Ya… dan kau hampir saja membunuhku,” kata Anye dengan napas tak beraturan. Seluruh badannya lemas. Ini untuk pertama kalinya Anye naik mobil ngebut seperti itu.
“Kamu baik-baik saja?” Tanya Ungke cemas.
Anye tak menjawab. Anye malah balik bertanya kesal, “Apakah yang namanya reli tadi seperti itu?”
Ungke tak menjawab. Ungke hanya tersenyum dan tertawa.
“Emangnya kamu udah punya SIM ya? Perasaan umur kamu sama umur aku tuh kayaknya sama deh. Umur kamu berapa sih?” Tanya Anye ingin tahu.
“16 tahun,” jawab Ungke enteng.
“Tuh kan sama. Jadi kamu tadi nyetir…” Anye tak dapat membayangkan bila saja tadi terjadi sesuatu yang mengerikan. Mereka bisa saja kecelakaan atau ditangkap polisi karena mereka mengendarai mobil tanpa SIM dan masih di bawah umur pula. “Kamu mau bunuh aku ya?” Mata Anye melotot tajam. “Dasar kamu pembalap amatir. Coba kalau tadi ada polisi trus ditilang, kita berdua bisa ditangkap atau yang lebih buruknya kita akan mendapat kecelakaan. Uh dasar! Dasar pembalap amatir!” Anye memukul-mukul badan Ungke dengan kedua tangannya tapi Ungke mencoba menangkis pukulannya dengan menyilangkan kedua lengannya.
“Ampun…! Ampun…!”
“Anye ada apa? Kenapa kamu memukuli Ungke?” Tanya papanya terkejut dan tampak cemas.
“Om,” suara Ungke terkejut sekaligus lega karena berkat kemunculannya Anye jadi berhenti memukulinya.
“Ini pa. Masak tadi Ungke nyetir mobil tapi ternyata dia sendiri belum….,” Ungke membekap mulut Anye cepat.
“Saya belum makan dari tadi Om. Nggak sempet makan karena waktunya sedikit Om.”
Mata Anye melotot minta dilepasin.
“Aku akan lepasin tapi janji jangan kasih tahu papa kamu,” suara Ungke pelan.
Anye mengangguk kemudian Ungke melepaskannya.
Ungke dan Anye keluar dari mobil dengan jantung yang masih deg-degan. Pak Erlangga melihat jam tangannya. “Kalian pulang tepat pada waktunya tapi kok wajah kalian kayaknya tegang sekali?”
Ditanya seperti itu Ungke dan Anye langsung merubah wajah dengan ceria agak dipaksakan.
“Nggak ada apa-apa kok, Om. Iya kan Anye,” Ungke menyenggol lengan Anye supaya Anye juga ikutan kompak dengannya.
“Hah…! Iya… Iya, nggak ada apa kok pa.”
Pak Erlangga tidak ingin banyak bertanya, baginya Anye sudah pulang saja itu sudah cukup dan tak ada lagi yang harus dikhawatirkannya. “Ungke kamu memang anak yang baik,” puji Pak Erlangga sambil memegang pundak Ungke.
“Iya, Om makasih udah membolehkan Ungke ngajak Anye keluar.”
“Anye, ayo masuk sudah malam.”
“Selamat malam,” ucap Anye pada Ungke.
Ketika Anye mau masuk tiba-tiba saja Ungke menarik tangannya.
“Ada apalagi sih?” Tanya Anye tampak kesal. Pak Erlangga memperhatikan mereka.
“Maaf Om ada perlu sebentar dengan Anye,” ujar Ungke halus.
“Ya…silahkan.” Pak Erlangga meninggalkan mereka.
Setelah sudah aman, Ungke mulai bicara dengan suara pelan, “kamu nggak akan ngadu soal yang tadi sama papamu, kan?”
Anye terbengong sebentar, ia tidak tahu apa maksud Ungke. Tapi kemudian ia segera teringat ancamannya kalau ia akan mengadukan kenakalan Ungke yang mencoba ingin menciumnya dan soal Ungke yang belum punya SIM lantaran masih 16 tahun.
“Ha…ha…” Anye tertawa keras.
Ungke segera membungkamnya lagi. “Kamu jangan keras-keras tertawanya. Pelan-pelan dong nanti ketahuan papamu.”
Anye menggelengkan kepala. Lalu Ungke melepaskannya.
“Kamu takut kalau aku akan ngadu ke papa ya?” Anye sengaja bersuara keras sambil terkekeh.
“Syuttt…jangan keras-keras. Kamu nggak akan ngadu sama papamu kan,” ulang Ungke cemas.
Anye masih terkekeh.
“Anye…aku serius!” Geram Ungke gregetan.
Anye mulai diam dan pasang mimik serius. “Aku akan jujur bila sekali lagi papa nanya.” Anye buru-buru pergi meninggalkan Ungke yang terbengong-bengong di luar, masuk dan mengunci pintu. Anye berlari ke kamarnya dan menjatuhkan badannya ketempat tidur. Ia menghela napasnya kemudian tersenyum. Ia sangat bahagia sekali malam ini. Tak ada beban lagi dihatinya walaupun tadi siang ia bertengkar dengan Ungke tapi malam ini Ungke membuatnya bahagia lagi.
“Malam sunyi di sebuah taman, bintang jatuh, permintaan, pengabulan, bidadari kecil…Ya Tuhan aku suka Ungke memanggilku bidadari kecil,” gumam Anye sambil tersenyum. “Tuhan…masih ada keraguan menyelimuti kalbuku dan hanya Engkau yang tahu isi hatiku dan isi hatinya. Jawablah keraguan itu dengan isyarat ataupun kata-kata,” doa Anye dikeheningan kamarnya.
Beda dengan Ungke, malam ini ia bakalan tidak bisa tidur. Dari tadi ia hanya mengguling-gulingkan badannya karena gelisah memikirkan kata-kata Anye.
“Kira-kira Anye bakalan ngadu ke papanya, nggak ya? Kalau dia ngadu bisa gawat. Nanti kepercayaan papanya terhadap aku bisa luntur dan melarang Anye berteman denganku,” gumam Ungke gelisah lalu membalik-balikkan badannya kesamping kanan-kiri. “Aduh… bisa putus nih persahabatan aku sama Anye yang sudah berjalan bertahun-tahun,” desah Ungke resah.
Malam ini jadi malam yang panjang buat Ungke, hingga sudah tengah malam, Ungke belum juga bisa tidur karena perbuatannya terhadap Anye telah menjadi bebannya. Tapi bukan Ungke saja yang belum tidur tengah malam begini, ternyata Darlen juga.
Darlen duduk di bangku belajarnya sambil terus memandangi lukisan di dinding. “Sekarang aku tahu kau bernama Anye. Kau memang benar-benar nyata,” gumam Darlen lalu memutar bangkunya ke meja belajarnya. Darlen mengambil bolpoin dan menulis.
Di sekolah ada anak baru bernama Anye. Nama yang aneh tapi dia sangat cantik. Saat aku melihatnya aku merasa sudah mengenalnya. Dia seperti gadis yang ada dalam mimpiku, meskipun gadis yang ada dalam mimpiku terlihat samar-samar karena terhalau cahaya. Tapi dari lukisan yang kubuat, aku melukis wajah gadis di mimpiku seperti wajah Anye. Entahlah, aku sendiri juga tidak mengerti. Lukisan itu terbentuk begitu saja. Tuhan, benarkah Anye adalah gadis dalam mimpiku?
Darlen berhenti menulis karena ia sudah mengantuk. Dia bangkit dari duduknya menuju tempat tidurnya. Sebenarnya dia tidak mau tidur. Takut kalau dia nanti bermimpi lagi tentang gadis misterius yang kerapkali menemani tidurnya. Tapi Darlen tidak bisa menolak rasa ngantuknya dan akhirnya ia memejamkan juga matanya. Ia langsung tertidur. Tertidur lelap hingga pagi.
Darlen terbangun dari tidurnya, dia mengucek-ucek matanya. “Sudah pagi.” Lalu dia melihat jam yang menunjukkan pukul 6 kurang 15 menit. “Aneh! Aku kok nggak mimpi itu lagi?” Kemudian ia termenung memikirkan kenapa ia tidak bermimpi lagi tentang gadis misteriusnya lalu ia pun menghubung-hubungkannya dengan Anye. “Aku tidak bermimpi itu lagi setelah aku bertemu Anye,” gumamnya menganalisa lalu terpasanglah wajah ceria dan semangatnya sambil berkata. “Terimakasih Tuhan, Engkau telah memberikan petunjukMu,” Darlen langsung loncat dari tempat tidurnya pergi ke kamar mandi. Ini merupakan perkembangan baru yang baik dari Darlen yaitu mulai rajin sekolah.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

PUPUS

Anye melihat kolong meja Ungke kosong. “Tumben udah jam segini kok Ungke belum datang. Biasanya ia selalu datang lebih awal dariku,” gumamnya. Anye melihat Dive yang baru datang.
“Anye, Ungke mana? Belum datang?” Tanya Dive beruntun yang memeriksa kolong meja Ungke kosong.
“Nggak tahu nih, tumben-tumbenan dia datang telat. Atau mungkin dia sakit?” Tapi Anye segera menepis dugaannya itu. “Ah mana mungkin, semalam dia baik-baik saja. Nggak mungkin dia sakit dadakan,” gumam Anye pelan. Meskipun gumamannya pelan tapi Dive dapat mendengarnya.
“Nggak mungkin dia nggak masuk!” Suara Dive lantang yang memekakkan telinga Anye sekaligus membuatnya kaget. “Dia itu pelajar tulen jadi walaupun sakit dia tetap masuk,” kata Dive yakin lalu muncullah Ungke bertepatan dengan bel.
“Nah…tuh dia, baru aja diomongin.” Dive menghampiri Ungke, “selamat, man.”
Ungke bingung. Dia tidak mengerti maksud ucapan selamat dari Dive.
“Elu panjang umur,” jelas Dive lalu pergi menuju tempat duduknya.
“Kupikir kamu nggak masuk,” ujar Anye lega.
“Anye, kamu nggak ngadu sama papamu kan?”
“Ha…haaa…jadi kamu masih memikirkan itu.”
“Ya, dan kau telah membuat tidurku tidak nyenyak.”
“Nyamuk kaleee…,” ledek Anye.
Saat proses belajar berlangsung, Anye melihat Ungke tidak begitu bergairah untuk belajar, matanya sayup dan sesekali menguap.
“Sebaiknya kau cuci muka sebelum Pak Arsyad menegurmu.”
Ungke mengikuti saran Anye. Ungke bangkit untuk pergi mencuci mukanya. Saat Ungke kembali, Anye mendapati wajah Ungke yang sudah terlihat segar. Timbul gejolak rasa suka yang mengalir begitu alami di dalam dirinya. Rasa yang sudah ada sejak Ungke meninggalkannya dan menyebabkan kerinduan.
“Ya Tuhan apakah lucu bila kini aku mencintainya secara diam-diam,” bisik Anye dalam hatinya.
Bel istirahat telah berbunyi, Anye, Ungke, dan Dive istirahat bareng tapi terlebih dahulu mereka ke kelas Lisa dulu. Saat Lisa muncul, Ungke langsung menggandeng tangan Lisa.
“Aduh…yang baru jadian,” celoteh Dive yang tentu saja membuat Anye seperti merasa tersambar petir begitu mendengar ucapan Dive.
“Anye…kamu kenapa?” Tanya Ungke yang tiba-tiba melihat Anye berhenti. “Ada yang ketinggalan?”
Sekujur badan Anye lemas. Dadanya sesak dan penuh kekecewaan. Hatinya meringis. Wajah sendunya menghindari tatapan Ungke sehingga Ungke terus berusaha untuk menangkap wajahnya.
“Anye, kamu kenapa?” Tanya Ungke lagi.
Sedangkan Anye mempersiapkan dirinya untuk bersikap tegar menghadapi kenyataan yang barusan didengar dan dilihatnya. Anye menggigit bibirnya agar bisa menahan tangisnya. Ia tidak ingin mereka mengetahui tentang perasaan kekecewaannya.
Lisa dapat menangkap ada bercak air mata di pelupuk mata Anye. Lisa mencurigainya namun ia tak ingin menanyakannya. Ia tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang.
“Enggak, enggak apa-apa kok. Tadinya kupikir ada yang ketinggalan. Ternyata setelah dipikir-pikir lagi nggak ada tuh,” suara Anye berubah serak. “Yuk, cepat kita ke kantin,” lanjutnya berusaha pasang wajah ceria.
Lisa dapat melihat kalau ekspresi Anye itu seperti dipaksakan.
Ungke kembali menggandeng tangan Lisa dan berjalan membelakangi Anye dan Dive. Anye hanya bisa menelan ludah melihat kemesraan Ungke dan Lisa.
Ungke dan Lisa sengaja mengambil tempat duduk terpisah. Itu tandanya mereka tak ingin diganggu.
Dengan lapang dada Anye duduk dengan Dive. Dive memesan 2 teh botol dan 1 mangkuk bakso saja karena Anye menolak tawarannya. Rupanya kabar itu telah mengunci selera makannya.
“Kira-kira mereka jadiannya kapan ya?” Tanya Anye yang berusaha menunjukkan sikap biasa saja agar tak dicurigai Dive.
“Belum lama sih. Mereka jadian malam Sabtu, norakkan? Ha..haa…bukan malam minggu…hahaa…,” cerita Dive tertawa geli dan Anye memaksa dirinya untuk ikut tertawa.
Kemudian Anye mendengar obrolan dari meja sebelahnya. “Darlen hari ini masuk lagi,” kata Bunga antusias.
“Iya bener. Darlen hari ini masuk. Tadi gue lihat mobilnya parkir,” sahut Rindu mengiyakan kata-kata Bunga.
“Eh, tapi tumben-tumbenan Darlen udah seminggu ini masuk sekolah secara berturut-turut,” kata Cinta dengan nada heran.
Trio cewek itu terus membicarakan soal Darlen. Anye jadi heran dan bertanya-tanya mengapa semua cewek di sekolah ini selalu membicarakan soal Darlen dan Anye pun menanyakan hal itu pada Dive.
“Kenapa sih, kok kayaknya cewek-cewek di sini selalu membicarakan soal Darlen? Mereka selalu antusias bila ngomongin Darlen.”
Dive yang tadinya sedang asyik makan bakso langsung tersedak lalu buru-buru menyeruput minumannya. Rupanya Dive tidak suka bila mendengar nama Darlen disebut. Dive menatap Anye yang melihatnya heran tapi akhirnya Dive mau bercerita juga pada Anye.
“Darlen adalah anak pemilik sekolah ini. Orangtuanya adalah salah satu konglomerat di negeri ini. Penampilannya oke, wajahnya ganteng, imut, atletis, suaranya bagus, jago main musik dan bandnya Cartenz paling terkenal dikalangan SMA. Karena kelebihannya itu semua membuat dia diidolain cewek-cewek. Tapi …,” Dive menghabiskan baksonya yang tersisa lalu menyeruput tehnya hingga habis.
“Apa?” Tanya Anye tidak sabar menunggu.
“Sikapnya dingin, penyendiri, cuek, pendiam dan seribu sifanya yang misterius, semua melekat didirinya,” lanjut Dive.
“Seperti itukah dia?”
“Malah ada yang bilang dia Antisosial. Teman sekelasnya aja tak banyak yang dia kenal. Dia hanya mau bergaul dengan orang tertentu saja, ya…teman ekslusifnya cuma teman-teman dibandnya aja. Si Robin anak anggota DPR, si Egan anak anggota DPRD, dan si Shalu anak pengacara. Darlen adalah anak yang asyik dengan dunianya sendiri. Darlen juga males banget sekolah. Dia itu sering banget bolos sekolah dan sekalinya masuk paling-paling dia nggak betah belajar di kelas,” papar Dive menambahkan.
“Tapi mengapa banyak cewek disini pada menyukainya, bukankah dia tipe cowok yang sama sekali tidak menyenangkan,” Anye menyimpulkan demikian berdasarkan dari keterangan informasi yang ia dapat dari Dive.
Dive menarik napasnya dan melepaskannya. “Aku akui bila melihatnya secara seksama, Darlen sosok yang memiliki sejuta pesona. Dia ganteng, cool, tenang, sorot matanya tajam dan teduh, tidak banyak tingkah, tidak banyak bicara dan hanya bicara seperlunya saja. Jadi cewek mana yang nggak tertarik padanya.”
Anye menyeruput tehnya yang masih banyak. Anye mengingat-ingat kembali pertemuannnya dengan Darlen. Anye mengakui kalau dia sendiri sempat tersihir melihat wajah Darlen yang begitu sempurna tanpa noda. Padahal Darlen adalah cowok kalau cewek memiliki wajah yang bersih seperti itu mungkin Anye akan maklum.
“Tidak mudah untuk mendapatkan perhatiannya karena Darlen itu adalah anak yang terlampau cuek dengan keadaan di sekelilingnya. Sangat beruntung bila ada cewek yang bisa ngobrol dengan dia apalagi bila bisa memikat hatinya,” imbuh Dive.
“Kok beruntung sih? Apa enaknya punya pacar cuek kayak gitu. Biasanya cowok seperti itu kan nggak romantis.”
“Mm…belum tahu ya. Darlen itu kan populer bahkan cewek dari sekolah lain banyak yang pada mengenalnya. Prestasi-prestasi Darlen baik bersama bandnya atau prestasi individualnya sering di liput berbagai majalah remaja, internet, bahkan koran dan tv nasional. Darlen memang bukan selebritis tapi prestasi dia ketika dia menang kontes piano di Swiss saat ia berusia 14 tahun membuat banyak media memberitakan Darlen yang telah mengharumkan nama Bangsa.”
“Oh ya? Kok aku nggak tahu sih?”
“Kamu jarang nonton tv dan baca majalah ya.”
“Pernah sih mungkin aku ketinggalan beritanya aja kali ya saat berita itu lagi happening banget di tv,” Anye berusaha berkilah.
“Sebenarnya…aku juga tahu informasi itu semua dari groupiesnya Darlen yang senang banget ngegosip di kantin. Ketipu nih ye…hehehe…” Dive terkekeh.
“Uh dasar…! Awalnya aku juga tuh nggak percaya kalau kamu orang yang rajin baca dan rajin nonton berita. Tampang slengean dan petakilan kayak kamu mana mungkin.”
Anye melihat Darlen yang barusan saja melintas di depan kantin. Lalu Anye mengalihkan pandangannya ke Ungke dan Lisa yang kelihatan begitu akrab dan mesra membuat dadanya sesak. Tanpa permisi lagi Anye meninggalkan Dive yang masih mau bercerita lagi soal Darlen.
“Anye! Mau ke mana?” Teriak Dive yang tak dihiraukan Anye. “Aku baru mau bilang padanya kalau cewek yang baru bisa naklukkin Darlen baru Lisa aja. Eh tapi dia udah pergi duluan.” Dive bergabung di meja teman-teman sekelasnya. Galuh sedikit menggeser duduknya untuk memberi tempat duduk pada Dive.
Saat hendak berjalan menuju toilet, Anye berpapasan dengan siswa yang memakai kaca mata hitam. Anye ke kiri, siswa itu juga ke kiri. Anye ke kanan, siswa itu pun juga ke kanan hingga terulang 2 kali siswa yang bersembunyi dari balik kacamata hitamnya itu menghalangi jalannya.
Anye tahu siapa cowok yang ada di depannya itu, Darlen. Darlen yang lagi-lagi mengenakan jaket berwarna biru yang memang selalu dikenakannya tiap ke sekolah dengan jenis-jenis yang berbeda. Dan matanya yang tajam serta menghanyutkan disembunyikannya dibalik kacamata hitamnya. Tapi itu tidak sama sekali mengurangi ketampanannya. Darlen bahkan lebih ganteng membuat Anye lama menikmati wajahnya.
“Hai,” sapa Anye duluan berusaha mengontrol dirinya untuk tidak salah tingkah lagi di hadapannya seperti di waktu perjumpaannya di studio.
Darlen melepaskan kacamatanya karena ia ingin melihat wajah Anye lebih lekat.
Benar saja, Anye seakan mengiyakan ucapan Dive. “Sorot matanya tajam bagaikan Elang dan wajahnya yang teduh membuat mata tak ingin melepaskan pandangan darinya,” gumam Anye dalam hati.
“Hai, kamu cewek misterius itu kan?”
“Hahaha…bukannya terbalik. Banyak orang yang bilang kalau kamu itu misterius. Aku periang begini dibilang misterius.”
“Iya. Kemarin waktu kita kenalan kamu pergi begitu aja,” jelas Darlen.
“Oh…itu sih karena aku ingat kalau aku terlambat apalagi dijam pertama pelajarannya Bu Ronyta, wali kelasku yang dikenal galak. Aku takut dimarahin aja, apalagi kan aku murid baru. Tapi untungnya Bu Ronyta baik, jadinya aku nggak di hukum. Padahal aku dah telat banget,” cerita Anye lepas.
Darlen hanya menanggapi cerita Anye dengan mengangguk maklum. Tak ada sepatah katapun yang keluar lagi dari mulutnya. Obrolan merekapun terhenti karena bel selesai istirahat telah berbunyi. Sebelum masuk ke kelas, Anye pergi ke toilet dulu. Anye memandangi cermin besar yang ada di toilet lalu segera membasuh mukanya dengan air ketika muncul bayangan kemesraan Ungke dengan Lisa. Anye berharap air itu tidak hanya dapat membersihkan wajahnya saja tapi juga mampu menghilangkan bayangan kemesraan Ungke dengan Lisa.
◊◊◊
Usai jam istirahat, Bu Ronyta masuk ke kelas III IPA 4 karena kebetulan kelas itu ada jadwal pelajaran matematikanya hari ini.
“Shalu, Darlen mana?” Tanya Bu Ronyta yang melihat Darlen tidak ada di tempat duduknya.
“Nggak tahu Bu,” sahut Shalu tampak bingung.
Bu Ronyta tetap mengajar meskipun tanpa Darlen. Bu Ronyta memaklumi kebiasaan Darlen yang suka menghilang saat jam pelajaran. Dan biasanya ia akan mengajarkan ulang pelajarannya di rumah Darlen.
Sementara teman-temannya di dalam kelas sedang menekuni pelajaran, sedangkan Darlen rupanya sedang berada di ruang seni. Darlen yang lengkap dengan peralatan menggambarnya sedang sibuk menggambar rangkaian peristiwa pertemuannya dengan Anye di atas selembar kertas kuarto. Gambar yang dimulainya dari dirinya sedang bermain piano. Meskipun ia menggambar secara manual yaitu tanpa media komputer melainkan dengan goresan tangannya yang terampil, gambar itu tampak begitu hidup dan hasilnya sangat bagus. Tangan kirinya begitu mahir menggambar satu persatu kejadian yang dialaminya dalam enam lembar kertas kuarto. Selain bermusik dan bernyanyi, Darlen memang juga punya bakat menggambar dan melukis yang terus ditekuninya dengan serius sejak kecil. Itu adalah cara terbaik dia untuk membunuh rasa sepinya yang dia alami sejak kecil hingga sekarang.
◊◊◊
Anye menyingkap tirai jendela kamarnya. Melihat hujan yang turun deras bersamaan kilat-kilat cahayanya. Hujan yang turun sejak sore hingga malam yang sudah menunjukkan jam delapan malam belum juga berhenti. Masih terbayang jelas dipelupuk matanya sosok bayangan Ungke dan Lisa yang ternyata sudah menjalin kasih yang membuat harapannya untuk memiliki Ungke pupus sudah. Tiba-tiba saja air matanya menetes dipipinya. Ia membiarkan air matanya mengalir bebas.
“Ungke…tidak taukah kau bahwa aku mencintaimu,” suaranya sendu seperti mengadu pada hujan. Hujan diluar sana seakan membantunya menangis.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺


I’M FALLING IN LOVE AT FIRST SIGHT

Keesokkannya Anye berusaha untuk menampilkan sikap yang biasa-biasa saja. “Meskipun aku sudah tahu Ungke dan Lisa pacaran tapi aku tidak ingin menampakkan rasa kekecewaan dan kemarahanku pada Ungke karena aku tidak ingin dia merasa aneh dan curiga dengan sikapku. Aku akan bersikap tegar, lapang dada dan bila perlu toleransi bila aku melihat lagi mereka bermesraan di depan mataku. Yah, aku harus bersikap seperti biasanya,” suaranya dalam hati dengan hati berat.
“Anye, tolong dong ambilkan buku Persembahan Alam,” suara Ungke yang didengar samar oleh Anye.
Anye yang masih memilih-milih buku, menghentikan kegiatannya sejenak lalu menengok karena merasa Ungke telah bicara padanya, tapi ketika menoleh ia melihat Ungke sedang sibuk menulis rangkuman dari buku yang dibacanya.
“Ah…mungkin aku salah dengar,” Anye kembali memilih-milih buku yang terlihat menarik untuk dibaca.
“Dasar! cakep-cakep budek!” maki Ungke kesal karena buku yang dipintanya dari tadi belum juga diambilkan oleh Anye.
Sedangkan Anye memandanginya heran. Bukan makian yang diperhatikannya tapi dalam makian itu terselip kata cakep. “Hah… dia bilang aku cakep,” Anye tersenyum geer. Lalu Anye buru-buru menghampiri Ungke.
“Seberapa cakepkah aku?” Tanya Anye antusias.
“Anye, semua orang yang melihatmu pasti akan bilang kamu cakep. Jika tidak, berarti mereka itu bodoh dan buta!” sahut Ungke emosian sedangkan Anye makin geer.
“Akhirnya dia bilang juga kalau aku cakep!” Teriak Anye dalam hati senang.
“Kau ingin tahu seberapa cakepnya dirimu?” Lanjut Ungke lagi dan Anye menggangguk cepat. “Dalam penilaianku kamu orang cakep yang kesekian.”
Anye terduduk lesu. “Kok yang kesekian,” suaranya protes. Yang kesekian itu berapa? Kalau tidak nomor satu, tentu nenekmu yang mendapat urutan pertama, kedua ibumu, ketiga…” Anye mulai berpikir, dan muncul nama Lisa di otaknya. Dan dengan segera Anye membuang jauh-jauh nama Lisa.
“Ah tidak!! Lisa itu jelek. Dia itu pantesnya diurutan yang keseribu, hihihi…,” cekikik Anye dalam hati.
“Aku tahu. Yang ketiga itu pasti AKU kan,” kata Anye pede.
“Benar kau ingin tahu? Jangan harap kau diurutan yang ketiga. Kau lebih parah dari itu. Kau diurutan yang KESERIBUUUU!!”
“Apaaaaaaaaaaa!!seribuuuuu!!”
“Aduhh budek nihhh!” Ungke mengusap-usap telinganya karena Anye terlalu keras berteriak. “Berapa jumlah artis Hollywood yang cantik, Bollywood, Miss Universe, Miss World, Miss USA, Putri Indonesia, Miss Indonesia….”
“BASIIIII !” Teriak Anye kesal dimuka Ungke. Anye meninggalkan Ungke dengan muka marah.
Ungke tertegun, dia sungguh tak menyangka kalau Anye bisa sebegitu marah dengan leluconnya.
“Anye kenapa sih? Kok dia sensitif bangat jadi orang. Aku kan tadi hanya bercanda. Biasanya dia itu nggak pernah marah kalau aku jahil padanya,” gumam Ungke menyesal.
Anye sengaja mencari tempat yang sepi untuk menumpahkan air matanya. Dia bersandar ditembok kelas yang tersembunyi.
“Ungke jahat. Dia bilang aku yang kesekian. Berarti aku kan tidak cantik,” Anye sesegukkan. Anye mengusap air matanya berkali-kali tapi kini dia begitu sedih mendengar ucapan Ungke barusan benar-benar telah melukai perasaannya hingga ia tidak bisa menahan tangisnya. “Mengapa perasaanku jadi begitu sensitif sejak aku tahu Ungke dan Lisa pacaran? Bahkan aku tidak bisa menoleransi perasaanku untuk bisa menerima kenyataan. Semua orang bilang kalau aku cantik. Mereka selalu memujiku apa adanya tidak seperti Ungke yang memujiku dengan embel-embel yang jelek. Ungke berarti buta dan bodoh,” Anye mengusap air matanya. Ia menarik napas lalu membuangnya. Setelah merasa yakin dirinya sudah tenang, ia pun pergi. Oups! Seseorang telah menabraknya hingga ia terjatuh.
“Kamu nggak apa-apa kan?” Suara seorang cowok yang telah menabraknya, khawatir.
“Aku bertemu cowok misterius ini lagi,” kata Anye dalam hati setelah melihat Darlenlah yang menabraknya. Darlen membantunya berdiri.
“Aku senang bisa menemukanmu,” kata Darlen.
“Oh ya? Berarti kamu dari tadi nyari-nyariin aku dong?”
Darlen mengangguk.
“Aku punya sesuatu yang ingin kuberikan padamu tapi ada di kelas,” ujar Darlen. Saat mereka sedang berjalan banyak mata yang memperhatikan mereka berdua. Bagi Darlen itu adalah hal yang biasa dan tidak mengganggunya. Tapi buat Anye, ia merasa risih dan tidak nyaman melihat orang-orang itu membicarakannya. Melihat Darlen yang tampak rileks, Anyepun berusaha untuk rileks juga seperti Darlen.
“Heh, temen-temen lihat tuh Anye jalan bareng Darlen!” Seru Bunga memanggil Rindu dan Cinta untuk cepat keluar dari kelas.
“Hahhh! Patah hati dong gue! Ternyata si anak baru itu udah bisa menaklukkan sang pangeran di sekolah ELITE ini,” suara Rindu kecewa.
“Iya. Seluruh cewek di sini patah hati dan nggak punya harapan lagi,” suara Cinta lemas.
Di perpustakaan, Ungke masih terus menyelesaikan rangkumannya. Ungke membalik-balik halaman bukunya. “Masih banyak, lagi,” keluh Ungke sendirian. Ungke melirik jam tangannya. “Sebentar lagi masuk. Anye ke mana ya? Kok nggak balik-balik. Ternyata kalau nggak ada dia nggak enak juga ya.”
Ungke akhirnya meminjam buku itu. Ungke tidak tahu kalau kata-katanya tadi sudah membuat Anye menangis. Saat Ungke melewati kelas Darlen, ia melihat Anye bersama Darlen. Tentu saja itu membuatnya kaget. Karena Ungkepun juga tahu bagaimana watak Darlen apabila dia mau bicara dihadapan cewek, itu tandanya dia menyukai cewek itu. Otaknya disibukkan pertanyaan-pertanyaan. “Sejak kapan Anye kenal Darlen dan bagaimana awal pertemuan mereka? Bagaimana bisa Anye menarik perhatian Darlen? Dan mengapa Darlen menyukai Anye? Apa keistimewaan yang dilihatnya dari Anye?”
Darlen memberikan map biru yang dikeluarkannya dari kolong meja kepada Anye.
“Apa ini?” Tanya Anye tertegun. Dilihatnya wajah Darlen yang sepertinya menyuruhnya untuk membukanya.
“Ini…?” Anye mengamati gambar-gambar yang terbagi menjadi 6 bagian seperti gambar dalam komik lengkap dengan teks dialognya. Wajah tokoh dalam gambar itu sangat mirip dengan yang aslinya yaitu dirinya dan Darlen. Anye tersenyum takjub. Anye tak menyangka kalau Darlen akan mengabadikan pertemuan pertama mereka dalam gambar-gambar ini. Gambar yang dibuat di atas kertas kuarto yang penuh dengan warna nyata.
Bagian gambar pertama, Darlen sedang bermain piano dan di belakangnya ada cewek sedang mengintip dari balik pintu. Bagian gambar kedua, cewek itu duduk di belakang menyaksikan Darlen sedang bermain piano. Bagian gambar yang ketiga, cewek itu bertepuk tangan saat Darlen selesai bermain piano lalu yang keempat, Darlen sudah berbalik badan terkejut dengan cewek yang ada dihadapannya. Kedua-duanya sama-sama terkejut. Bagian yang kelima ketika cewek itu hendak pergi lalu Darlen memanggilnya dan yang keenam mereka berkenalan dengan gambar mereka saling berjabatan tangan.
“Ini kamu yang buat?”
Darlen mengangguk.
“Pakai komputer atau goresan tangan?”
“Tangan,” sahut Darlen.
Anye sulit percaya. Dia sekali lagi mengamati gambar-gambar itu dengan teliti. “Apa mungkin gambar sebagus ini hanya dibuat dengan tangan? Warna-warnanya begitu nyata seperti menggunakan teknik komputer,” tanya Anye di hatinya.
Anye meraba-raba gambar itu dengan mata tajam dan yakin dalam hatinya, “tentu saja dia mewarnai gambar ini dengan spidol yang mungkin kualitasnya bagus.”
Lalu pada bagian tepi atasnya Anye melihat judul seraya membacanya, “I’m Falling In Love at First Sight.” Anye termenung sesaat menerjemahkan maksud kata-kata itu.
“Apa maksud dari gambar-gambar ini dengan judul itu? Apakah dia serius ataukah ini hanya sebuah karyanya saja yang tak punya maksud apa-apa? Ataukah ini hanya sekedar gambar yang dia sendiri tak tahu harus diberi judul apa hingga ia memberi judul I’m Falling In Love at First Sight?” Lagi, Anye bertanya-tanya dalam hatinya.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺














PERMOHONAN MAAF

Ungke pergi ke toko bunga. Ada banyak aneka jenis bunga. Ungke bingung harus membeli bunga yang mana. Setelah dipilih-pilih akhirnya ia membeli sekuntum bunga lili.
“Buat pacarnya ya, De?” Tanya tukang bunga itu seraya memberikan uang kembalian.
“Oh bukan Bu,” sergah Ungke cepat. Ungke tak ingin Ibu itu salah paham. “Ini buat teman saya. Dia lagi marah sama saya. Jadinya saya beli’in bunga biar kita bisa baikkan lagi. Biasanya cewek itu kan suka kalau dikasih bunga, Bu,” Ungke mencoba menjelaskan tapi malah disambut gelak tawa oleh Ibu penjual bunga itu.
“Kamu itu lucu, De. Masak teman dikasih bunga, yang ada nanti dia malah bisa salah paham. Dikiranya nanti kamu suka sama dia.”
“Oh gitu ya Bu,” kata Ungke polos. “Tapi ya sudahlah Bu karena bunga yang sudah saya beli inikan tidak mungkin saya kembalikan lagi karena saya sudah membayarnya.”
“Ya sudah tak apa-apa tapi lain kali konsultasi dulu sama Ibu sebelum membeli bunga,” ujar Ibu itu seraya tersenyum. “Sebaiknya kalau untuk temen atau sahabat cewek, kamu berikan saja suatu barang kesukaan dia atau barang apa yang ingin banget dia punya tapi dia belum bisa membelinya,” saran Ibu itu tulus.
“Terimakasih Bu. Saya akan coba mengikuti saran Ibu.”
“Ya sama-sama. Semoga kamu bisa segera berbaikkan lagi dengan temanmu.”
“Mari Bu, permisi,” pamit Ungke.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ungke berpikir keras, pandangannya menerawang keluar jendela seraya memegangi bunga yang sudah terlanjur dibelinya. “Kira-kira apa ya yang harus aku berikan untuk Anye sebagai permohonan maafku ke dia?” Tanyanya dalam hati.
“Den Ungke, kok melamun sih. Lagi mikirin apa sih Den?” Tanya Pak Yaya yang rupanya sejak tadi memerhatikan Ungke yang terus melamun dari kaca mobil.
“Oh…begini Pak, aku tuh lagi mikirin kira-kira barang apa yang mesti aku kasih ke Anye. Aku bikin salah Pak sama dia. Aku udah bikin dia marah tadi di sekolah, jadi aku mau minta maaf dengan cara memberikan sesuatu ke dia biar dia nggak marah lagi sama aku,” papar Ungke.
“Kayaknya Bapak perhati’in terus, Den Ungke sama Non Anye berantemmmm…terus. Marahannnn…terus. Tapi kalau saran saya sih Den, lebih baik Aden kasih boneka aja ke Non Anye. Bukankah dari dulu Aden selalu kasih boneka ke Non Anye dan Non Anye kan juga suka sama boneka, Den.”
“Iya, ya Pak. Kenapa nggak kepikiran ya. Aku dulu emang selalu kasih boneka ke Anye dan Anye suka banget kalau aku kasih boneka ke dia. Terima kasih ya Pak. Kalau begitu kita ke Mall aja sekarang cari boneka, Pak,” perintah Ungke gembira.
Di Mall, Ungke sibuk memilih-milih boneka. Ungke telah mencari boneka dari satu toko ke toko lainnya tapi belum ada boneka yang sesuai keinginannya. Hingga satu jam lamanya, akhirnya ia mendapatkan juga boneka yang sesuai keinginannya.
“Anye pasti suka sama boneka ini,” ujar Ungke seraya mengambil boneka kucing berbulu panjang berukuran sedang berwarna putih yang persis sekali dengan kucing sungguhan. “Aku sengaja beli boneka ini karena Anye dulu pernah bilang sama aku kalau dia ingin banget memelihara kucing tapi nggak bisa karena papanya alergi kucing. Yesss !” Ungke bersorak gembira.
Ketika tiba di rumah Anye, Ungke berusaha menyembunyikan boneka yang masih dalam bungkusan belanja ke belakang badannya.
“Hai,” sapa Ungke lembut seraya tersenyum.
“Ngapain kamu ke sini?” sambut Anye ketus.
“Aku boleh masuk ya,” pinta Ungke mengiba.
“Ya udah, masuk.”
“Aku minta maaf soal becanda aku yang kelewatan di perpustakaan dan aku punya sesuatu buat kamu.” Ungke memberikan bungkusan belanja itu ke Anye.
“Apaan ini?”
“Lihat aja.”
Anye mulai membuka bungkusan belanja itu dan teriakkan rasa senang pun meluncur dari bibirnya. “Ya ampun boneka kucing. Aku suka banget soalnya udah dari dulu aku pengen banget memelihara kucing tapi nggak bisa karena papa alergi kucing. Uhhh…cantik banget sih boneka kucingnya, malah pakai pita segala. Ini pasti kucing cewek. Makasih ya.”
“Trus gimana? Aku dimaafin, nggak?”
“Iya, aku maafin,” Anye mengacungkan kelingkingnya ke Ungke dan Ungke mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Anye. “Kita baikkan.”
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺













JALAN-JALAN

“Anye besok aku ingin mengajakmu berkeliling Jakarta,” kata Ungke selepas pulang sekolah.
Tentu saja Anye senang mendengarnya. “Aku mau banget soalnya selama 1 bulan lebih aku di Jakarta papa nggak pernah sempat mengajak aku untuk sekedar jalan-jalan melihat seluruh isi Jakarta. Papa terlalu sibuk. Tapi kamu janji ya bawa aku ke tempat –tempat yang oke dan menarik.”
“Jangan khawatir kamu akan aku ajak ke tempat-tempat yang asyik di Jakarta.”
“Boleh aja asal jangan diskotek!”
Ungke terkekeh mendengarnya, “Emangnya kamu udah 17 tahun? Belum kan. Anak kecil kayak kamu mana boleh ke diskotek,” Ungke meledeknya.
“Huh dasar! Kamu tuh emang jahil ya. Suka banget ngeledekkin aku. Emangnya kamu bukan anak kecil juga. Sesama anak dibawah umur tuh nggak boleh saling mencela.”
“Iya. Iya deh. Emangnya udah ada Undang-Undangnya ya?” Ungke mengacak-acak rambut Anye.
“Huh reseh! Rambut aku kan jadi berantakan nih,” Anye merengut sambil merapihkan kembali rambutnya yang acak-acakan.
Sedangkan Ungke hanya tertawa melihat mimik Anye yang lucu kalau lagi marah.
“Yuk kita pulang bareng,” ajak Ungke sambil menggandeng tangan Anye.
Anye senang Ungke menggandengnya.
“Tapi kenapa ya kok orang pada suka ke diskotek?” Tanya Anye polos.
“Nggak tahu. Itu kan urusannya orang dewasa. Kalau istilah kerennya sih WORK HARD PLAY HARD. Tapi lucu juga sih mereka udah susah-susah kerja cari uang tapi uangnya dibuang-buang gitu aja. Emangnya kalau capek dan suntuk sama kerjaan, apa kita harus ngilangin dengan cara seneng-seneng kayak gitu? Kan ada cara lain yang lebih healthy yang nggak ngerusak badan dan produktivitas kerja.”
“BETUL!” Seru Anye seraya mengacungkan jempol. “Ntar kerjanya jadi kehilangan daya konsentrasinya. Atasan ngomong apa jadinya nggak ngudeng sama yang diorder atasannya. Trus kalo sakit karena terbiasa minum alkohol kan jadi buang-buang uang.”
◊◊◊
Awal perjalanan mereka di hari libur ini dimulai Ungke dengan menunjuk patung-patung yang ada di Jakarta kemudian berfoto di situ. Mulai dari patung selamat datang, patung jenderal Sudirman, patung Diponegoro dan mobil terus berkeliling menuju semua patung yang ada di jalan-jalan stretegis di Jakarta. Anye merasa senang bisa melihat-lihat dan berfoto-foto bersama Ungke di tiap-tiap patung yang merefleksikan dari sejarah bangsa ini dan keinginannya itu memang sudah ada sewaktu ia masih di Bandung dulu.
“Kita kan udah lihat-lihat patung dan foto-foto juga trus sekarang kamu mau ajak aku ke mana lagi?”
“Kamu mau nggak aku ajak ke tempat hiburan yang paling terkenal di Jakarta, Dufan?” ajak Ungke yang langsung disambut anggukan antusias oleh Anye. Ungkepun langsung mengarahkan mobilnya ke tempat hiburan tersebut. Saat sampai mereka langsung mengantri di permainan kora-kora. Setelah cukup lama mengantri akhirnya giliran mereka naik tiba juga.
“Ungke, aku seneng banget kamu ngajak aku ke sini!” Anye berteriak seru di tengah-tengah penumpang permainan kora-kora lainnya yang juga berteriak seru.
“Kamu tahu nggak?” Tanya Anye berteriak.
“Apa?” Tanya Ungke berteriak juga.
“Sejak aku pindah ke Jakarta, papa nggak pernah ngajak aku ke tempat hiburan sekeren ini untuk seneng-seneng,” cerita Anye dengan wajah ceria lalu kemudian Anye berteriak panjang sambil mengangkat kedua tangannya di udara. “Huuuuuhhh…!!”
Hampir semua permainan ekstrim mereka coba naiki. Hingga akhirnya mereka kecapekkan dan beristirahat.
“Kamu pasti haus,” kata Ungke.
“Iya nih soalnya dari tadi aku teriak-teriakkan terus,” sahut Anye seraya mengusap-usap tenggorokkannya.
“Kalau begitu tunggu sebentar ya di sini karena aku mau beliin minuman buat kamu.”
Bosan menunggu Ungke yang sedang membeli minuman, Anye mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya untuk menghibur dirinya. Untuk kesekian kalinya Anye memandangi dengan takjub gambar-gambar yang dibuat Darlen.
“I’m falling in love at first sight,” Anye membaca judul itu lirih. Anye masih belum mengerti maksud dari judul gambar itu.
“Hei apaan tuh?” Tanya Ungke penasaran yang telah datang dengan 2 minuman kaleng dan makanan ringan.
Anye memperlihatkan lembaran kertas-kertas itu pada Ungke.
“Wow…” Ungke langsung merebutnya dari tangan Anye agar ia dapat melihat dengan jelas gambar-gambar itu. “Bagus banget gambarnya tapi aku kok kayaknya kenal sama tokoh yang ada digambar ini ya?”
“Ya iyalah jelas aja kamu kenal.” Anye kembali merebut lembaran –lembaran kertas itu dari tangan Ungke .
“Oh ya siapa?”
“Ini ceritanya aku. Trus cowok yang ganteng kayak pangeran ini Darlen. Ini Darlen sendiri loh yang buat. Hebat kan?”
Entah mengapa telinga Ungke begitu alergi ketika Anye menyebutkan nama Darlen apalagi disebut pangeran. Hatinya mendadak panas hingga menjalar ke ubun-ubun kepalanya. Jelas, dia sangat tidak suka Darlen dipuji-puji. Dengan perasaan penuh emosi, Ungke membuang semua kertas bergambar itu ke kolam air.
Anye sungguh terperanjat menyaksikan kejadian yang tidak diduganya itu. Anye berusaha mengambil lembaran-lembaran kertas itu namun usahanya menyelamatkan kertas-kertas itu sia-sia.
Anye memandangi kertas-kertas yang sudah robek itu dengan wajah sedih. Matanya menitikkan air mata berkali-kali. Anye tampak sedih. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga barang pemberian orang lain padahal barang itu berupa karya seni gambar yang sangat indah.
“Kamu jahat!!” Anye mendorong keras dada Ungke.
“Anye, aku….minta maaf. Aku nggak nyangka kalau itu sangat berarti buat kamu,” suara Ungke menyesal.
“Aku benci kamu!!” Anye pergi berlari meninggalkan Ungke. Ungke berusaha mengejarnya namun sia-sia karena Anye sudah keburu naik taksi.
“Arghhhh…!” Ungke berteriak menyesali perbuatannya seraya menendang batu-batu kecil. “Gue bego banget sih. Kenapa coba… gue ngebuang kertas-kertas itu ke kolam? Seharusnya gue tadi bisa mengendalikan diri ketika gue tahu gambar-gambar itu Darlen yang buat.” Ungke meremas-remas rambutnya. “Gue kenapa sih? Kok gue bisa seemosi tadi ketika tahu itu dari Darlen.”
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺









I LOVE YOU

Di kelas, sejak jam pertama hingga istirahat, Anye sama sekali tidak mau berbicara pada Ungke apalagi menyapanya. Sikap Anye begitu dingin seperti mengisyaratkan kalau ia masih marah.
“Hai,” Ungke mencoba menyapanya lagi dengan lembut di kantin, berharap peperangan diantara mereka berakhir. Namun nihil. Anye mengacuhkannya seolah-olah tidak merasakan kehadiran Ungke yang duduk di hadapannya. Anye menyudahi makannya lalu menyeruput minuman sebelum bangkit meninggalkan Ungke.
Ungke tahu sikap yang ditunjukkan Anye adalah sengaja tapi ia mencoba untuk tetap bersabar. Tapi ketika dia mencoba mengikuti Anye, tiba-tiba saja Lisa menghentikan langkahnya.
“Hai sayang, kamu mau ke mana?”
“Aku…,” Belum sempat Ungke berbicara, Lisa langsung menarik tangan Ungke dan menggiringnya kembali ke kantin.
Ada kepedihan dihati Anye melihat Ungke yang tak berdaya dalam genggaman cinta Lisa yang begitu kuat. Padahal jauh dari lubuk hatinya, Anye mengharapkan Ungke untuk terus mengiba seutas kata maaf dari mulutnya.
Pada saat Anye berjalan menuju kelasnya, langkahnya tiba-tiba melambat dan berhenti. Anye melihat Darlen sedang makan di sebuah ruangan sendirian. Darlen tampak ekslusif di ruangan tersebut. Ruangan yang letaknya bersebelahan dengan ruang kepala sekolah itu seperti dibuat khusus untuknya. Di dalam ruangan itu ada sofa, meja, kulkas, televisi, komputer, gitar, radio, dan ber-AC. Anye mengamati takjub ruangan yang dilihatnya tampak sangat nyaman itu. Ada satu hal lagi yang membuat dia betah mengamati objek yang ada di dalam ruangan itu. Siapa lagi kalau bukan Darlen. Darlen makan dengan menggunakan tangan kirinya bukan dengan tangan kanannya seperti yang digunakan orang pada umumnya.
“Jadi Darlen itu kidal. Berarti gambar-gambar yang kemarin dia kasih ke aku itu dia gambar dengan tangan kirinya?” Gumam Anye. Ada rasa takjub dalam gumamannya sekaligus penyesalan karena sekarang gambar-gambar itu sudah tidak ada lagi padanya lantaran sudah dibuang oleh Ungke yang ia sendiri tidak tahu apa alasannya Ungke membuang gambar-gambar itu. “Entah mengapa aku selalu melihat sisi yang berbeda dari Darlen,” gumamnya lagi lirih.
Usai jam sekolah berakhir, secara kebetulan Anye berpas-pasan dengan Darlen ketika hendak turun tangga.
“Hai,” sapa Darlen duluan.
“Hai,” Anye balas menyapa.
“Kita pulang bareng, yuk,” ajak Darlen.
“Mmm…,” Anye ragu-ragu menjawab. “Aku kan lagi marahan sama Ungke dan aku nggak mungkin pulang bareng dia. Daripada pulang sendiri naik taksi kan nggak enak, nggak punya temen ngobrol,” pikirnya.
“Ayo deh,” ucap Anye akhirnya setelah ia berpikir lama.
Sepanjang dalam perjalanan menuju tempat parkir, jalan berdua antara Anye dengan Darlen rupanya telah membuat semua perhatian tertuju padanya. Sekarang publik sekolah termasuk Lisa tahu mengenai siapa cewek yang jadi pacar baru Darlen setelah putus dari Lisa.
Lisa terkejut. Lisa tidak menyangka kalau Darlen begitu cepat melupakannya.
“Ungke, itu kan Anye. Kok bisa-bisanya Anye dekat dengan Darlen? Sejak kapan mereka berdua saling mengenal?”
Ungke tidak menyahut. Ungke hanya diam kesal melihat sahabatnya direbut oleh seseorang yang dianggapnya selalu merampas miliknya.
Sementara trio cewek yang menamakan gengnya Butterfly juga ikutan terlonjak kaget tak percaya.
“Eeee…lihat tuh. Darlen pulang sama siapa?” Suara Bunga gaduh dari dalam mobil.
Rindu dan Cinta ikut melongok ke arah yang di maksud Bunga.
“Gila!!” Histeris Rindu. “Kok bisa sih si anak baru itu pulang bareng Darlen?” Rindu menatap iri Anye yang sedang masuk mobil Darlen.
“Ini nggak adil. Kita bertiga aja yang udah lama sekolah di sini nggak bisa ngedeketin si manusia es itu,” protes Cinta menimpali.
“Iya,” timpal Bunga cepat. “Darlen itu kan terkenal untouchable.”
“Dan kita dianggap invisible sama dia,” kata Cinta dan Rindu kompak menimpali.
“Anye si anak baru itu pasti punya sesuatu yang spesial sehingga dia bisa menarik perhatian Darlen,” Cinta berusaha menarik kesimpulan.
“Seperti yang kita tahu semua…Darlen itu amat sulit ditaklukkan,” ujar Bunga seolah mengiyakan ucapan Cinta.
“Boro-boro mau ditaklukkan. Ngedeketin dia aja kita nggak berani karena saking dinginnya dan cueknya dia sama orang,” seloroh Rindu sewot.
◊◊◊
Anye berdiri memandangi langit senja ditepi danau. Anye menghirup nafas dalam-dalam lalu membuangnya. Semilir angin menerpa lembut tubuhnya.
Anye tak tampak letih meski tadi ia telah bermain paralayang secara tandem bersama Darlen. Wajahnya begitu ceria dan bahagia menyaksikan matahari yang sebentar lagi terbenam untuk berganti malam.
“Aku punya sesuatu untukmu.”
“Oh ya? Apa?” Tanya Anye penasaran.
Darlen mengambil sebuah kotak perhiasan dari saku jaket birunya. Darlen membuka kotak perhiasan yang isinya sebuah kalung berlian yang cantik dan mahal. Kalung dengan bandolan berbentuk love dan ada huruf timbul di dalamnya dengan huruf D dan A.
“D itu pasti inisial dari namanya, Darlen dan A…ya udah pasti namaku,” kata Anye dalam hati.
“Kamu suka?”
Anye mengangguk.
Darlen mengalungkan kalung itu dileher Anye sehingga Anye dapat dengan jelas mencium aroma tubuh Darlen yang wangi ketika mendekat di depannya. Lekat sekali Darlen memandangi wajah Anye yang cantik, bola matanya yang indah, dan bibirnya yang ranum. Sementara Anye begitu terpikat pada sorot matanya yang tajam bak elang dan wajahnya yang memancarkan keteduhan. Darlen melingkarkan tangannya ke tubuh Anye dan memeluknya erat. Setelah lama beradu pandang, Darlen mendaratkan ciuman dibibir Anye. Sentuhannya begitu lembut sehingga Anye tak kuasa untuk menolaknya.
Sementara dari kejauhan terdapat sepasang mata yang rupanya sudah mengawasi mereka berdua sejak tadi. Ungke menelan getir perasaannya melihat Anye yang tampak begitu menikmati sentuhan lembut dan hangat yang diberikan Darlen. Hatinya begitu remuk redam terlebih-lebih ketika dia mengingat bagaimana dulu Anye pernah menolak keras dirinya yang berusaha mencium pipinya.
“I love you,” ucap Darlen sungguh-sungguh.
Bibir Anye bergetar. Ia tidak tahu kata apa yang mesti ia katakan pada Darlen. Dirinya seperti mati rasa. Ini adalah ciuman pertamanya. “A…aku nggak tahu harus mengatakan apa padamu. Aku…”
Darlen menutup mulut Anye dengan telunjuknya. “You don’t have to say it by the words, babe.” Darlen kembali mencium lembut bibir Anye. Buat Darlen sambutan ciumannya sudah cukup membuktikan kalau Anye juga mencintainya.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺






GENG BUTTERFLY

Saat turun tangga terakhir, Anye dicegat oleh Geng Butterfly yang rupanya memang sudah menunggunya dari tadi.
“Hai, anak baru kenalin nama gue Bunga,” Cewek yang memakai jepitan kupu-kupu berwarna pink, berambut hitam, panjang lurus dan berkulit putih memperkenalkan dirinya lebih dulu. Bunga adalah ketua geng dari Butterfly dan bisa dibilang dia adalah yang paling cantik dari kedua teman segengnya.
“Gue Rindu,” kali ini yang berjepit rambut kupu-kupu berwarna biru yang selanjutnya memperkenalkan dirinya. Rindu memiliki ciri fisik berambut hitam, panjang, keriting, dan berkulit sawo matang tapi wajahnya sangat manis.
“Gue Cinta,” Cewek berjepit rambut kupu-kupu berwarna merah paling terakhir memperkenalkan dirinya. Cinta memiliki ciri fisik berambut hitam, panjang bergelombang dan berkulit kuning langsat. Wajahnya juga sangat imut.
Anye menangkap kesan angkuh dari perkenalan diri geng Butterfly. Anye curiga mereka seperti ada udang di balik batu.
“Kita bertiga adalah cewek-cewek cantik, modis, gaul, dan tajir yang tergabung dalam Geng Butterfly boleh nggak jadi temen baru lu,” ujar Bunga mewakili kedua temannya dengan gayanya yang centil.
“Aneh,” Itulah yang ada dibenak Anye. Anye tak percaya ketiga makhluk yang merasa paling ekslusif di sekolah ini mau berteman dengan makhluk lain diluar kelompok mereka yang mereka anggap nggak penting dan nggak selevel. Keeklusifan mereka sengaja ditonjolkan lewat anting, kalung, dan gelang yang semuanya berbandol kupu-kupu yang terbentuk dari berlian mahal. Begitupula dengan jam tangan yang mereka pakai sesuai dengan warna favorit mereka masing-masing juga bertabur berlian.
“Nggak boleh!” Suara Ungke lantang yang tiba-tiba muncul membuat wajah Bunga, Cinta, dan Rindu berubah jadi bete. Lalu Ungke menarik keras lengan Anye untuk menjauh dari gang Butterfly.
“Mereka itu adalah groupiesnya Darlen. Mereka ngedeketin kamu karena ada maunya.”
“Maksudnya?”
“Mereka ingin memanfaatkanmu agar mereka bisa dekat juga dengan Darlen.”
“Emangnya itu salah? Aku sih nggak masalah mereka memanfaatkan aku. Lagipula Darlen itu kan memang ganteng. Jadi wajar bila banyak cewek yang menghalalkan segala cara untuk ngedeketin Darlen.”
Perkataan Anye barusan rupanya telah memancing emosi Ungke.
“Aku makin nggak ngerti dengan jalan pikiranmu. Sekarang kamu tuh…” Ungke menggantung kalimatnya karena ia teringat Anye yang berciuman dengan Darlen dipinggir Danau Lido dan itu membuat emosinya jadi semakin membuncah. Karena menurutnya tidak pantas anak masih di bawah umur berciuman dan bagaimana nanti reaksi papanya kalau papanya tahu tentang ciuman itu. “Makin rusak OTAKNYA!!” Lanjut Ungke sewot.
Anye tersulut juga emosinya. Anye tak terima otaknya dibilang rusak. Anye sungguh tak mengerti atas dasar apa Ungke menyebut otaknya rusak.
“Kamu kenapa sih? Kok kamu kayaknya sensi banget sama aku. Seharusnya aku kan yang marah sama kamu setelah kamu udah ngebuang kertas-kertas bergambar pemberian Darlen ke aku. Bahkan kamu minta maaf ke aku aja nggak!” Kata Anye nggak kalah sengitnya.
Tapi Ungke diam tak mau mengatakannya karena tak mungkin ia mengatakan pada Anye kalau kemarin ia mau repot-repot menyusul Anye meski jauh ke Danau Lido setelah datang ke rumahnya tapi Anye belum pulang lalu Bi Rima memberitahunya kalau Anye pergi ke Danau Lido bersama Darlen dan itu saja sudah membuatnya sangat cemas.
Anye terperanjat ketika dia melihat Darlen muncul tanpa sepengetahuannya dan mendengar semua ucapannya barusan.
Sedangkan Ungke ngeloyor begitu saja. Ungke segan berhadapan dengan Darlen
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
MENGENAL DARLEN LEBIH DEKAT DAN LUKISAN DI DINDING

Seusai pulang sekolah, Anye dan Darlen jalan bareng, karena hari ini Darlen mengajak Anye untuk ke rumahnya. Darlen memegang erat jemari Anye sepanjang perjalanan menuju tempat parkir. Kali ini Anye tampak terlihat rileks seakan ia sudah terbiasa dengan banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Tatapan mata iri, cemburu, dan tidak suka dari mereka tak dihiraukannya. Sebelum masuk mobil Darlen, Anye sempat melihat Ungke dan Lisa yang juga sama-sama melihatnya, moodnya pun langsung berubah sedih.
“Anye,” Darlen memanggilnya seperti memintanya untuk segera masuk ke dalam mobilnya dan Anyepun akhirnya masuk. Darlen terpaksa memasangkan seatbelt di kursi Anye karena sejak masuk ke dalam mobil, Anye hanya duduk terpaku.
“Terima kasih,” ucap Anye saat ia terhenyak.
Darlen mencium lembut pipi Anye. “Sekarang kamu pacar aku,” Darlen menatap dalam mata Anye seakan mengingatkan statusnya sekarang.
Anye hanya diam dan terus diam hingga sampai di rumah Darlen.
Darlen memencet bel rumahnya yang megah hingga seseorang dari dalam datang untuk membukakan pintunya.
“Ibu…” Anye terkejut begitu melihat Bu Ronyta yang tenyata membukakan pintunya.
Bu Ronyta tahu kalau Anye sangat kaget melihatnya, maka dengan segera ia memperkenalkan dirinya di mana sebenarnya itu adalah hal yang sangat pribadi dan tidak semua orang boleh tahu kalau ia adalah tantenya Darlen.
“Ibu adalah tantenya Darlen. Ayahnya Darlen adalah kakaknya Ibu.”
Saking terkejutnya Anye sampai lupa mencium tangan Bu Ronyta. Ketika sadar, Anye langsung mencium tangan Bu Ronyta dengan santun khas anak sekolahan.
“Tante, aku ingin mengajak Anye ke kamar aku karena ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padanya.”
“Ya sudah, nanti kalau sudah selesai cepat turun ke bawah ya karena Tante sudah menyiapkan makan siang.”
“Iya Tante.” Darlen menuntun Anye untuk melihat kamarnya yang ada di lantai dua. Ketika pintu dibuka lebar, Anye tampak ragu untuk masuk ke dalam.
“Aku janji tak akan menutup pintunya,” Darlen berusaha menjawab keragu-raguan Anye dan akhirnya Anye pun berani masuk ke kamar Darlen yang luas.
Anye melihat sekeliling isi kamar Darlen yang didominasi oleh warna biru. Pandangannya tiba-tiba saja terhenti pada lukisan yang terpasang di dinding, letaknya persis ada di depan tempat tidur Darlen. Anye terpaku, ia merasa mengenali wajah itu.
“Ini kan aku,” gumam Anye dalam hati. Anye melihat dirinya tampak cantik mengenakan gaun ala putri dari kerajaan Eropa dengan style rambutnya yang coklat dan panjang bergelombang.
“Bagaimana mungkin Darlen bisa melukisku padahal aku kan nggak pernah jadi model lukisannya?” Tanya Anye keheranan dari dalam hatinya
“Aku memang sengaja mengajak kamu ke kamarku karena aku ingin kamu melihat lukisanku,” gumam Darlen dalam hati yang diam-diam memperhatikan Anye dari belakang lalu menghampiri Anye.
“Aku mandi dulu ya,” kata Darlen yang mengalihkan perhatian Anye dari lukisan itu.
“Iya,” Anye berhenti memandangi lukisan yang dinilainya misterius itu. Anye duduk menunggu di karpet samping tempat tidur Darlen. Anye melihat ada klipingan majalah dan koran di bawah rak meja tv. Anye mengambilnya dan matanya membulat.
“Ini semua adalah klipingan berita tentang prestasi-prestasi Darlen yang ditulis oleh banyak media baik dari koran, majalah, maupun tulisan berita dari internet. “Ya ampun…sebanyak inikah prestasi yang pernah diperoleh Darlen,” kata Anye seraya membalik-balik semua halaman klipingan itu.
Anye mulai membacanya. Dalam klipingan itu juga ada berita tentang prestasi Darlen yang telah memenangkan kejuaraan di Swiss seperti yang pernah diceritakan Dive padanya. Anye berdecak kagum membaca semua prestasi yang pernah ditorehkan Darlen.
“Itu semua Tante Ronyta yang klipingin,” tukas Darlen yang sudah selesai mandi, duduk di samping Anye sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk.
Anye dapat mencium dengan jelas aroma tubuh Darlen yang wangi dan segar seusai mandi.
“Kamu hebat ya. Aku bangga punya pacar kayak kamu,” ucap Anye keceplosan lalu menutup mulutnya ketika sadar akan ucapannya yang polos. “Oups! Aku tadi bilang bangga punya pacar kayak kamu,” sesalnya dalam hati.
Darlen tampak senang mendengarnya, sampai-sampai aktivitas menggosok rambutnya yang basah jadi terhenti ketika mendengar Anye mengucapkan kata-kata manis itu. Darlen mendekatkan wajahnya ke wajah Anye. Kedua tangannya mengepung badan Anye. Dekat sekali Darlen menatap Anye dengan sorot matanya yang tajam hingga hidung mereka beradu.
“Duh…sepertinya dia akan memulai lagi menciumku,” Anye memejamkan matanya ketakutan. Tapi setelah lama ditunggu, Darlen belum juga menciumnya.
“Aku juga senang punya pacar kayak kamu,” ucap Darlen seusai Anye berani membukakan matanya. Lalu Darlen bangkit menjauh mengambil sesuatu dari meja belajarnya.
“Ini…aku punya yang baru untukmu,” Darlen memberikan sesuatu yang seukuran dengan buku tulis dan lumayan tebal.
Anye mengambilnya. Anye melihat sampul buku itu seperti komik dan ternyata benar ketika ia mulai melihat-lihat isinya, ia sangat terkejut. “Jangan-jangan ini kamu yang buat.”
“Iya. Tapi itu untuk koleksi pribadi dan tidak untuk dijual. Aku hanya mencetaknya dua eksemplar. Satu untuk aku dan satu untuk kamu.”
Anye melihat tokohnya dan membaca setiap cerita gambarnya. Tak salah lagi, dia dan Darlen adalah tokoh utama dari komik itu di mana ceritanya diambil berdasarkan perjumpaan mereka dan sisanya adalah fantasi Darlen tentang masa depan mereka berdua yaitu di mana dirinya akan menikah dengan Darlen. Komik itu diberi judul I Finally Found Someone That I love. Anye tak begitu merisaukannya karena Anye menilai komik itu hanyalah sebagai suatu daya kreativitas Darlen yang amat sangat brilian. Anye berpendapat tak semua remaja bisa memiliki banyak kelebihan bakat yang dimiliki oleh Darlen yang dicap Antisosial oleh lingkungannya itu. Komik dan musik seakan menjadi komunikasinya untuk berbicara banyak mengenai siapa dirinya dan bagaimana perasaannya.
“Kamu suka?”
“Makasih ya, aku suka banget komiknya. Apalagi dibuat sama pacar sendiri,” ucap Anye blak-blakan dengan penuh kesadarannya.
Darlen sangat senang mendengarnya. Apalagi ia melihat Anye mengucapkan kata-kata itu dengan tulus.
“Darlen,” ucap Anye lagi seraya memegang tangan Darlen. “Maaf ya.”
“Maaf untuk apa?”
“Karena aku sudah nggak bisa menjaga barang pemberian kamu yang dulu pernah kamu kasih ke aku.”
“Sudahlah. Jangan merusak suasana dengan membahas hal-hal yang sudah nggak penting lagi.”
Anye menangkap ada nada kemarahan dari suara Darlen meskipun Darlen berusaha untuk acuh tak acuh.
“Darlen…” Suara Anye lagi seraya melirik lukisannya. “Aku mau tanya tentang….”
“Apa?” Darlen langsung memotongnya.
“Mengapa kau suka sekali dengan warna biru?” Tanya Anye berlainan dengan pertanyaan hatinya. Bicaranya jadi ngawur gara-gara ucapannya tadi terlalu cepat dipotong Darlen.
“Oups! Stupid question! Ngapain juga aku nanyain itu. Nggak penting banget sih. Padahal aku kan pengin nanya soal lukisan yang dipasang didinding kamarnya. Bener nggak sih kalau cewek yang ada dilukisan itu adalah aku? Atau itu hanya seseorang yang wajahnya mirip aku? Aku nggak berani nanya karena aku takut kalau ternyata wajah cewek yang ada dilukisan itu bukan aku. Kan aku nggak mau kelihatan geer,” gumam Anye dalam hati.
“Kau tahu…kalau biru adalah warna paling popular sepanjang masa sebagai simbol ketulusan hati, tenang dan yang terbaik. Dapat pula menggambarkan sifat yang jujur, pekerja keras dan rendah hati. Secara psikologis warna ini mempunyai ketenangan,” jawab Darlen yang membuat Anye terkagum-kagum. Anye tak menduga kalau pertanyaannya yang dianggap bodoh itu akan mendapat jawaban yang luar biasa. Sebelumnya Anye tak pernah tahu tentang makna dan simbol dari sebuah warna.
“Tok, tok, tok.” Terdengar suara ketukan pintu. Terlihat Bu Ronyta yang ternyata mengetuknya.
“Ayo, saatnya makan siang,” ajak Bu Ronyta yang masih berdiri di samping pintu.
“Iya Tante,” sahut Darlen.
Mereka semua turun menuju meja makan.
Anye melihat sosok keibuan Bu Ronyta yang tercermin dengan begitu tulusnya ia menyendokkan nasi kepiring Darlen lalu menyendokkan juga lauknya tanpa harus bertanya lagi mengenai lauk apa yang ingin dimakan Darlen. Bu Ronyta seperti sudah tahu apa saja lauk pauk kesukaan Darlen.
Saat makan mereka tak banyak bicara. Mereka begitu tertib di meja makan. Usai makan siang mereka berjalan menuju perpustakaan.
“Sebulan lebih Darlen tidak masuk sekolah karena ikut beberapa festival musik di luar negeri, sehingga dia banyak ketinggalan materi pelajaran. Jadi maksud Ibu datang ke sini karena Ibu akan memberikan materi pelajaran yang tertinggal itu secara privat, begitu juga dengan guru-guru yang lainnya. Iya kan Darlen?”
“Iya. Kamu boleh kok nemenin aku belajar privat. Bolehkan Tante?”
“Iya,” sahut Bu Ronyta seraya tersenyum.
“Kenapa sosok Bu Ronyta yang aku lihat di sini beda sekali dengan sosok Bu Ronyta yang di sekolah? Di sini Bu Ronyta, hatinya sangat lembut dan halus. Bu Ronyta memperlakukan Darlen dengan penuh kasih sayang seperti sosok Ibu kepada putranya. Beda sekali dengan sikapnya di kelas yang terkesan galak dan sangat berwibawa,” gumam Anye dalam hati.
Anye langsung terperangah begitu sudah masuk ruang perpustakaan yang cukup luas. Anye langsung berdecak kagum dalam hatinya saat ia melihat ada banyak sederet piala yang tersusun rapi di lemari kaca yang besar dan panjang. Ada piala yang ukurannya kecil, sedang, dan besar. Ada yang terbuat dari emas, perak, perunggu, dan kaca-kaca yang bening dan kuat. Mata Anye membulat saat ia membaca tulisan di piala yang berbentuk grand piano berwarna hitam mengkilap pada bagian atasnya.
“Ya Tuhan, jadi seperti ini piala yang dimenangkan Darlen dalam kontes piano di Swiss. Wah…bagus banget!” Decak Anye dalam hati.
“Darlen, ini semua piala kamu?” Tanya Anye pada Darlen minta kepastian tetapi Darlen hanya tersenyum simpul seperti enggan menyombongkan dirinya.
“Iya,” Bu Ronyta menimpali pertanyaan Anye. Sifat Darlen yang tak pernah bicara banyak, membuatnya harus menjadi seperti seorang juru bicara. “Ini semua adalah piala-piala yang pernah didapat Darlen dari berbagai kejuaraan yang pernah dikutinya baik itu dibidang musik, menggambar maupun melukis. Semuanya ada 49 piala.”
“Oh ya?” Anye menatap tak percaya Bu Ronyta lalu menatap Darlen untuk mengetahui apakah yang diucapkan Bu Ronyta itu benar dan syukurlah Darlen mengangguk hingga Anye puas bisa mendapatkan kebenaran dari cerita Bu Ronyta.
Anye berjalan melihat satu persatu pialanya. Rata-rata penghargaan yang banyak diperoleh Darlen adalah penghargaan yang didapat dari bidang musik. Ada penghargaan sebagai pianis muda terbaik dalam usia 5 tahun lalu ada juga penghargaan pemain biola muda terbaik dalam usia 6 tahun serta penghargaan untuk drummer muda terbaik dalam usia 8 tahun. Selain itu, ada juga juara satu lomba bernyanyi dalam lagu berbahasa Inggris pada usia 7 tahun.
“Ternyata Darlen itu memang sudah pandai bermusik dan bernyanyi sejak kecil,” gumam Anye dalam hati. Anye kemudian melihat piala-piala yang pernah diperoleh Darlen dari kejuaraan-kejuaraan di luar negeri. Ada juara 1 pada festival drum seAsia Tenggara pada usia 10 tahun, ada juara 1 pada festival piano di Ceko saat usianya 11 tahun, ada juara 1 dalam lomba menyanyi di Korea Selatan saat usianya 13 tahun dan masih banyak lagi penghargaaan lainnya yang pernah diperolehnya dibidang musik.
“Bila melihat dari piala-piala ini, sepertinya hampir setiap tahun Darlen selalu ikut festival dan dalam setahun Darlen bisa mengikuti lebih dari satu lomba,” gumam Anye lagi dalam hatinya.
“Nah…kalau deretan yang ini adalah piala yang pernah didapat Darlen dari juara 1 dalam lomba menggambar komik di Jepang saat usianya 8 tahun, juara 1 dalam lomba menggambar untuk anak-anak yang diselenggarakan oleh PBB di New York saat usianya 10 tahun dan juga juara satu lomba melukis untuk anak-anak yang juga diselenggarakan oleh PBB saat usianya 10 tahun. Kebetulan Darlen saat itu memang mengikuti lomba dalam dua kategori,” papar Bu Ronyta menjelaskan seraya menunjuk satu persatu piala itu pada Anye yang tampak terkagum-kagum.
“Ya ampun…Darlen hebat banget sih. Dalam usianya yang masih anak-anak tapi dia udah bisa bikin nama Indonesia harum berkat prestasinya,” Anye bergumam lagi dalam hatinya dengan penuh kekaguman.
“Anye, ayo kemari Ibu perlihatkan juga foto-fotonya.”
Anye menjejari langkah Bu Ronyta dan Darlen ke meja yang ukurannnya cukup panjang. Ada banyak foto-foto Darlen waktu kecil di atas meja pajangan tersebut.
“Ini adalah foto-foto saat Darlen menerima penghargaan-penghargaan itu,” jelas Bu Ronyta dengan rasa bangga.
Anye melihat foto-foto Darlen saat umur 5, 6, 7, 8 , 9, dan 10 tahun. Intinya yang ia dapat simpulkan dari foto-foto yang dilihatnya itu adalah Darlen sangat imut sewaktu kecil.
“Hhh…anak ini ternyata memang sudah tampan dari kecil,” Anye bergumam dalam hatinya seraya terus mengikuti langkah Bu Ronyta ke meja yang satunya lagi. Saking banyaknya prestasi yang pernah diperoleh Darlen sampai-sampai satu meja itu tak cukup untuk menampung foto-fotonya. Pada meja pajangan ini Anye melihat foto-foto Darlen saat berusia 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan usianya yang sekarang 17 tahun. Kesimpulannya tetap sama yaitu wajahnya tetap ganteng. Dari sekian banyak foto-foto itu, ada 5 foto Darlen bersama teman-teman bandnya di Cartenz saat berhasil menjadi juara 1 di 5 ajang kejuaraan berbeda.
“Pacarku ternyata bukan orang sembarangan. Trus kalau Darlen emang anak yang hebat tapi kenapa hati aku masih mengharapkan cinta Ungke? Padahal Ungke kan udah punya Lisa yang sangat dicintainya. Cinta Ungke pada Lisa mungkin bisa dibilang cinta setengah mati tapi cinta aku sama Darlen…ya cinta setengah hati. Tapi lumayanlah pacaran dengan Darlen karena setidaknya aku bisa membuat semua groupiesnya Darlen di sekolah pada patah hati dan kecele sama aku yang mereka anggap adalah cewek paling beruntung yang bisa menaklukan Darlen si manusia es yang paling ganteng di sekolah ELITE. Ungke aja sampe kalah gantengnya sama Darlen. Tapi itu sih menurut mereka karena menurutku Ungke sama gantengnya dengan Darlen dan hatiku lebih memilih Ungke. Semoga saja Darlen tidak tahu kalau cinta aku sama dia cuma setengah,” gumam Anye dalam hati seraya menoleh ke Darlen.
Usai puas melihat-lihat piala dan foto-foto Darlen, Anye menemani Darlen belajar matematika secara privat dengan Bu Ronyta. Anye melihat Darlen begitu serius mengikuti pelajaran privatnya.
“Seandainya saja orang-orang tahu kalau Darlen tidaklah seperti apa yang dikata orang yang menyebutnya pelajar yang males sekolah,” gumam Anye dalam hati.
Bu Ronyta mengajak Anye keluar agar Darlen konsen menyelesaikan soal-soal matematika yang diberikannya.
“Ya seperti itulah Darlen. Darlen memang lebih menyukai metode belajar privat seperti ini ketimbang di kelas karena lebih intim sehingga dia bisa langsung bertanya pada guru yang bersangkutan ketika dia mengalami kesulitan,” jelas Bu Ronyta.
“Sepertinya Bu Ronyta tahu banyak tentang Darlen. Mungkin aku bisa menanyakan soal lukisan itu padanya. Siapa tahu saja Bu Ronyta beneran tahu,” pikir Anye.
“Bu, saya boleh bertanya tentang lukisan yang ada di kamar Darlen yang wajahnya itu mirip saya. Ibu tahu kan soal lukisan yang bergambar tentang cewek bergaun putih ala putri kerajaan Eropa yang berambut panjang bergelombang berwarna coklat?” Anye memberanikan diri bertanya.
“Ya, Ibu tahu. Lukisan itu dibuat Darlen sebelum kamu bersekolah di sini.”
Anye terperanjat. “Maksudnya?”
“Darlen sudah mengenalmu dari dalam mimpinya. Setiap malam dia selalu bermimpi tentang gadis misterius itu. Wajahnya tak tampak jelas ia lihat tapi entah mengapa ketika dia melukis tapi justru wajahmu yang tergores dalam lukisan itu. Lama ia menanti jawaban hingga munculah dirimu secara nyata di sekolah. Darlen merasa kamu adalah gadis yang ditakdirkan Tuhan untuknya,” cerita Bu Ronyta secara gamblang.
Anye menutup mulutnya tak percaya. Dia sangat shock. Buatnya cerita Bu Ronyta itu sangat di luar nalar.
“Anye, ini kelihatannya emang nggak masuk akal, tapi Ibu bersumpah padamu kalau itu semua adalah benar. Darlen menceritakan semuanya ke Ibu.”
“Nggak mungkin… Nggak Mungkin…” Anye berkali-kali menggeleng. Ia menangis.
“Anye dengarkan Ibu,” Bu Ronyta memaksa wajah Anye untuk memandangnya. “Ibu mohon padamu jangan pernah kamu tinggalkan Darlen karena Darlen amat sangat mencintaimu. Darlen seperti menemukan dunia yang baru setelah kamu muncul dihadapannya. Darlen itu sangat kesepian dan dia butuh kamu untuk bisa melewati hari-harinya ke depan.” Bu Ronyta memohon iba dan terpancar kesungguhan dari sorot matanya yang membuat Anye mengalah untuk memenuhi permintaannya.
Anye mengangguk sesegukkan lalu Bu Ronyta memeluknya erat.
“Terima kasih…Terima kasih Anye,” ucap Bu Ronyta berkali-kali sangat senang mendengar Anye mau memenuhi permintaannya.
“Bu, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan sama Ibu tentang Darlen,” ucap Anye ragu-ragu ketika mereka berdua sudah duduk di sofa.
“Apa itu?”
“Banyak yang bilang kalau Darlen itu…” Anye rada tak enak menyebutnya tapi ia lanjutkan juga bicaranya, “Antisosial. Apa itu benar?”
Bu Ronyta terkejut kemudian menghela nafasnya panjang. Ditatapnya dalam mata Anye. Setelah beberapa lama terdiam akhirnya ia bicara juga, seakan ia punya rasa kepercayaan yang tinggi kepada Anye tentang rahasia dari keponakannya.
“Darlen adalah anak yang sangat kesepian, bahkan sejak bayi ia sudah harus merasakan hidup tanpa dekapan kehangatan dan belaian lembut tangan mamanya. Baik papanya maupun mamanya, mereka sama-sama pebisnis ulung. Bahkan ketika sedang hamil Darlenpun, mamanya tetap bepergian ke luar negeri untuk urusan bisnisnya sampai-sampai Darlen harus lahir di London. Setelah melahirkan Darlen, mamanya tetap saja sibuk sehingga Darlen dititipkan kepada baby sitter. Ibu kasihan melihatnya, maka ketika Darlen berusia 5 tahun, Ibu mencoba untuk merawatnya. Awalnya tak masalah tapi lama kelamaan mamanya tidak suka anaknya jadi terlalu dekat dengan Ibu. mamanya takut kalau Ibu akan mengambil putranya.
“Pantas saja,” desis Anye yang ternyata didengar juga oleh Bu Ronyta, lalu ia segera minta maaf. “Maaf Bu, saya…”
“Tak apa-apa. Kamu masih mau dengar cerita ibu kan?”
Anye mengangguk dalam.
“Terserah kamu bila kamu menjudge Darlen sama seperti orang lain. Tetapi ibu hanya ingin bilang kalau Darlen adalah anak yang selalu menyendiri, pendiam dan dia sangat tidak suka keramaian. Ia selalu diganggu teman-teman sekelasnya waktu SD. Itulah sebabnya dia Home Schooling saja sewaktu SMP. Tapi saat Darlen memasuki usia SMA, Ibu mencoba membujuk mamanya untuk menyekolahkan Darlen lagi di sekolah umum demi kebutuhan hidup sosialnya di mana ia sangat butuh kehidupan untuk bersosialisasi dengan anak-anak remaja lainnya di sekolah. Ibu berharap meskipun dia kesepian di rumah tapi setidaknya di sekolah ia tidak akan kesepian karena ia akan punya banyak teman di sekolah.”
Anye merubah posisi duduknya. Bu Ronyta memperhatikan gesturenya seakan tahu pikiran Anye yang menilai usahanya itu sia-sia saja karena pada faktanya Darlen tidak banyak bergaul di sekolah. Darlen suka menyendiri dan cenderung menutup diri dari lingkungan sekolahnya.
“Kamu pasti berpikir ibu terlalu naïf,” tuding Bu Ronyta.
“Ah…nggak Bu,” sergah Anye cepat. “Itu tidak benar. Mungkin itu hanya perasaan Ibu saja.”
Bu Ronyta menatapnya tajam. Ia tampak seperti tersinggung dengan ucapan Anye barusan.
“Aduhhh…,” desis Anye pelan. Anye betul-betul kikuk mendapat sorotan mata seperti itu. “Maaf Bu kalau tadi saya lancang bicaranya.”
“Sepertinya… ceritanya cukup sudah sampai di sini saja.”
Anye terkejut melihat Bu Ronyta bangkit dari duduknya. Anye segera meraih lengan Bu Ronyta dan menahannya pergi.
“Bu… jangan pergi Bu, saya mohon. Tolong lanjutkan lagi ceritanya. Soalnya saya ingin tahu banyak tentang Darlen, apalagi saya melihat Ibu sangat tahu banyak tentang Darlen. Ibu nggak mau kan saya dapat informasi yang salah tentang Darlen dari orang lain yang belum tentu benar,” pinta Anye menghiba.
“Oke,” ucap Bu Ronyta akhirnya membuat Anye bernafas lega.
Mereka berdua duduk kembali.
“Darlen memang tak banyak bicara, jarang sekali tersenyum dan tertawa, sehingga kita tidak tahu bagaimana isi hati dan perasaannya sesungguhnya tapi…” Bu Ronyta menggantungkan kalimatnya. Ia memerhatikan cermat wajah dan gerak tubuh Anye apakah Anye masih bersedia mendengarkan ceritanya dengan baik atau tidak. Anyepun menjawabnya dengan menunjukkan kesungguhan yang mendalam dari wajah dan sorot matanya. “Dengan bermusik, bernyanyi, menggambar, dan melukis dia bisa mengekspresikan perasaannya. Ketika dia sedang sedih pasti dia akan memainkan piano, bila ia kesepian pasti ia akan bermain biola dan bila sedang bahagia ia pasti akan bermain gitar. Tak cukup dengan bermusik saja bahkan ia akan melukis bila ia sedang gelisah dan ia akan menggambar semua hari-hari yang telah dilaluinya baik itu suka maupun duka. Dia juga akan menuangkan perasaan yang sedang dialaminya dengan bernyanyi.” Bu Ronyta menghentikan lagi bicaranya karena ia melihat Anye tersenyum.
“Anye, kamu kenapa?”
“Ah, nggak Bu. Saya senang mendengar semua cerita Ibu tentang Darlen. Saya seperti mendapat cerita yang sebenarnya tentang Darlen. Darlen tidak seperti apa yang orang lain bilang.”
“Ya begitulah… orang akan salah menilai bila kita tidak mengenalnya lebih dekat. Makanya ada istilah…”
“Tak kenal maka tak sayang,” Anye melanjutkannya.
“Sebenarnya, Darlen itu hanya akan mau bicara bila dia merasa nyaman dengan orang itu,” cerita Bu Ronyta lagi.
“Oh ya,” ucap Anye pendek seakan baru tahu.
“Maka dari itu, Ibu sudah tahu Darlen menyukaimu ketika dari sekian banyak murid perempuan di sekolah, dia hanya mau bicara dan dekat dengan kamu.”
Anye tersipu malu. Pipinya yang putih halus berubah menjadi merah.
“Anye, kamu mau tahu nggak? Kenapa Ibu tidak memarahimu sewaktu kamu terlambat?”
Anye kembali ingat dan ia menggeleng tak tahu alasannya.
“Karena ketika Ibu hendak mengambil spidol, di mana saat itu Ibu melewati ruang studio musik yang tidak tertutup rapat, Ibu melihat kamu dan Darlen ada di ruangan itu. Kamu tampak menikmati alunan nada yang dimainkan oleh jari-jari Darlen yang mahir.”
Akhirnya Anye tahu kenapa ia mendapatkan perlakuan istimewa dari Bu Ronyta padahal saat itu ia sudah sangat terlambat.
“Tapi…biar ini jadi rahasia kita berdua saja ya.”
“Oke, Bu. Rahasia.”
Mereka berdua sama-sama tersenyum kemudian tertawa lepas.
“Tante, aku sudah selesai mengerjakan soal-soalnya,” kata Darlen yang baru saja muncul seraya menyerahkan pekerjaannya pada Bu Ronyta.
“Gimana, ada yang sulit, nggak?” Tanya Bu Ronyta lembut dan penuh perhatian.
“Nggak ada Tante.”
“Tuan muda, temen-temen ngebandnya sudah datang,” suara Bi Ratih yang baru muncul dari ruang tamu.
“Ya udah, Bi, suruh mereka tunggu aja di studio,” perintah Darlen.
“Baik, Tuan muda. Permisi.” Bi Ratih kembali ke ruang tamu dan menyampaikan apa yang diperintahkan tuannya.
“Tante, aku ke studio dulu ya,”
“Ya sudah, nanti hasilnya Tante beri tahu seusai kamu latihan ngeband.”
“Anye, ayo ikut aku ke studio,” ajak Darlen.
Anye memandang Bu Ronyta seperti bertanya apakah Bu Ronyta bersedia ia tinggalkan sendirian.
“Tak apa-apa. Ikut saja.”
Mereka berdua pergi ke studio dan ketika sampai, Darlen mengenalkan Robin, Egan, dan Shalu pada Anye.
Anye duduk di sofa yang besar dan sangat nyaman diduduki. Sementara Robin duduk di belakang drum, Egan memegang bass, Shalu memegang gitar dan Darlen juga memegang gitar dan berdiri di depan microphone. Setelah mereka semua siap dengan alat musiknya masing-masing, mereka pun mulai beraksi. Terdengar intro musik yang lembut mengawali lagu sebelum Darlen bernyanyi. Anye seakan tak sabar lagi ingin segera mendengar suara Darlen akan seperti apa bila ia mulai bernyanyi nanti dan akhirnya keluarlah juga senandung kata-kata puitis dalam nyanyian Darlen. Anye begitu terbuai dengan suara Darlen yang sangat bagus dan penuh penghayatan dalam bernyanyi. Isi lirik itu sama persis seperti judul gambar yang pernah dia kasih ke Anye. Dalam lagu itu Darlen seperti mencurahkan isi hatinya yang langsung jatuh cinta pada pandangan pertama kepada seorang gadis yang telah berhasil menghanyutkan hatinya. Anye begitu terbuai dan seakan dirinya melayang ketika Darlen seperti memuja-muja dirinya di dalam lagu itu.
“Ya Tuhan, dia bilang aku ciptaan Tuhan yang terindah. Aku sungguh tak menyangka, Darlen yang dulu ku sangka tak romantis tenyata dia adalah seorang pendiam yang yang sangat romantis,” gumam Anye dalam hatinya seraya tersenyum manis pada Darlen yang terus memperhatikannya.
Anye kembali teringat dengan apa yang telah diceritakan Bu Ronyta. “Seperti apa yang dikatakan Bu Ronyta padaku tadi, bila Darlen sedang bahagia maka ia akan bermain gitar dan ia akan bernyanyi untuk menuangkan perasaannya yang sedang dialaminya. Ya, Darlen sedang bahagia karena dia sedang jatuh cinta kepada seorang gadis yang selama ini sudah lama ia mimpikan dan gadis itu adalah aku. Mungkin aku adalah gadis yang paling beruntung di sekolah ELITE,” gumam Anye lagi dalam hatinya.
“Gimana, kamu suka nggak lagu itu?” Tanya Darlen usai latihan ngebandnya selesai.
“Aku suka banget. Lagu itu bagus banget,” puji Anye.
“Itu adalah lagu yang akan kita bawakan di festival band Se-Jakarta, nanti.”
“Oh ya? Smoga aku nanti bisa datang melihat penampilan kalian untuk menyemangati dan mendukung bandmu.”
“Aku pasti akan seneng banget bila kamu datang. Janji ya?”
“Oke. Masak sih aku nggak datang melihat pacarku tampil di atas panggung.”
“Gimana, sudah selesai latihannya?” Tanya Bu Ronyta menghampiri Darlen dan Anye yang sudah keluar dari studio.
“Sudah Tante dan sekarang aku mau nganter Anye pulang.”
“Oh iya Bu, bagaimana hasil soal-soal yang telah dikerjakan Darlen?” Tanya Anye ingin tahu.
“Bagus hasilnya. Darlen ini memang anak yang pintar. Dia sangat cepat tanggap kalau diajarin.”
Anye senang mendengarnya. Ia menatap dalam mata Darlen. Ingin rasanya ia mengatakan kalau ia begitu bangga pada Darlen setelah mengenal Darlen lebih dekat. “Darlen, I was blessed because I was loved by you,” ucap Anye tapi ia hanya berani berucap dalam hatinya saja.
“Ya udah Bu, saya permisi pamit pulang,” pamit Anye seraya mencium santun tangan Bu Ronyta.
“Iya, sering-sering main ke sini ya,” ucap Bu Ronyta seraya tersenyum penuh arti. Senyum yang memperlihatkan kalau ia sangat senang keponakannya berpacaran dengan gadis yang sesuai impiannya.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺













KECURIGAAN LISA

“Ungke…Ungke…,” Lisa berkali-kali memanggilnya tapi Ungke tak menyahutnya hingga Lisa harus memegang tangannya. “Kamu kok melamun?”
“Oh…maaf,” ucap Ungke saat terhenyak.
“Ada apa sih? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
“Ya, aku lagi mikirin Anye,” jawab Ungke jujur. “Aku takut tidak bisa mengenalnya lagi setelah ia berteman dekat dengan Darlen.”
“Maksud kamu Anye akan berubah dan kamu takut kehilangan kebersamaan dengan dia karena dia kini sudah punya pacar.”
“Aku tidak menyebut mereka berpacaran,” sergah Ungke rada ketus membuat Lisa sangat terkejut. Baru kali ini Ungke bersikap kasar padanya.
“Kamu kenapa sih? Kok kamu kayaknya nggak suka banget Anye punya pacar.”
“Lisa, maksud aku…” Ungke tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan kegelisahannya pada Lisa. Dia katakan apapun alasannnya, Lisa pasti tak akan mengerti. “Anye boleh aja pacaran, tapi kenapa mesti Darlen? Aku nggak mau sahabatku punya pacar yang suka bolos sekolah dan punya penyakit Antisosial itu. Aku nggak mau Anye terbawa oleh sifat-sifat buruknya Darlen,” Ungke mencoba menumpahkan uneg-unegnya.
“Kayaknya acara makan kita udah nggak asyik lagi.” Lisa bangkit namun Ungke segera menarik tangannya. Ungke melihat jelas wajah kesal Lisa.
“Apalagi sih? Aku tuh tahu dari sejak kita datang ke restoran ini kamu melamun terus! Mata kamu memang memandangi laut tapi tatapan kamu kosong!”
“Lisa, jangan pergi dulu. Kita kan udah pesan makanan.”
“Aku nggak mau!” Lisa menepis keras tangan Ungke. “Aku udah nggak berselera lagi. Bagaimana aku bisa berselera makan bila pacarku badannya ada di sini tapi pikirannya sedang mikirin cewek lain!”
“Anye sahabat aku!” Teriak Ungke keras.
“Apapun alasan kamu, tapi tetap aja aku nggak ngerti! Kamu sahabatnya bukan kakaknya apalagi ayahnya yang ribut-ribut nggak jelas mempermasalahkan dengan siapa Anye mesti berpacaran padahal Anye sendiri aja kelihatan merasa nyaman berada dekat dengan Darlen. Seharusnya kamu sebagai sahabat…kalau kamu memang sahabatnya, kamu harusnya senang kalau Anye sudah punya pacar. Anye aja nggak pernah ribut ketika kamu berpacaran sama aku. Bukankah kamu itu egois?” Ucap Lisa dengan mata berkacak-kacak.
“Lisa… maafkan aku.”
Lisa menepis Ungke yang hendak memeluknya. Lisa pergi berlari meninggalkan Ungke dengan butiran-butiran air mata yang menetes deras dipipinya.
◊◊◊
“Lisa…” Neneknya terkejut begitu pintunya terbuka, ia langsung melihat Lisa menangis. “Kamu kenapa, sayang?” Tanya neneknya seraya menyentuh lembut pipi Lisa.
Lisa tak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya. Lisa langsung berlari ke kamarnya.
Neneknya segera menyusulnya ke kamar dan ia masih mendapati cucunya menangis sesegukkan.
“Grandma,” Lisa langsung memeluk erat neneknya.
“Ternyata aku salah, aku salah menilai Ungke. Tadinya aku pikir aku akan bahagia bila berpacaran sama Ungke tapi ternyata…” Lisa tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Ia masih terus menangis dipelukkan neneknya.
“Sudah…sudah…jangan menangis lagi,” ucap neneknya lembut seraya mengelus-elus punggung Lisa.
◊◊◊
Malamnya Ungke datang ke rumah Lisa untuk minta maaf.
“Selamat malam, Oma.”
“Selamat malam, Nak Ungke.”
“Lisanya ada, Oma?”
“Ada. Ayo silahkan masuk. Tunggu sebentar ya biar Oma panggilkan Lisanya.”
Neneknya mengetuk pintu kamar Lisa dan Lisa menyuruhnya masuk.
“Lisa, ada Ungke sedang menunggumu di ruang tamu.”
“Aku males bertemu dengan dia, Grandma. Suruh dia pulang saja.”
“Temui dia dulu sebentar. Kan kasihan…dia sudah jauh-jauh datang kemari.”
“Tapi aku males ketemu dia, Grandma! Aku tuh masih kesal sama dia!”
“Oke,” Neneknya mengalah sebelum kemarahan Lisa meledak. Neneknya pun keluar dari kamarnya.
“Sepertinya Lisa masih belum bisa mengontrol emosinya. Saya khawatir sifat temperamentalnya belum benar-benar hilang dari dirinya. Anak ini bila sifat temperamentalnya muncul, pasti akan banyak ucapan-ucapan kasar yang keluar dari mulutnya,” gumam neneknya dalam hati di depan pintu kamar Lisa.
“Bagaimana Oma?” Tanya Ungke langsung begitu melihat neneknya Lisa muncul.
“Nak Ungke, sebaiknya lain waktu saja bicaranya sama Lisa ya. Soalnya Lisa masih belum stabil emosinya. Oma takut kalian nanti malah bertengkar hebat kalau dia masih kesal seperti itu.”
“Ya udah…kalau begitu saya permisi pulang, Oma.” Sahut Ungke rada kecewa.
“Maafin Lisa ya.” Ucap neneknya Lisa merasa tak enak pada Ungke yang sudah jauh-jauh datang tapi Lisa tidak mau menemuinya.
“Oh… nggak apa-apa, Oma. Seharusnya aku yang minta maaf karena aku udah bikin Lisa kesal.”
“Ya sudah tak apa-apa karena Oma maklum kalau orang pacaran pasti ada ribut-ributnya lagipula dulu kan Oma pernah muda seperti kalian,” ucap neneknya Lisa berusaha menghibur Ungke.
Ungke tertawa. “Iya Oma betul. Permisi Oma.”
“Iya, hati-hati di jalan ya.”
Lisa mengintip Ungke yang sedang masuk mobil dari balik tirai kamarnya.
“Apa kalian itu benar-benar bersahabat? Kalau kau tidak mencintai Anye kenapa kau begitu marah Anye berpacaran dengan Darlen?” Suara Lisa serak. Dihatinya masih menumpuk sejuta rasa kesal. Ia sungguh curiga dengan hubungan antara Ungke dengan Anye, terlebih-lebih bila ia harus mengingat kejadian tadi sore di mana Ungke terus melamun saat sedang mau makan bersamanya di restoran seafood, Ancol, seperti memikirkan sesuatu. Setelah diselidik ternyata benar. Ungke sedang memikirkan Anye. Tentu saja hatinya begitu kesal dan marah apalagi dirinya sebagai seorang cewek, tentu hal itu bukanlah sepele. Baginya itu seperti pertanda buruk bahwa Ungke diam-diam menyukai Anye. Apalagi Anye dan Ungke sudah saling kenal cukup lama dan sudah sangat dekat sekali hubungannya. Ia begitu kecewa pada Ungke yang ternyata jauh dari harapannya. Tadinya ia pikir Ungke lebih baik dari Darlen dan akan bahagia bersama Ungke tapi ternyata harapannya sia-sia. Iapun menumpahkan kekesalan dan kekecewaannya dengan mengobrak-abrik kamarnya. Hanya dalam sekejap kamarnya sudah berantakan.
“Lisa, apa kamu baik-baik saja di dalam?” Tanya neneknya dari balik pintu sangat cemas dengan sikap temperamental Lisa yang kembali muncul.
“Aku ingin sendirian Grandma! So, please leave me alone!” Teriak Lisa yang terduduk muram di samping tempat tidurnya seraya menangis.
“Baiklah. Apapun yang terjadi, Oma ingin kamu tahu bahwa Oma sayang sekali sama kamu dan akan selalu ada di sisimu kapanpun kamu butuhkan!” Suara neneknya setengah berteriak berharap mampu memberikan kekuatan pada Lisa. Seakan menurutinya, neneknya lalu pergi dengan hati gusar meninggalkan kamar Lisa. Lisa memang butuh untuk sendiri dulu guna memperolah ketenangan dan pikiran jernih untuk mau berbagi cerita padanya.
HAMPA

“Hidup gue hampa. Gue memang memiliki Lisa tapi gue telah kehilangan sahabat gue dan mengapa Darlen yang mesti jadi pacarnya? Dari dulu sampai sekarang gue nggak pernah menyukai Darlen yang selalu disanjung-sanjung itu. Kenapa anak antisosial itu hidupnya bisa sangat sempurna? Dia berasal dari keluarga yang kaya, dia pandai bernyanyi, bermusik, menggambar, dan melukis. Dia juga jago bermain basket dan meskipun dia jarang masuk tapi hasil ulangannya selalu bagus. Banyak gadis-gadis di sekolah yang tergila-gila padanya karena ketampanannya dan prestasi yang telah banyak ia torehkan. Meskipun menutup diri, pendiam, dingin dan cuek tapi tetap saja ia memiliki banyak penggemar. Apa sih yang tak bisa ia dapatkan di Dunia ini? Sahabatku saja berhasil direbutnya…” Oups! Ungke terjatuh. Lantaran berjalan sambil melamun, ia tak sadar kalau ada orang di depannya dan menabraknya.
“Ungke, lu nggak apa-apa?” Tanya siswa itu khawatir.
“Oh, gue nggak apa-apa.”
“Lagian sih lu jalan pake melamun. Makanya kalau jalan jangan ngelamun. Mikirin apaan sih lu, man?
“Ah nggak. Gue nggak lagi mikirin apa-apa.” Ungke cepat-cepat pergi dari siswa itu dan ia berjalan sambil melamun lagi.
“Anye, kenapa hubungan kita jadi seperti ini sekarang? Kita nggak pernah bisa istirahat bareng lagi setelah kamu dekat dengan Darlen. Darlen sudah seperti menguasai dirimu seutuhnya sehingga menyisihkan sedikit waktu untukku saja tidak ada sama sekali,” gumam Ungke dalam hatinya.
Ungke melihat Anye sedang makan bersama Darlen di sebuah ruangan private yang memang disediakan khusus untuk Darlen beristirahat. Ungke melihat Anye yang begitu intim dengan Darlen. Ada tatapan kesedihan dan kecemburuan saat Anye menyuapkan sesuap nasi ke mulut Darlen.
“Ya Tuhan, tidak! Ada apa dengan gue? Mengapa gue nggak suka melihat mereka berdua tampak mesra di dalam sana? Apa gue cemburu? Tidak! Tidak!” Ungke menggeleng-gelengkan kepalanya. “Anye sahabat gue. Anye cuma sahabat gue. Tapi, kenapa hati gue begitu sedih dan sakit melihat mereka mesra di dalam sana?” Gumam Ungke dalam hatinya sesak.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺




















JANJI ANYE

“Mereka lagi lihat apaan sih di mading?” Tanya Anye pada Dive yang penasaran melihat kerumunan cewek saling berebutan posisi terbaik untuk dapat melihat pengumuman yang di tempel di Mading lebih jelas.
“Nggak tahu. Lebih baik kita lihat aja, yuk! Daripada nanti kita mati penasaran.”
“Ih, apaan sih, ngomongnya sembarangan.”
“Yeah…umur kita kan nggak ada yang tahu. Siapa tahu aja kita abis pulang sekolah kecelakaan trus mati deh.”
“Ih…ngawur banget sih ngomongnya,” kata Anye gregetan seraya memukul tangan Dive. Tapi untungnya tak sakit karena Anye tak begitu keras memukulnya.
“Permisi-permisi. Gantian ngeliatnya,” Dive menerobos paksa kerumunan itu. Sehingga ia dan Anye bisa melihat jelas pengumuman itu. Pengumuman itu berisi tentang Band Cartenz yang akan tampil dalam festival band se-Jakarta.
“Oh… pantesan pada rame ngeliatin mading. Ternyata Darlen toh yang bikin mereka pada kayak semut ngeliat pengumuman ini.”
Tiba-tiba saja Anye menarik tangan Dive untuk keluar dari kerumunan itu, “yuk, Dive kita pulang.”
“Aku kan belum selesai lihat pengumumannya.”
“Aku sudah tahu kok.”
“Oh ya? Tahu dari mana?”
“Iya. Darlen kok yang beritahu. Bahkan aku udah tahu loh bandnya bakalan bawain lagu apa.”
“Oh ya? Kalau begitu asyik banget dong jadi pacarnya Darlen. Coba kamu ceritain ke aku lagunya kayak gimana?”
“Ih…rahasia dong. Pokoknya puitis banget, bikin cewek manapun yang mendengarnya bisa terbang melayang-melayang.”
“Aku jadi penasaran banget pengen lihat penampilan Cartenz di festival itu. Tapi kamu bocorin dulu dong lagunya kayak apa?”
“Ah…nggak mau ah. Aku nggak mau cerita. Pokoknya kamu datang aja dan saksikan sendiri trus dihafalin lagunya dan dinyanyiin deh di depan cewek kamu.”
“Anye,” sebuah suara memanggilnya. Anye menoleh ke arah suara itu. Darlenlah yang memanggilnya.
“Dive, udah dulu ya. Aku mau pulang dulu sama pangeranku. Dahhhh…” pamit Anye. Anye segera menghampiri Darlen dan Darlen langsung memegang erat tangan Anye.
“Dahhhh….” Balas Dive. “Huh dasar pelit!” gerutu Dive saat Anye sudah jauh dari pandangannya.
◊◊◊
Saat di dalam mobil, Anye memikirkan tentang sikap dan perhatian Bu Ronyta yang begitu baik pada Darlen. Hal itu telah membuatnya penasaran dan jadi ingin tahu. Anyepun mencoba memberanikan diri untuk bertanya sendiri pada Darlen.
“Darlen,”
“Apa?” Darlen menoleh lalu pandangannya kembali lagi memperhatikan jalan yang dilalui mobilnya
“Aku boleh tanya nggak soal Tante kamu?”
“Tante Ronyta?”
“Iya.”
“Emangnya apa yang ingin kamu ketahui tentang Tanteku?”
“Aku melihat kayaknya Bu Ronyta itu sangat baik sekali dan sayang sama kamu.”
“Mungkin…itu karena Tante telah kehilangan putra semata wayangnya, Aaron Wilshere.”
“Aaron Wilshere. Kok namanya bule banget sih?’
“Iya. Aaron itu blasteran Amerika. Dia seumuran sama aku, 17 tahun.”
“Jadi, Tante kamu nikah sama pria asing?”
“Iya, tapi udah cerai 12 tahun yang lalu, saat Aaron berumur 5 tahun.”
“Trus Aaronnya sekarang di mana?”
“Di Amerika, tinggal sama papanya.”
“Kok sama papanya? Bukankah kalau anak masih kecil itu menurut hukum, kan harusnya diasuh oleh ibunya?”
“Iya memang. Tapi itu hanya berlaku untuk pernikahan sesama WNI bukan untuk perkawinan campur di mana semua wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing maka si wanita itu harus siap kehilangan semua haknya meskipun dia adalah WNI. Dia akan kehilangan hak untuk memiliki properti, kehilangan hak politiknya seperti nggak boleh jadi Bupati dan… harus siap kehilangan anaknya seperti Tanteku.”
“Oh ya? Tapi bukankah kewarganegaraan ganda itu batasnya sampai usia delapanbelas tahun. Aaron kan masih 17 tahun. Bu Ronyta masih bisa dong minta bantuan Negara untuk mengambil Aaron dari ayahnya dengan catatan Bu Ronyta mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia dulu ke Depkumham.”
“Memang bisa, tapi sayangnya Tante sudah terlanjur bercerai sebelum UU Kewarganegaraan yang baru disahkan…9 tahun setelah mereka bercerai. Tante tak akan sanggup bertahan selama itu dengan pernikahan yang sudah mendera bathinnya dan Tante juga dulu tidak tahu kalau akan ada amandemen. Kalau saja dia bisa melihat masa depan, dia pasti akan bersabar dengan pernikahan yang sudah melelahkan hati dan pikirannya demi mempertahankan Aaron.”
“Aku turut bersimpati untuk Tantemu. Aku bisa merasakan kesedihan Bu Ronyta yang kehilangan putra yang amat sangat dicintainya.”
“Terimakasih. Oh iya, kamu nggak lupa kan hari minggu nanti datang ke festival?”
“Iya, aku pasti datang,” janji Anye seraya memegang tangan Darlen.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺



















CUACA REDA, FESTIVAL PUN SUDAH BERAKHIR

“Anye! Anye!”
Anye mendengar ada suara orang berteriak keras memanggil-manggil namanya. Anye mendapati sumber suara itu dari luar rumahnya, persisnya tak jauh dari kamarnya. Anye membuka jendela kamarnya. Ia melihat di bawah sana Ungke sedang mengibar-ibarkan bendera putih.
Anye hampir mau tertawa melihat aksi Ungke seperti orang yang menyerah dalam perang.
“Ungke!” Suara Anye terkejut. “Ngapain kamu pakai bawa bendera putih segala?”
“Anye, aku ingin melakukan gencatan senjata untuk mengakhiri peperangan kita! Aku minta maaf atas semua perbuatanku yang udah bikin kamu marah! Aku minta maaf atas semua kesalahanku padamu! Aku minta maaf, Anye!” Ungke berteriak-teriak di bawah seraya mengibar-ibarkan bendera putihnya.
“Kamu, apa-apaan sih? Ada-ada aja minta maaf sama aku pakai bendera putih segala.”
“Anye, aku sungguh-sungguh minta maaf! Aku sadar sudah sangat keterlaluan membuang kertas-kertas bergambar itu! Maafin aku ya?”
Anye segera berlari turun ke bawah menghampiri Ungke.
“Iya, aku maafin. Nggak apa-apa kok lagipula…” Anye berhenti, ia hendak mengatakan kalau Darlen sudah menggantinya dengan yang baru. Tapi, Anye tak jadi bilang karena takut akan dibuang lagi sama Ungke.
“Apa? Kamu mau ngomong apalagi?”
“Ah, nggak ada kok.”
“Kamu di rumah aja? Hari libur ini kamu nggak ke mana-mana?”
“Nggak ke mana-mana. Aku di rumah aja sama Bi Rima soalnya papa lagi main golf sama pimpinan perusahaan.”
“Kamu nggak diajak?”
“Males ah, obrolan mereka pasti nggak jauh-jauh dari masalah perkembangan perusahaan. Lagian nggak penting juga aku ke sana. Yang ada nanti aku malah dicuekkin papa.”
“Kamu mau ikut aku nggak ke pulau seribu dengan naik boat pribadi keluargaku?”
“Apa? Keluargamu punya boat pribadi. Asyik banget sih punya boat pribadi. Aku mau dong,” ucap Anye antusias tapi ia jadi ragu begitu sampai di depan mobil Ungke.
“Ayo kita berangkat sekarang.” Ungke masuk ke dalam mobilnya duluan. Ia tidak duduk di belakang tapi di depan kemudi.
Anye celingak celinguk nyari Pak Yaya tapi di dalam mobil itu memang tidak ada Pak Yaya sama sekali dan artinya itu sudah sangat jelas kalau Ungke yang akan menyetir mobilnya sendiri membuat Anye jadi ragu-ragu naik mobil Ungke. Ia takut kejadiannya akan seperti dulu, ngebut tanpa SIM pula.
“Anye, ayo naik,” pinta Ungke cepat.
“Kamu nyetir sendiri lagi? Kamu kan nggak punya SIM.”
“Swear! Walaupun aku nggak punya SIM, aku akan nyetir hati-hati dan nggak ngebut lagi kayak kejadian yang dulu. Oke?”
“Ya udah aku naik,” Anye berani masuk ke dalam mobil setelah mendapat jaminan aman. “Tapi janji ya jangan ngebut. Awas kalau bohong, nanti aku aduin ke papa biar papa ngelarang kamu berteman lagi sama aku,” Anye mengancam.
“Iya, aku janji tapi pakai seatbeltnya dulu dong,” Ungke memasangkan seatbelt dikursi Anye duduk. Kontan saja jantung Anye berdegup kencang saat wajah Ungke berada begitu dekat jaraknya dengan wajahnya. Mata merekapun saling beradu, menatap cukup lama.
“Ah, sudah sana cepat menyetir mobilnya, aku kan pengen ngerasain naik boat,” Anye menghempaskan badan Ungke kembali ke kursinya. Anye tak ingin Ungke tahu kalau jantungnya berdegup kencang saat mereka saling bertatapan dengan jarak yang begitu dekatnya.
“Maaf, bukan maksud aku kurang ajar sama kamu, abis kamu kebiasaan sih selalu lupa pakai seatbelt,” Ungke berkilah.
“Uh…alasan! Ayo cepetan jalan,” perintah Anye cerewet.
“Iya, iya. Dasar cerewet!”
“Apa kamu bilang? Kamu bilang aku cerewet.” Anye memukuli pundak Ungke.
“Iya, ampun, ampun. Aku bagaimana mau nyetir kalau kamu terus mukulin aku,” Ungke membela diri.
“Makanya jangan bilang aku cerewet! Emangnya aku nenek-nenek? Aku cantik begini! Kalau nggak cantik mana mungkin Darlen suka sama aku,” gerutu Anye.
Mendengar nama Darlen, Ungke pun tak jadi menyalakan mesin mobilnya.
“Tunggu apalagi, ayo cepetan kita jalan,” suara Anye tetap cerewet membuat Ungke tak jadi bicara soal Darlen.
“Pokoknya sore nanti kita harus udah pulang. TITIK!” Lanjut Anye lagi nggak mau kompromi dengannya.
“Iya, ceeee…..”
“Apa? Mau bilang aku cerewet lagi,” mata Anye melotot.
“Nggak,” ucap Ungke seraya menggeleng cepat.
Sesampainya, Ungke langsung mengajak Anye ke dermaga. Terlihat dua pria yang sepertinya sudah menunggu mereka sejak tadi.
“Anye kenalin, ini Pak Yusuf yang akan mengemudi boatnya dan ini Pak Bambang. Pak Bambang adalah orang yang melakukan perawatan rutin boat pribadi milik keluargaku. Beliau juga yang akan memperbaikinya kalau misalnya nanti di tengah-tengah perjalanan ada kerusakan. Pak Bambang juga ngerti banget soal safety. Jadi, kalau kita naik boat udah pasti amanlah kalau ada Pak Bambang.”
“Oh…aku kirain kamu yang akan mengemudi boatnya sendiri.”
“Ya…enggaklah. Memang sih aku bisa, tapi belum mahir dan belum dibolehin sama papa. Nyetir mobil sendiri aja masih kucing-kucingan sama papa,” kata Ungke seraya tertawa terkekeh.
“Huh…dasar kamu bandel!”
Ungke hanya terkekeh ketika pundaknya dipukul oleh Anye.
“Halo Pak, saya Anye. Saya teman sekelasnya Ungke,” Anye mengulurkan tangannya pada Pak Yusuf yang berbadan tinggi besar dan tegap seperti tentara. Wajahnya masih terlihat muda karena umurnya memang belum memasuki kepala empat. Lalu Anye juga mengulurkan tangannya pada Pak Bambang yang tubuhnya tidak terlalu tinggi dan besar seperti Pak Yusuf tapi beliau lebih tua dari Pak Yusuf yang memiliki wajah ganteng.
“Oh… saya kirain kamu pacarnya. Eh, ternyata bukan,” kata Pak Bambang usai menjabat tangan Anye.
“Ah… bapak ini bisa aja,” kata Ungke yang wajahnya kelihatan seperti malu-malu kucing. “Bukanlah Pak. Anye ini sahabat aku dari kecil saat kita sama-sama masih di Bandung dulu.”
“Oh…,” Pak Bambang menyahut pendek dengan dua kemungkinan yaitu kecewa karena tebakannya salah atau karena merasa tak enak tebakannya salah.
“Bagaimana Pak, apa kita sudah bisa langsung berangkat sekarang?” Tanya Ungke pada Pak Bambang karena beliaulah yang punya kuasa untuk memutuskan apakah boatnya siap dipakai atau tidak.
“Oh, sudah mas karena saya sudah cek semua dan semuanya aman,” sahut Pak Bambang sopan pada anak dari orangtua yang yang telah memperkerjakannya.
“Ya udah kalau begitu tunggu apalagi, Pak. Kita berangkat sekarang aja mumpung langit lagi cerah banget di atas,” kata Ungke.
Pak Yusuf dan Pak Bambang naik terlebih dahulu sedangkan Anye ternganga melihat boat unik yang ada di depan matanya. Setiap inci boat ini didekorasi dengan mendetail mulai dari kurva-kurva cantik, muscular lines, hingga grafik-grafik tebal serta ada juga tangga yang memiliki pijakan anti slip di haluan membuat orang dapat meloncat langsung dari kapal ke laut. Selain itu, pilihan fitur seperti warna khas, wakeboard tower dan platform tambahan membuat boat ini jadi unik. Kemewahan dan kenyamanan tempat duduknya benar-benar tak tertandingi oleh boat manapun karena di boat ini kita dapat bersandar di lounge sambil menatap matahari.
“Wow…boatnya keren banget!” Decak Anye sebelum naik boatnya.
“Ini boat jenis sporty dan stylish,” jelas Ungke memberitahu lalu naik ke atas boat. “Ayo naik,” lanjut Ungke seraya membantu Anye untuk naik.
Pak Yusuf duduk di balik kemudi boat sedangkan Pak Bambang duduk di belakang seperti memantau keadaan di belakang boat dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Ungke mengajak Anye duduk di depan lounge di mana di tempat itu tidak hanya bisa untuk duduk santai saja memandangi laut tapi juga tiduran seperti orang berjemur kayak di pantai.
“Wah…asyik banget sih boatnya. Aku bisa sandaran berjemur di lounge, jadi udah kayak berjemur di pantai aja,” kata Anye membaringkan badannya di lounge yang nyaman dan empuk seraya memandangi laut lepas dan menghirup udaranya.
Ungke sendiri merasa senang karena Anye dapat menikmati perjalanannya ke sebuah pulau wisata di kawasan pulau Seribu yang belum pernah dikunjunginnya.
“Kamu sering naik boat ke pulau?” Tanya Anye.
“Nggak juga sih. Paling kalau naik boat ya untuk sekedar melepaskan stress, mendapatkan ketenangan dan menghirup udara laut aja bareng mama, papa, dan Kesha. Itupun juga kalau lagi liburan loh.”
“Gaya kamu tuh kayak orang dewasa aja. Masih anak kecil tapi udah stress.”
“Emangnya anak sekolahan nggak stress ya kalau menjelang ujian semester? Kan lumayan habis ujian trus bisa melepaskan stress dengan menghirup udara laut dan mencari ketenangan di laut,” kilah Ungke.
“Duh…ternyata enak banget ya jadi anak orang kaya seperti kamu. Mau melepas stress dari rutinitas aja pakai naik boat segala. Kalau aku mah paling cukup berendam lama-lama di bathup dengan aroma terapi yang khas.”
“Ah, apaan sih kamu,” sergah Ungke yang tidak suka disebut anak orang kaya. Kesannya dia adalah anak yang paling beruntung dan bahagia padahal kebahagiaan bukan benda yang dapat digenggam tapi kebahagiaan itu ada di dalam hati sendiri bagi mereka yang mampu menyelaminya dan mau hidup bersyukur atas apa yang sudah diberikan Tuhan.
“Tapi aku benar kan?”
“Kamu juga pasti bisa kok minta dibeliin boat sama papa kamu. Apalagi kamu kan tinggal anak satu-satunya papa kamu. Pasti dikabulin deh kalau kamu emang minta.”
“Ah…kamu jangan ngomongin papa deh,” kali ini gantian Anye yang tidak suka. “Aku tuh sebel banget papa nggak pernah punya waktu untuk sekedar berlibur sama aku seperti kayak gini sekarang. Padahal kan asyik banget kalau aku bisa berlibur kayak begini berdua sama papa dan kamu. Kamu tahu nggak sih…papa tuh lebih sering pergi sama bos dan relasi-relasi perusahaannya ketimbang sama aku,” curhat Anye benar-benar jengkel.
“Ya…namanya aja orangtua. Mereka punya caranya sendiri dalam memberikan perhatian dan kasih sayang ke kita. Bahkan rela tulangnya harus dibanting demi memenuhi semua kebutuhan kita. Kamu pernah berpikir nggak sih kalau kamu beruntung masih punya papa?”
Anye mendelik. Awalnya ia datar saja menanggapi ucapan Ungke tapi hatinya menjadi terusik ketika Ungke melontarkan pertanyaan tajam diakhir kalimatnya.
“Coba bayangkan, apa jadinya kalau Tuhan dulu juga mengambil papa kamu? Apa kamu masih bisa seperti sekarang? Kalau hujan kamu nggak kehujanan, panas nggak kepanasan trus kamu juga nggak pernah merasa kedinginan kalau malam mau tidur karena papa kamu nyediain rumah yang besar, bagus dan nyaman untuk kamu yang kamu sendiri nggak tahu kalau harga rumah yang kamu tempati itu miliaran dan hanya bisa dibayar oleh bantingan tulang papa kamu. Trus belum lagi kalau lapar kamu masih bisa makan, bisa pakai baju-baju bagus, kamu masih bisa bersekolah bahkan sekolah ditempat yang mahal dan bagus,” lanjut Ungke masih dengan kata-katanya yang tajam seperti mengajak Anye untuk instropeksi diri.
Anye merasa wajahnya seperti ditampar oleh semua perkataan Ungke. Sebab Anye sebelumnya tak pernah berpikir sejauh itu. Kalaupun ia harus dipaksa berpikir sekarang, jawabannya mungkin ia akan tinggal dipanti asuhan atau panti rehabilitasi narkoba atau mungkin yang lebih buruk nasibnya jadi gembel dijalanan. Sebab papanya adalah satu-satunya orang yang paling sukses dikeluarganya ketimbang kehidupan saudara-saudaranya yang lainnya. Anye menutup matanya dengan kedua tangannya seraya menggeleng berkali-kali ketika ia merasa takut membayangkan nasibnya akan sama dengan anak-anak jalanan dan pengemis yang sering ia jumpai kemanapun ia pergi. Hidupnya pasti akan selalu dilalui dengan kehidupan yang keras dan serba sulit tanpa papa di sampingnya.
“Aku nggak mau Tuhan mengambil papa aku seperti Tuhan mengambil mama dan kak David. Aku nggak mau kehilangan papa. Papa adalah satu-satunya orang yang ku miliki di dunia ini dan aku sayang banget sama papa. Tuhan, sungguh aku berkata jujur padaMU,” tangis Anye yang masih menutup matanya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Anye,” Ungke meraih kedua tangan Anye dan meremasnya lembut. “Papa kamu itu sayang banget sama kamu. Percayalah apapun yang papa kamu lakukan itu adalah maksudnya baik. Janganlah kamu berfokus pada hal-hal yang jelek atau negatif saja dari papamu karena itu hanya akan membuatmu mengeluh dan terus mengeluh yang bikin hati dan pikiranmu capek lalu jadi beban yang selalu mengganjal dihatimu. Berfokuslah pada semua kebaikan yang begitu tulus yang sudah pernah diberikan oleh papamu ke kamu selama ini,” nasihat Ungke seperti embun bening di pagi hari yang menyejukkan.
“Iya, kamu benar,” kata Anye seraya mengusap air matanya. “Tiap pagi papa selalu rela nganterin sendiri aku ke sekolah padahal arah sekolah dan kantor papa berlawananan dan jauh. Papa beli rumah karena mentingin jaraknya lebih dekat dengan sekolah aku ketimbang kantor papa. Dan…” Anye kembali mengusap air matanya yang masih menetes, “aku bahkan nggak inget lagi sama semua kebaikan papa mulai dari aku bayi sampai sekarang aku gede karena aku terlalu banyak berfokus pada hal-hal yang negatif tentang papa. Coba kalau aku berfikir positif, mungkin aku adalah anak yang paling beruntung sedunia karena meskipun aku udah bersikap kasar sama papa tapi papa nggak pernah marah sama aku dan papa selalu sabar menghadapi aku yang jiwanya masih labil banget,” lanjut Anye sambil berurai air mata.
Ungke menghapus air mata Anye dengan jarinya.
“Ya sudah, belum ada kata terlambat untuk kamu memperbaiki hubungan sama papa kamu yang baiknya seperti malaikat itu,” kata Ungke seraya memegang pipi Anye dengan kedua tangannya.
Hati Anye sungguh merasa sejuk sekali mendapat semua nasihat –nasihat yang baik dari Ungke dan mampu menggetarkan setiap sudut hatinya sehingga jadi lebih terbuka hati dan pikirannya untuk mau memperbaiki hubungannya dengan papanya.
Ungke terkejut karena tiba-tiba saja Anye memeluknya.
“Ungke, makasih ya kamu udah nyadarin aku karena kalau enggak, mungkin aku akan jadi anak durhaka selamanya seperti Malin Kundang.”
“Iya,” sahut Ungke pendek seraya tersenyum senang karena baru kali ini ia berpelukkan dengan Anye.
Usai puas memeluk Ungke, Anye melepaskan pelukkannya. Senang sekali rasanya, ia jadi punya alasan yang logis setidaknya dipikiran Ungke untuk memeluknya. Jadi, Ungke tidak akan berpikir macam-macam padanya. Karena rasanya malu sekali kalau ketahuan ia diam-diam menyukai Ungke tapi ternyata Ungke hanya menganggapnya sahabat seperti yang tadi Ungke bilang pada Pak Bambang.
“Kamu tahu nggak sih…kalau kita melihat pemandangan laut lepas maka perasaan kita bisa tenang dan bisa lupa segala masalah dan urusan. Dari laut pula bisa muncul inspirasi baru,” kata Ungke lagi.
“Oh ya? Kalau gitu aku mau ngelakuin apa yang kamu katakan barusan.” Anye memandangi laut lepas dan pulau-pulau yang ada disekelilingnya. Anye mencoba mendapatkan ketenangan hati seperti apa yang tadi dikatakan Ungke padanya dan melupakan semua hal-hal negatif tentang papanya bila perlu membuangnya sekalian mumpung lagi ada di laut.
Begitu sampai di sebuah pulau wisata yang ada di kawasan pulau seribu, Anye, Ungke, Pak Yusuf dan Pak Bambang langsung disambut oleh pengelola wisata di pulau tersebut. Kalungan bunga melingkar dileher mereka serta mereka juga langsung disuguhkan minuman manis dan segar serta makanan ringan. Anye dan Ungke hanya duduk sebentar saja karena Ungke mengajak Anye pergi untuk melihat sekeliling pulau wisata yang memiliki pesona yang indah. Sedangkan Pak Yusuf dan Pak Bambang duduk bersantai-santai dulu di restoran.
Anye dan Ungke berjalan-jalan di pantai. Anye sangat takjub melihat keindahan pantai yang ada di pulau wisata yang belum banyak pengunjungnya.
“Ya ampun… pantainya bersih banget. Air lautnya juga jernih banget,” kata Anye di pinggir pantai.
Tiba-tiba saja Anye iseng mencipratkan airnya ke Ungke.
“Ih…kamu iseng banget sih. Awas ya aku balas.” Ungke balas mencipratkan air ke Anye.
Anye berlari menghindarinya dan Ungke mengejarnya. Ungke berhasil menangkapnya. Lantaran Anye berontak, mereka berduapun jadi sama-sama terjatuh ke pasir pantai yang putih dan lembut. Badan Anye menindih badan Ungke yang berada di bawahnya. Mata Anye dan Ungke saling beradu cukup lama. Jantung mereka berdua sama-sama berdetak kencang.
“Ungke kita naik banana boat yuk,” kata Anye yang buru-buru bangun. Anye tak ingin berlama-lama hanyut dalam situasi yang amat sangat mendebarkan hatinya itu.
“Oh…ayo.” Ungke juga cepat-cepat bangun.
Baik Anye dan Ungke jadi sama-sama salah tingkah usai kejadian itu.
“Kok jantung gue berdetak kencang kayak waktu gue jatuh cinta sama Lisa pada pandangan pertama ya? Apakah ini yang namanya jatuh cinta lagi? Tapi…ah mana mungkin. Anye kan sahabat gue. Lagian juga Anye udah punya Darlen dan gue juga udah punya Lisa. Kalau seandainya gue emang beneran suka sama Anye berarti gue selingkuh dong,” gumam Ungke dalam hatinya.
“Hei kok bengong sih?” Anye menepuk pundak Ungke. “Kita jadi naik banana boat, kan?”
Saat Ungke sadar dari lamunannya ternyata ia sudah berada di depan banana boat. Ia juga melihat Anye sudah memakai life jacketsnya.
“Ya jadi dong. Kan seru naik banana boat.”
“Ya udah nih life jackets kamu. Buruan pakai.”
Ungke memakai life jacketnya yang diberikan Anye kepadanya. Mereka berdua pun mulai naik banana boat. Anye duduk di belakang Ungke. Baik di depan Ungke dan di belakang Anye ada guards yang akan menjaga keselamatan mereka. Anye dan Ungke langsung berteriak seru ketika boat sudah mulai melaju kencang menarik banana boat mereka dan saat di tengah-tengah lautan, banana boat mereka sengaja dijatuhkan sehingga Anye dan Ungke jadi basah kuyup. Mereka tak perlu khawatir tenggelam karena mereka telah memakai life jackets sehingga badan mereka mengapung. Mereka berdua dibantu naik ke banana boat oleh dua guards yang ikut bersama mereka dan mereka kembali bermain lagi tapi dijatuhkan lagi. Buat Anye sangat mengasyikan sekali bisa liburan seperti ini karena papanya sudah jarang mengajaknya liburan sejak mama dan kakaknya meninggal.
Usai naik banana boat, Ungke mengajak Anye untuk diving tapi karena Anye tak bisa diving akhirnya Ungke mengajak Anye untuk snorkeling karena kebetulan Anye bisa berenang.
Anye sungguh takjub melihat pemandangan yang begitu indah di bawah laut. Di bawah sana ada aneka biota laut yang dilihatnya dengan kepala matanya sendiri karena selama ini ia hanya bisa melihatnya di tv. Saking keasyikan melihat keindahan bawah laut, tak terasa mereka sudah bersnorkeling sampai 3 jam lamanya. Mereka memutuskan untuk selesai bersnorkeling karena perut mereka sudah keroncongan. Sejak tadi mereka memang belum makan siang dan mereka telah telat 2 jam.
“Ya ampun Ungke, tadi tuh bagus banget pemandangan bawah lautnya,” komentar Anye saat sudah di daratan. “Kamu sering snorkeling di sini?”
“Kalau snorkeling sih aku sering tapi tempatnya pindah-pindah. Aku juga suka diving di kawasan pulau seribu dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.”
“Oh ya? Asyik banget sih kamu bisa diving.”
“Ya…makanya belajar dong mulai sekarang. Kan asyik loh kalau kita bisa diving. Kita akan tahu kalau laut Indonesia tuh cantiiiiiiikkkk… banget.”
“Iya deh… kapan-kapan aku akan belajar diving.”
“Nah gitu dong. Nanti kalau kamu udah jago, kita diving bareng di Raja Ampat, yuk. Kata orang sih keren banget pemandangan bawah lautnya.”
“Kok jauh banget divingnya?”
“Ya… kan biar seru. Kalau kita ke Papua maka kita akan jadi tahu kalau Indonesia itu luaaaaaaasssssss… banget.”
“Oke deh.”
◊◊◊
Ketika mereka bersiap-siap ingin pulang, cuaca tiba-tiba saja berubah jadi gelap. Di luar sana hujan deras dengan kilat-kilat menyambar dan angin bertiup sangat kencang menyebabkan gelombang tinggi di laut. Sungguh amat mencekam suasana di luar sana. Padahal saat mereka berangkat cuaca masih sangat cerah. Hati Anye sungguh khawatir, ia benar-benar takut tidak akan bisa pulang sekarang kalau cuaca di luar sana sangat buruk.
“Cuaca sangat buruk sekali di luar dan sepertinya kita tidak akan bisa pulang sekarang,” kata Pak Yusuf yang baru datang bersama Pak Bambang seusai memantau situasi di laut memberi tahu pada Anye dan Ungke.
“Apa!” Teriak Anye terkejut. Kekhawatirannya ternyata terjadi juga. “Jadi kita nggak bisa pulang sekarang karena cuaca buruk?”
“Iya, kita harus nunggu sampai cuaca reda,” sahut Pak Bambang menimpali.
“Tapi aku harus segera balik. Kalau nungguin sampai cuaca reda trus sampai kapan kita nunggu dan pulang?” Suara Anye panik menatap Ungke.
“Aku akan sewa kamar untuk menginap kalau misalnya sampai malam belum juga reda cuacanya,” kata Ungke berusaha menenangkan Anye.
“Nggak!” Tolak Anye keras. “Aku nggak mau menginap di sini. Aku nggak peduli walaupun udah malam. Pokoknya aku harus pulang. Aku bisa gila kalau aku di sini terus sementara di sana ada orang yang lagi nunggu aku untuk datang. Kamu bisa ngerti nggak sih perasaan aku?” cerita Anye hampir mau menangis.
“Darlen?” Ungke langsung menebak. “Emangnya kamu lagi ada janji sama dia?”
“Iya dan aku mau pulang sekarang karena hari ini bandnya tampil di festival dan aku…” Anye mulai menangis. Anye sudah tak sanggup lagi menahannya. “Aku sudah janji sama dia untuk datang,” lanjut Anye parau.
“Maafin aku, ya. Kalau saja aku tahu dari awal aku tak akan mengajakmu ke sini,” kata Ungke jadi merasa tak enak hati melihat Anye menangis.
Sementara di sana, Darlen gelisah menantinya.
“Mengapa sampai jam segini Anye belum juga datang?” Tanya Darlen yang gelisah seraya memandangi terus jam tangannya. “Bukankah ia sudah berjanji padaku akan datang menyaksikan penampilan bandku, Cartenz di panggung.”
“Darlen, ayo kita naik ke atas panggung,” kata Shalu memberitahu.
“Panitia lomba sudah memanggil band kita,” kata Robin menimpali.
Teman-temannya resah karena Darlen belum juga meresponnya. Darlen masih duduk gelisah dan berusaha keras untuk berpikir jernih dalam suasana sulit seperti ini.
“Ya udah, yuk kita naik ke atas panggung,” sahut Darlen akhirnya. Darlen tak ingin mengecewakan teman-temannya yang sudah berlatih dengan giat demi festival ini. Jadi, Darlen harus bersikap profesional dan mengenyampingkan ego pribadinya.
Di atas panggung, Darlen tetap menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan seraya membayangkan Anye juga hadir di bawah sana di antara ribuan penonton anak-anak sekolahan.
Setelah menunggu 7 jam lamanya, akhirnya cuaca mulai reda. Tak ada lagi kilat-kilat menyambar. Gelombang laut mulai normal karena angin tak lagi bertiup kencang.
“Anye sudah jam 10 malam sekarang. Apakah kau masih tetap ingin pulang?” Tanya Ungke hati-hati guna menjaga perasaan Anye yang masih bersedih.
Anye mengangguk sedih karena percuma saja ia pulang. Toh festival itu pasti sudah berakhir.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺


















MAAFIN AKU, DARLEN

Anye mencari-cari Darlen ke mana-mana. Anye tak melihat Darlen ada diruangan pribadinya, di ruang seni juga tidak ada hingga Anye memutuskan untuk mencari Darlen di studio musik.
Anye melihat Darlen sedang bermain biola. Anye duduk menunggu sampai Darlen selesai, baru ia akan bicara pada Darlen. Darlen sama sekali tak terusik dengan kehadiran Anye di studio. Darlen tetap melanjutkannya hingga selesai.
“Darlen, maaf ya karena aku tidak datang melihatmu tampil di festival itu,” kata Anye langsung ketika Darlen sudah selesai bermain biola. Anye merasa sungguh tak enak padanya.
Darlen tak menyahutnya. Darlen hanya diam terus menatap Anye seperti meminta sebuah alasan mengapa tak datang.
“Aku hari minggu kemarin ke pulau Seribu. Karena cuaca buruk, aku jadinya harus menunggu untuk pulang.”
“Sudah tahu cuaca buruk kenapa tetap berangkat juga?”
“Waktu kami berangkat cuacanya masih cerah tapi ketika sore datang, cuacanya buruk.”
“Kami?” Tanya Darlen seperti ingin tahu dengan siapa Anye pergi.
“Aku…”
“Siapa?” Desak Darlen tak sabaran karena Anye terlalu lama menggantung jawabannya.
“Ungke.”
Darlen langsung bangkit dari duduknya. Ia seperti tak suka mendengar nama itu. Namun, Anye menahannya dengan memeluk Darlen dari belakang.
“Aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf. Aku tahu aku salah sudah melanggar janjiku padamu tapi aku mohon jangan marah dan maafin aku,” suara Anye terisak.
Hati Darlen yang tadinya keras berubah lembut. Darlen sungguh tak tega melihat Anye harus meminta maaf dengan cara menangis seperti itu. Baginya itu sudah menunjukkan kalau Anye benar-benar merasa bersalah dan mau minta maaf secara sungguh-sungguh.
“Ya, sudahlah.” Darlen melepaskan tangan Anye dan berpaling menghadap Anye. “Nggak apa-apa kok kamu nggak datang, lagipula aku kan udah pernah menyanyikan lagu itu ke kamu di rumah,” kata Darlen seraya menghapus air mata Anye.
“Makasih ya. Kamu baik sekali udah mau maafin aku,” kata Anye seraya kembali memeluk Darlen. Anye sungguh lega Darlen mau memaafkannya.
“I love you,” bisik Darlen ditelinga Anye seraya mencium lembut pipi kiri Anye. Sementara Anye hanya diam saja tak menyahutnya.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺










MAKAN MALAM

Malam ini Anye diajak papanya untuk ikut menghadiri undangan makan malam oleh Pak Wisnu yaitu atasan papanya di sebuah hotel berbintang lima yang juga termasuk bagian dari grup perusahaannya. Namun, Pak Wisnu tidak ikut mengelola bisnis di hotel ini melainkan istrinyalah yaitu Bu Sarah yang mengelola secara langsung bisnis di hotel berbintang lima ini.
Anye telah bertekad untuk memperbaiki hubungannya dengan papanya. Toh bukankah papanya bekerja siang malam, itu semua untuk dirinya juga. Anye tak peduli lagi papanya sibuk bekerja karena sesungguhnya papanya juga selalu berusaha meluangkan waktu terbaik untuknya seperti tak pernah absen dalam mengambil rapornya bahkan sampai harus rela menjadwal ulang pertemuan penting dengan relasi perusahaannya agar tetap bisa mengambilkan rapor untuknya. Buat Anye yang terpenting sekarang adalah hidup saling menjaga dan memelihara satu sama lain apalagi saat ini ia hanya tinggal berdua dengan papanya. Jadi ketika papanya berniat mengajaknya untuk makan malam bersama Pak Wisnu, Anye langsung mengangguk semangat padahal sebelumnya Anye selalu malas bila diajak pergi makan malam atau main golf bersama bos papanya atau relasi bisnis perusahaannya. Meskipun demikian Anye tetap saja menyesal karena dulu ia tidak ikut dalam acara ceremony pengangkatan papanya menjadi Direktur Cabang perusahaan yang baru padahal moment itu penting banget untuk papanya. Anye inget dulu ada sedikit raut wajah kecewa yang ditangkapnya dari wajah papanya ketika ia menolak ajakan papanya untuk ikut dalam ceremony penting itu.
Begitu masuk hotel, Anye terkejut ternyata ada Ungke juga di sana sedang menunggu di lobi. Kedua orangtua Ungke menyambut kedatangan Anye dan papanya. Mereka saling bersalaman secara formal dan menanyakan keadaan masing-masing.
“Kamu diundang juga?” Tanya Anye setelah duduk di sebelah Ungke.
“Iya. Papa aku kan rekan bisnisnya Pak Wisnu. Aku juga kaget kamu diundang juga ke sini.”
“Iya. Papa diundang makan malam sama bosnya.”
“Oh…jadi papa kamu tuh kerja di perusahaannya Pak Wisnu.”
“Iya sebagai Direktur Cabang Perusahaan.”
Tak ada lagi bincang-bincang antara Anye dan Ungke karena kemudian Ungke tampak sibuk berSMS. Disaat itupula Anye diam-diam memandangi Ungke yang tampak tampan dan gagah dengan jas hitam dan dasi berwarna merah hati. Sisiran rambutnya yang rapi dan tampak basah karena memakai gel rambut seakan telah menyempurnakan ketampanannya. Belum lagi aroma tubuhnya yang wangi semerbak menerpa hidung Anye yang nyaman mencium aroma wanginya.
“Ya Tuhan… Ungke tampan sekali. Aku ingin sekali bisa berdansa dengannya,” pinta Anye dalam hati seraya menikmati ketampanan wajah Ungke.
“Nah…Anye, itu dia Pak Wisnu dan keluarganya sudah datang,” suara papanya memberitahu seraya menunjuk. Papanya telah membuyarkan pandangan indahnya yang yang tak pernah berkedip melihat Ungke. Baik papanya maupun kedua orangtua Ungke langsung menghampiri Pak Wisnu dan keluarganya.
Anye sungguh terkejut melihat Darlen yang juga datang bersama Pak Wisnu.
“Ungke, itu kan Darlen.”
“Emangnya kamu belum tahu ya kalau Darlen itu adalah anak dari bos papa kamu?”
“Jadi, kamu udah tahu kalau Darlen itu adalah anak dari bos papa aku.”
“Aku juga barusan tadi tahunya pas kamu bilang papa kamu kerja di perusahaannya Pak Wisnu. Kalau Pak Wisnu dan Bu Sarah sih aku udah kenal, soalnya keluarga aku dan keluarganya Darlen suka saling mengajak makan malam dalam rangka mempererat jalinan bisnis. Tapi aneh ya kok kamu bisa nggak kenal sama Pak Wisnu dan Bu Sarah?”
“Iya, soalnya aku kan dulu nggak ikut waktu acara ceremony pengangkatan papa sebagai Direktur Cabang Perusahaan.”
“Oh…pantesan nggak kenal.”
Anye dan Ungke pergi menghampiri Pak Wisnu dan keluarganya karena mereka dipanggil oleh orangtuanya masing-masing.
“Sayang, mungkin kalau Ungke kamu sudah mengenalnya, jadi mama kenalin kamu ke putrinya Pak Erlangga saja ya,” kata Bu Sarah pada Darlen.
“Kita bertiga udah saling kenal kok, Tante. Aku, Anye, dan Darlen satu sekolah,” kata Ungke menimpali.
“Oh ya? Bagus dong. Berarti kalian bertiga semua berteman akrab.”
“Anye pacar aku, ma,” kata Darlen seraya berdiri di samping Anye dan memegang tangannya.
Pak Erlangga terkejut menatap Anye soalnya Anye tak pernah cerita kalau ia sudah punya pacar. Keterkejutan yang sama juga diperlihatkan jelas dari wajah Bu Sarah.
“Oh…jadi sekarang Anye adalah pacar baru kamu.” Bu Sarah langsung meremas jemari Anye seraya menatapnya dengan tatapan hangat, “kamu cantik sekali, Anye. Saya senang sekali kamu jadi pacar anak saya. Bagaimana Pak Erlangga, apa Bapak setuju anak kita saling berpacaran?”
“Saya sebagai orangtua mendukung siapapun pilihan putri saya karena kan dia yang menjalaninya. Dia sudah besar dan dia sudah tahu mana yang terbaik dan mana yang tidak,” sahut Pak Erlangga.
“Papa dan kakak bagaimana?” Tanya Bu Sarah pada suaminya dan putra sulungnya.
“Papa setuju, ma. Apalagi ternyata Anye adalah putrinya Pak Erlangga yang sudah papa kenal baik.”
“Kalau emang adenya suka, Yudha sih nggak masalah, ma,” sahut kakaknya Darlen.
“Sepertinya semua undangan sudah pada kumpul. Jadi, bagaimana kalau kita langsung saja ke tempat perjamuan,” kata Bu Sarah.
“Tunggu dulu Tante,” sergah Ungke cepat. “Masih ada satu orang lagi yang belum datang.”
“Oh ya siapa?” Tanya Bu Sarah.
Ungke lega begitu melihat seseorang yang ditunggu olehnya datang tepat pada waktunya. “Itu dia orangnya.”
“Lisa,” desis Bu Sarah sangat terkejut.
Anye juga terkejut. “Ternyata mamanya Darlen mengenal Lisa juga,” gumam Anye dalam hati.
“Perkenalkan Tante, ini Lisa pacar aku,” Ungke memperkenalkan Lisa dengan sangat percaya diri.
“Selamat malam, Tante,” sapa Lisa rada kikuk.
“Malam,” balas Bu Sarah seraya tersenyum dikulum. “Ya sudah, ayo kita langsung saja ke…”
“Tante, sebentar,” potong Anye cepat. “Maaf Tante, aku sebentar mau ke toilet dulu.”
“Ya sudah, silahkan. Kami tunggu kamu dulu di sini baru kita jalan sama-sama.”
“Terimakasih Tante, permisi.”
Anye berjalan terburu-buru ke toilet. Ia merasa tak enak kalau mereka harus menunggunya lama. Untunglah setibanya ditoilet, toiletnya sepi. Setelah beberapa saat di dalam akhirnya iapun segera keluar dan dalam perjalanannya untuk kembali, Anye tak sengaja melihat Pak Wisnu dan Bu Sarah seperti hendak berbicara sesuatu yang amat sangat rahasia di sudut tembok yang tersembunyi dan sepi. Anyepun berusaha menyembunyikan dirinya dibalik tembok.
“Mama ngapain bawa papa ke sini?”
“Papa merasa aneh nggak sih? Kenapa sekarang Lisa jadi pacarnya Ungke?”
“Ya itu kan berarti anak kita sudah putus dari Lisa, ma.”
“Iya. Tapi mama merasa seperti ada hubungan yang tak baik antara anak kita dengan Ungke. Coba saja lihat tadi, sepengetahuan kita kan Lisa itu pacarnya Darlen tapi sekarang kok udah jadi pacarnya Ungke. Darlen putusnya kapan aja mama nggak tahu. Mama curiga, jangan-jangan Ungke merebut Lisa dari Darlen.”
“Sudahlah, ma, yang penting kan sekarang Darlen sudah punya pacar baru yang sudah kita kenal baik keluarganya.”
“Iya, papa benar. Semoga saja hubungan Darlen dengan Anye itu langgeng.”
“Gimana, apa mama sudah selesai bicaranya? Kalau sudah, ayo cepetan kita balik. Kasihan mereka sudah menunggu kita.”
Anye sungguh terkejut mendengar semua informasi yang baru saja ia dengar dan segudang pertanyaan pun menggelayuti pikirannya, “jadi, Lisa itu dulu pacarnya Darlen. Apa benar hubungan Darlen dan Ungke itu tidak baik? Apakah hubungan tak baik mereka itu karena ada kaitannya dengan Lisa? Pantes saja Ungke dulu membuang kertas-kertas bergambar punyaku setelah ia tahu itu dari Darlen. Jadi, itu karena mereka tuh emang musuhan.”
Saat jamuan makan malam, Ungke duduk berdampingan dengan Lisa sedangkan Anye duduk berdampingan dengan Darlen tepat dihadapan mereka berdua.
“Ungke, kamu makan stik punyaku saja,” Lisa memberikan stiknya yang sudah ia potong-potong. Sikap mesra yang ditunjukkan Lisa itu tentu saja mengundang perhatian Anye dan Darlen yang duduk tepat di hadapan mereka. Bu Sarah yang juga ikut memperhatikannya, mencemaskan kondisi psikologis Darlen. Bu Sarah khawatir Darlen akan sedih, marah dan cemburu tapi setelah diamatinya baik-baik, Darlen ternyata baik-baik saja sehingga iapun merasa sangat lega.
Darlen merasakan seperti ada tatapan cemburu dan sedih dalam tatapan mata Anye. Pandangan Anye tak pernah lepas dari 2 objek yang ada di depan matanya. Tangannya memegang pisau dan garpu tapi tubuhnya diam mematung. Tak sedikitpun kedua tangannya di gerakkan untuk memotong stiknya.
“Anye, kita dansa yuk,” Darlen menyela pandangan Anye. Dia seperti mencoba mengembalikan roh Anye yang sempat hilang sesaat.
“Apa?” Anye terkesiap.
“Ayo kita dansa, sayang. Kamu bisa, kan?” Ulang Darlen lembut seraya mengulurkan tangan kirinya.
Sejenak Anye kembali menatap Ungke. “Bukankah aku seharusnya berdansa dengan Ungke? Tapi aku sungguh tak menyangka kalau pada acara makan malam ini ternyata ada Darlen dan Lisa juga. Seandainya saja tak ada mereka berdua mungkin khayalanku berdansa dengan Ungke bisa terwujud,” gumam Anye dalam hatinya sedih. Karena Anye tak ingin mengecewakan Darlen akhirnya Anye mengangguk dan menyambut uluran tangannya.
Mereka berdua berjalan menuju lantai dansa yang ada di depan meja makan. Darlen meletakkan tangannya dipinggang Anye sedangkan Anye meletakkan tangannya di pundak Darlen. Mereka berdansa mengikuti iringan musik.
Ada rasa haru dan bahagia di hati Bu Sarah melihat putranya berdansa dengan gadis tambatan hatinya, terlebih-lebih ia sudah mengenal baik siapa orangtua gadis itu yaitu Pak Erlangga yang merupakan orang kepercayaan yang bekerja di grup perusahaan keluarganya.
“Mereka memang sungguh pasangan yang serasi ya, Pak Erlangga.”
“Iya Bu, saya rasa juga begitu.”
Ungke sungguh kecewa dengan pernyataan Pak Erlangga yang barusan didengarnya. Padahal ia berusaha keras untuk mengontrol dirinya yang memang tidak suka melihat Anye dan Darlen berdansa di depan matanya. “Gue harus bisa mengontrol diri gue. Gue nggak ingin Lisa curiga dan marah lagi sama gue,” gumamnya dalam hati pahit.
“Darlen, apa benar Lisa dulu adalah pacarmu?”
“Iya, benar. Kau tahu…tadinya kupikir Lisa lah gadis yang ada dalam mimpiku karena dia berambut coklat dan panjang bergelombang, tapi ternyata bukan. Aku tetap saja bermimpi tentang seorang gadis yang sama dalam setiap mimpiku padahal aku sudah berpacaran dengan Lisa. Tapi, setelah aku menemukanmu, aku tak pernah lagi bermimpi tentang gadis itu. Kau pasti sudah melihat lukisanku yang terpasang didinding kamarku, kan?”
“Ya,” Anye mengangguk.
“Kau tahu…itu adalah kau. Aku sengaja mengajakmu ke kamarku karena aku ingin menunjukkan lukisan itu padamu.”
Anye tak begitu terkejut mendengarnya karena sebelumnya ia sudah tahu dari Bu Ronyta.
“Anye, apakah kau mencintaiku sepenuh hatimu?”
Anye terdiam. Sulit untuknya mengatakan sesuatu tentang perasaannya terhadap Darlen setelah suasana hatinya dibuat kacau oleh kemesraan yang dipertontonkan Lisa di depan matanya tadi.
“Kau tahu…aku tidak bisa marah padamu meskipun kau sudah melanggar janjimu, karena aku sangat mencintaimu,” ucap Darlen dengan tatapan mata sungguh-sungguh lalu mengecup kening Anye hingga semua pasang mata melihatnya. Darlen semakin erat memeluk Anye. “Aku tak ingin kehilanganmu. Aku takkan pernah mau melepaskanmu.”
Ungke tak bisa mendengar semua pembicaraan antara Anye dan Darlen di lantai dansa karena jarak lantai dansa dari meja makan cukup jauh, belum lagi pembicaraan mereka juga terhalang oleh suara alunan musik. Ungke hanya bisa melihat Darlen yang mengecup mesra kening Anye lalu memeluknya erat. Selebihnya, ia diam seperti orang tak bernyawa.
Tiba-tiba saja suara tepukkan tangan menyadarkan Ungke dari lamunannya. Iapun juga ikutan bertepuk tangan saat Anye dan Darlen telah selesai berdansa.
“Anye, kamu makan stik punyaku saja ya,” kini gantian Darlen yang beraksi memberikan stik yang sudah dipotong-potongnya pada Anye.
“Makasih ya,” ucap Anye merasa senang karena Darlen telah membantunya membalas rasa cemburunya.
Anye memakan stiknya pada potongan daging pertama lalu pada potongan daging yang kedua, ia menyuapkannya pada Darlen.
Darlen tahu kalau Anye sengaja melakukan itu untuk membalas rasa cemburunya pada kemesraan yang dipertontonkan Lisa dan Ungke.
“Biarlah waktu yang membuatmu benar-benar jatuh cinta kepadaku,” gumam Darlen dalam hati seraya gantian menyuapkan potongan stiknya pada Anye.
Baik Anye dan Ungke sama-sama merasa lega karena akhirnya acara makan malamnya selesai juga setelah satu jam lebih berlangsung. Pak Erlangga pulang sendirian dengan mobilnya karena Anye pulang diantar oleh Darlen. Darlen memang datang dengan mobil terpisah dari orangtuanya. Darlen menggunakan mobil birunya yang biasa ia pakai ke sekolah.
Sedangkan Ungke pulang bersama orangtuanya dalam satu mobil dan Lisa juga pulang dengan menumpang mobil orangtuanya Ungke. Papanya Ungke menyetir mobilnya sendiri tanpa sopir di depan sedangkan mamanya duduk di samping papanya. Ungke dan Lisa duduk di belakang. Sepanjang perjalanan menuju rumah Lisa, Lisa banyak bercakap-cakap dengan orangtua Ungke. Lisa banyak bercerita tentang keluarganya di Amerika sedangkan orangtuanya Ungke banyak bercerita tentang masa kecilnya Ungke. Saking asyiknya mengobrol hingga jauhnya rumah Lisa pun jadi tak terasa, mobil sudah sampai di halaman rumah Lisa. Ungke keluar mengantar Lisa hingga di depan pintu rumahnya. Sedangkan orangtuanya menunggu di mobil.
“Lisa, terimakasih ya kamu udah mau datang. Aku senang banget kamu datang.”
“Tadinya aku juga males banget datang, tapi karena Grandma aku yang yang membujuknya jadinya… ya aku mau datang.”
“Aku pamit ya. Bye.”
“Ungke,” Lisa menahan lengan Ungke. “Kamu tahu mengapa aku mudah memaafkanmu padahal aku adalah orang yang sangat keras hatinya?”
Ungke diam tak tahu.
“This is because I love you a lot. So, please don’t you ever to let me down. Will you promise?”
“Aku…,” Ungke tak tahu harus berkata apa pada Lisa. Sementara suasana hatinya masih berkecamuk dalam kebingungan mengenai perasaannya terhadap Anye. Saat ini Ungke merasa cintanya pada Lisa terganggu oleh semakin dekatnya hubungan antara Anye dengan Darlen. Ia memang mendapatkan Lisa tetapi ia telah kehilangan Anye. Dan ini seperti sebuah kutukan buatnya. Ia merebut Lisa dari Darlen dan Darlen seakan membalasnya dengan merebut Anye darinya. Ini seperti balasan yang setimpal untuknya.
“Don’t worry, I will keep my promise. You know that,” sahut Ungke akhirnya.
Lisa tersenyum tapi bukan senyum manis apalagi bahagia, melainkan kecut lantaran jawaban Ungke yang ditunggunya terlalu lama dan juga nada bicaranya yang tidak begitu meyakinkan seperti tidak bersungguh-sungguh mengatakannya. Lisa sadar betul, memang sejak acara makan malam tadi hingga dalam perjalanan pulang, Ungke tidak begitu bersemangat. Ungke bersikap tidak seperti biasanya yang selalu hangat dalam bercerita dan antusias mendengarkan ceritanya, Ungke lebih banyak diam dan kalaupun harus tersenyum atau tertawa, itu jadi terlihat seperti dipaksakan.
“Apa aku sudah boleh pulang sekarang?” Tanya Ungke seperti meminta lengannya untuk dilepaskan.
Lisa terhenyak. Perlahan Lisa melepaskan lengan Ungke lalu melambaikan tangannya pada Ungke dan kedua orangtuanya Ungke hingga mobil mereka menghilang dari pandangannya.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺









SHOOT OUT

Dalam rangka memeriahkan ulang tahun sekolah maka sekolah mengadakan berbagai macam lomba olahraga dan kreasi dari para siswanya mulai dari kelas satu sampai kelas tiga. Namun, lomba yang sangat ditunggu-tunggu oleh siswa-siswi di sekolah ELITE adalah kontes Shoot Out dan lomba basket antar kelas. Untuk kontes Shoot Out, masing-masing kelas hanya boleh diwakili oleh satu siswa saja. Siapa yang dianggap paling jago memasukkan bola basket ke dalam keranjang maka dialah yang yang akan dipilih oleh teman-teman sekelasnya untuk mewakili kelasnya.
Ada 15 bola basket yang disediakan oleh panitia yang akan dibagi rata disetiap 3 sudut yaitu disudut kanan keranjang ada 5 bola basket, di depan keranjang ada 5 bola basket, dan di sudut kiri keranjang ada 5 bola basket. Semua bola basket itu harus dimasukkan oleh setiap kontestan dalam waktu 60 detik dari luar garis three point. Siapa yang memasukkan bola basket paling banyak dalam waktu tercepat maka dialah yang akan jadi pemenangnya. Kontes Shoot Out ini diikuti oleh 10 siswa dari kelas satu, 10 siswa dari kelas dua, dan 10 siswa dari kelas tiga. Dari 30 kontestan yang ikut, Ungke merupakan salah satunya dan ia mewakili kelas III IPA 1.
“Darlen di mana ya? Kira-kira dia ikut kontes Shoot Out ini nggak ya?” Anye bertanya sendirian.
“Hei. Kok bengong sih,” Dive menepuk pundak Anye.
“Ah…Dive! Kok baru datang sih? Kamu ke mana aja?”
“Maaf, tadi aku lihat-lihat kreasi yang dibuat oleh semua peserta lomba dan ternyata kreasi mereka tuh keren-keren banget. Oh iya kamu lagi mikirin apa sih? Jangan bengong dong apalagi kata anak-anak sebentar lagi Ungke akan tampil mewakili kelas kita makanya aku buru-buru ke sini.”
“Eh….tuh lihat! Ungke udah masuk lapangan. Ayo teman-teman kita teriak yang keras buat mendukung Ungke, mantan juara tahun lalu!” Seru Enru kepada semua siswa kelas III IPA 1 yang menonton bersama dari bangku penonton.
“Oh ya? Berarti Ungke hebat dong!” Suara Anye kagum.
“Ya iyalah,” Dive menimpali kekaguman Anye.
Ungke mengenakan kaos basket berwarna kuning. Teman-teman sekelasnya menepukinya dengan riuh saat namanya dipanggil dan diperkenalkan sebagai juara kontes Shoot Out tahun lalu.
“Ayo Ungke, harumkan nama kelas III IPA 1 dengan jadi juara kontes Shoot Out tahun ini!” Teriak Dive.
“Ungke, kamu pasti bisa jadi juara lagi!” Teriak Anye menyemangati yang ternyata juga dilihat oleh Ungke. Anye merasa senang karena dia tidak dalam deretan bangku yang sama dengan Lisa dalam mendukung Ungke sebab Lisa harus duduk terpisah di barisan bangku penonton kelasnya, III IPS 2.
Anak-anak kelas III IPA 1 bersorak gembira karena Ungke berhasil memasukkan 5 bola pada sudut kanan keranjang, namun mereka sempat tegang saat Ungke gagal memasukkan 2 bola dari depan keranjang tetapi berhasil melesakkan 3 bola ke keranjang. Mereka kembali kecewa melihat Ungke lagi-lagi gagal memasukkan 3 lemparan secara berturut-turut disudut kiri keranjang. Tapi syukurlah karena disisa 2 lemparan Ungke berhasil memasukkannya ke dalam keranjang. Total lemparan bola yang berhasil dimasukkan oleh Ungke adalah 10 bola dengan waktu 47 detik.
“Wow! Record yang fantastis! Jumlah yang sama seperti tahun lalu hanya saja catatan waktunya lebih baik. Kalau dulu 10 bola dengan waktu 50 detik tapi sekarang 10 bola dengan waktu 47 detik! Hebat! Saat ini Ungke telah mengungguli catatan waktu dari kontestan-kontestan yang sebelumnya!” Seru sang pembawa acara, Pak Binton, guru olahraga.
“Ungke pasti juara. Soalnya hanya tinggal kelas III IPA yang belum tampil, yaitu III IPA 2, III IPA 3 dan III IPA 4,” kata Dive yakin terlebih-lebih 2 kontestan yang berikutnya gagal melampau hasil yang diperoleh Ungke. Ternyata bukan Dive saja yang yakin tapi juga semua siswa kelas III IPA 1 merasa yakin Ungke akan jadi juara kontes Shoot Out tahun ini. Mereka semua berteriak mengelu-elukan nama Ungke tiada henti-hentinya. Namun, ketika Pak Binton menyebutkan nama kontestan terakhir dari kelas III IPA 4, serentak semua siswa yang ada di aula terdiam.
“Darlen,” Anye terkejut melihat Darlen yang ternyata ikut juga dalam kontes Shoot Out mewakili kelasnya, III IPA 4. “Darlen nggak pernah bilang ke aku kalau dia akan ikut kontes ini,” lanjut Anye berbicara pada Dive.
“Wah gawat nih,” suara Dive rada pesismis.
“Gawat? Emangnya Darlen jago basket?” Tanye Anye.
“Iya. Dia tahun lalu memang nggak ikut tapi saat lomba pertandingan basket antar kelas, dia ikut. Difinal, kelasnya menang dan dia jadi MVPnya.”
“Oh ya? Darlen nggak pernah cerita soal itu ke aku.”
“Mmmm, namanya aja juga anak pendiam.”
“Kamu salah. Aku rasa bukan karena dia pendiam tapi karena dia tak suka menyombongkan dirinya soal prestasi-prestasi yang pernah diraihnya.”
“Iya deh setuju. Mentang-mentang pacarnya dibelain.”
“Aku nggak membela Darlen. Hanya saja aku berbicara hal yang sebenarnya tentang Darlen.”
Dive tak berkomentar apa-apa lagi. Dia mengalah.
Di lapangan sana, Darlen tampil beda dari kontestan-kontestan sebelumnya yang banyak mengenakan kaos basket dan celana selutut sedangkan Darlen mengenakan jaket olahraga dan celana training panjang dari sebuah merek ternama khusus produk olahraga berwarna putih namun pada garis vertikalnya tetap ada unsur birunya. Semua siswi seakan tidak berkedip melihat ketampanan Darlen di bawah sana.
“Wow!” Itulah yang diteriakkan semua orang saat Darlen berhasil memasukkan 5 bola dari sisi kanan keranjang. Sementara teman-teman sekelas Ungke menahan napas melihat hasil lemparan yang sempurna itu dengan catatan waktu yang ternyata lebih baik dari Ungke.
“Oh no!” Itulah yang diteriakkan semua murid kelas III IPA 1 saat Darlen berhasil memasukkan 5 bola dari depan keranjang namun mereka cukup senang ketika Darlen gagal dalam 2 lemparan pertama dari sudut kiri keranjang dan gagal lagi dilemparan bola ketiga dan keempat. Mereka semua menahan napas saat Darlen melemparkan bola terakhirnya ke keranjang, tentunya mereka berharap lemparan itu gagal namun ternyata…
“Masuk!! 11 bola dengan waktu 45 detik! Wow! Luar biasa! Maka dengan hasil ini Darlen adalah pemenang kontes Shoot Out tahun ini!” Teriak Pak Binton menggema ke seluruh aula.
Anye tak tahu harus bersikap bagaimana menanggappi kemenangan Darlen yang merupakan pacarnya, sedangkan kelasnya adalah III IPA 1 di mana yang ikut kontes Shoot Out itu adalah sahabatnya sendiri. Semua teman sekelasnya sedih Ungke kalah. Sementara di jajaran bangku lain, anak-anak kelas III IPA 4 bersorak gembira menyambut kemenangan Darlen.
Buat Ungke tidak enak rasanya menjadi juara dua apalagi harus berdiri berdampingan dengan sang juara yang merupakan musuh abadinya, Darlen.
“Ungke, selamat ya. Meskipun juara dua tapi kamu kan hanya kalah tipis dari juara satu,” Anye berusaha menghiburnya.
“Kamu pasti senang kan Darlen yang menang,” kata Ungke sinis.
“Apa kamu sekarang lihat diwajahku terlihat senang?” Suara Anye jengkel.
“Sudahlah Ungke,” Dive berusaha melerai. “Besok kan masih ada lomba pertandingan basket antar kelas. Dibabak penyisihan kelas, kita akan berhadapan dengan kelas III IPA 4. Bukankah itu saatnya elu membalas kekalahan lu dari Darlen.”
“Iya, lu benar. Gue akan menyisihkan kelasnya lebih awal dan kelas kitalah yang akan jadi juaranya,” kata Ungke berapi-api.
Anye mengambil ponselnya yang berbunyi dari saku seragamnya. Ia membaca isi SMS dari Darlen yang ternyata sudah menunggunya di mobil.
“Aku pulang dulu ya,” pamit Anye buru-buru tapi Ungke menahannya pergi.
“Itu pasti dari Darlen,” tebak Ungke sinis seraya memegang kuat tangan Anye.
“Ungke lepasin ah. Sakit tahu!”
Ungke melepaskan tangannya.
“Aku nggak suka kamu berpacaran sama Darlen,” kata Ungke terus terang. Ia tak peduli Dive memperhatikannya.
“Emangnya kenapa aku nggak boleh berpacaran sama Darlen?”
“Karena dia bisa membawa dampak buruk ke kamu dan aku nggak mau kamu ketularan penyakit dia yang aneh itu. Darlen itu…”
“Antisosial. Itu kan maksud kamu?” Potong Anye cepat. “Asal kamu tahu ya, Darlen itu nggak sejelek seperti apa yang kamu pikirkan. Dia memang punya kekurangan tetapi kekurangannya cuma secuil bila dibandingkan dengan kelebihannya. Semua orang tahu bahkan aku rasa kamu sendiri juga pasti sudah tahu kan kalau Darlen adalah anak yang punya banyak bakat dan prestasi?”
Ungke tak menyahut meskipun itu semua benar.
“Seandainya saja kamu mau menyempatkan waktumu untuk mengenal Darlen lebih dekat maka kamu akan tahu bahwa Darlen tidak seperti apa yang selama ini orang pikirkan. Dan satu hal lagi yang ingin aku kasih tahu ke kamu tentang Darlen, kalau lewat musik dan media gambar lah dia bisa mengekspresikan segala perasaannya. Kita juga akan bisa melihat betapa tingginya daya kreativitas dan imajinasinya yang ia buat dalam setiap gambar dan lukisannya. Permisi!”
Anye berjalan terburu-buru menuju tempat parkir dan ketika sampai, ia melihat Darlen sudah menunggunya di dalam mobil.
“Kau seharusnya tadi memberikan aku ucapan selamat,” kata Darlen setelah Anye masuk ke dalam mobilnya.
“Maaf. Kan kau tahu sendiri yang kau kalahkan itu wakil dari kelasku dan Ungke adalah sahabatku sejak kecil.”
“Oh ya? Jadi kalian berdua sangat akrab?”
“Sangat,” sahut Anye pendek.
Darlen melihat Anye tampak kelihatan tidak begitu senang hari ini padahal dirinya baru saja menang dalam kontes itu.
“Sejak kapan kalian mulai bersahabat?”
“Sejak TK, SD, SMP, dan sekarang SMA kita masih terus satu sekolah, satu kelas dan satu bangku, lagi.”
“Oh ya, kok bisa?”
“Sudah jodoh kali,” jawab Anye enteng tanpa memperdulikan perasaan Darlen yang sangat terkejut mendengarnya hingga ia harus berhenti mendadak. Anye sadar kalau ucapannya barusan tidak berkenan dihati Darlen.
“Maaf ya,” kata Anye seraya memegang tangan Darlen. “Aku hanya terlalu letih saja hari ini dan aku benar-benar ingin cepat sampai di rumah. Jadi bicaraku pun rada ngawur. Maaf ya.”
“Nggak apa-apa kok.” Darlen kembali menyetir mobilnya dan dia tak banyak bertanya lagi setelah itu hingga sampai di rumah Anye.
“Apa kamu ikut juga dalam pertandingan basket melawan kelasku, besok?” Tanya Anye sebelum keluar dari mobil.
“Kita lihat saja nanti.”
Anye kecewa Darlen tak mau memberitahunya.
“Ya sudah. Sampai nanti ya.”
“I love you,” Darlen menarik tangan Anye yang hendak keluar mobil.
“I love you, too,” balas Anye berat lalu keluar dari mobil Darlen dengan wajah yang sangat murung padahal seharusnya wajahnya terlihat ceria usai mengatakan I love you. Hal itu membuat Darlen merasakan adanya kejanggalan dan ragu apakah Anye benar-benar mencintainya atau tidak. Darlen sungguh takut akan kehilangan kekasih untuk yang kedua kalinya apalagi bila direbut oleh orang yang sama juga, Ungke.
“Kalau aku memang ikut…” suara Darlen yang mampu menghentikan langkah Anye yang belum jauh dari mobilnya, “kau tidak akan memintaku untuk mengalah dari kelasmu, kan?” lanjutnya ketika Anye sudah berbalik badan ke arahnya.
Anye tak menyahut. Ia hanya menggeleng tidak.
Seusai mengantar Anye pulang, Darlen langsung meluncur ke hall basket untuk latihan bersama teman-teman setimnya yang akan ikut bertanding melawan kelas III IPA 1 besok dalam penyisihan babak awal pertandingan basket antar kelas. Adapun tim kelas III IPA 4 terdiri dari Darlen, Robin, Egan, Shalu, dan David. Tak hanya timnya Darlen saja yang giat berlatih tapi juga tim basket dari kelas III IPA 1 yaitu tim kelasnya Ungke yang terdiri dari Ungke, Dive, Enru, Galuh dan Ronald giat berlatih bahkan mereka berlatih hingga malam demi pertandingan krusial esok.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺

















III IPA 1 VS III IPA 4

Saat Anye hendak menuju Aula basket, Anye berpas-pasan dengan Darlen yang sudah mengenakan kostum basket berwarna biru. Setelah kemarin Darlen tak mau memberitahunya, Anyepun jadi tahu sekarang kalau Darlen juga akan ikut membela tim kelasnya, III IPA 4 melawan tim kelasnya, III IPA 1. Anye tak tahu harus berkata apa pada Darlen yang akan menjadi musuh kelasnya dalam pertandingan penyisihan babak awal bola basket. Anye memang sangat menyayangkan hasil undian yang harus mempertemukan kelasnya dengan kelasnya Darlen dibabak awal penyisihan. Di sisi lain, Darlen amat ingin kata dukungan terucap dari bibir Anye. Namun, sejak tadi Anye hanya diam saja. Darlen mencoba memahami mengapa Anye bersikap demikian dan Darlen mencoba untuk berpikir positif saja. Mungkin karena Anye kelas III IPA 1 makanya Anye lebih memilih mendukung kelasnya sendiri ketimbang dirinya walaupun statusnya adalah kekasihnya sendiri.
Tiba-tiba saja seseorang tak sengaja menabrak Anye hingga gulungan kertas karton putih terlepas dari pegangannya. Karton itu jatuh tepat di dekat kaki Darlen. Darlen mengambilnya dan membuka gulungannya. Darlen membaca tulisan yang ada dikarton itu yang isinya dukungan khusus untuk Ungke.
Anye buru-buru mengambilnya meskipun sebenarnya sudah terlambat karena Darlen sudah membaca semua tulisan dukungannya yang dibuat khusus untuk Ungke.
“Nggak apa-apa kan kalau aku lebih mendukung kelas aku ketimbang kamu? Karena aku kan kelas III IPA 1,” kata Anye yang mencoba membuat alasannya masuk akal dan berharap dapat dimaklumi Darlen.
“Kalau kamu memang mendukung kelasmu tapi kenapa di situ hanya tertulis nama Ungke?” Kata Darlen seperti tak mau mudah dibodohi.
Anye gelagapan.
“Aduh….Ya Tuhan, aku bagaikan buah simalakama sekarang. Dukung Ungke salah. Dukung Darlen juga salah. Dukung Ungke tapi Darlennya yang cemburu. Padahal kan wajar aja kalau aku mendukung Ungke karena aku kelas III IPA 1 dan lagipula Ungke itu bukan cuma teman biasa tapi sahabat aku sejak kecil. Seharusnya Darlen kan ngerti! Tapi kalau aku mendukung Darlen, maka teman-teman sekelasku akan mencap aku pengkhianat. Aduh…pusing!” jerit Anye dihatinya.
“Darlen,” panggil Shalu.
Darlen menoleh.
“Ayo, segera kita ke lapangan karena sebentar lagi pertandingan akan dimulai,” lanjut Shalu.
“Aku pergi sekarang. Sampai nanti,” pamit Darlen pada Anye.
“Iya,” sahut Anye pendek. Namun, tiba-tiba Anye memanggil Darlen saat ia belum jauh melangkah.
“Aku berharap pertandingan nanti akan berjalan sportif.”
“Pasti.”
Darlen dan teman setimnya pergi menuju lapangan sedangkan Anye pergi ke bangku penonton bergabung dengan teman-teman sekelasnya. Anye berteriak keras memanggil-manggil nama Ungke dan Ungke menolehnya seakan mendengar panggilannya diantara keriuhan aula yang ramai dipadati oleh penonton. Langsung saja Anye memperlihatkan dukungannya yang tertulis dalam karton itu. Ungke membacanya lalu tersenyum penuh arti padanya. Anye merasa senang karena Ungke jadi tahu kalau ia lebih memilih mendukungnya ketimbang mendukung Darlen. Sementara di sisi lain, Darlen yang juga menyaksikan aksi dukungan Anye di atas sana, kecewa dan cemburu.
Di lapangan, kedua tim masih melakukan pemanasan. Darlen tampak siap dalam kondisi percaya diri yang tinggi dan mental yang sangat baik. Berbeda dengan Ungke yang tampak grogi dan sangat tegang. Ungke sangat terbebani mentalnya akibat kekalahannya yang kemarin dalam kontes Shoot Out apalagi tahun lalu Darlen merupakan MVP yang mampu berhasil membawa kelasnya juara. Itu jelas, Darlen bukanlah lawan yang pantas untuk diremehkan.
Darlen punya kepentingan dalam pertandingan ini dan ia memiliki motif yang sangat kuat untuk menang. Ia ingin terlihat lebih hebat dari Ungke dihadapan Anye apalagi setelah ia tahu fakta bahwa Ungke adalah sahabat Anye sejak kecil dan Anye cenderung lebih mendukung sahabatnya ketimbang dirinya yang merupakan pacarnya sendiri. Sikap Anye ini tentunya mengundang kecurigaannya bahwa Anye tak semata-mata mendukung Ungke lantaran karena Ungke mewakili kelasnya saja tapi pasti ada alasan lain apalagi setelah ia mengetahui riwayat persahabatan antara Anye dan Ungke sudah dimulai sejak TK sampai SMA. Persahabatan yang sudah berlangsung cukup lama itu telah membuatnya sangat khawatir karena menurutnya sudah jamak cerita yang didengarnya yaitu dari sahabat menjadi pacar. Proses perkenalan mereka yang cukup lama itu bisa saja menjebak perasaan mereka untuk saling mengagumi secara diam-diam hingga tumbuh menjadi cinta. Ia sungguh takut hal itu akan terjadi pada Anye dan Ungke.
Setelah pemanasan dirasa cukup, wasit meminta masing-masing leader tim untuk melakukan jumping ball.
Ungke dan Darlen berdiri saling berhadapan diantara garis tengah lapangan sebagai pemisah kubu dari kedua tim. Sedangkan di belakang mereka tampak berjaga-berjaga untuk menerima bola. Kelas III IPA 1 selain diwakili Ungke di lapangan juga oleh Dive, Enru, Galuh, dan Ronald dengan memakai kostum olahraga berwarna kuning sedangkan kelas III IPA 4 selain Darlen, tim ini juga diwakili oleh Robin, Shalu, Egan, dan David dengan memakai kostum berwarna biru.
“Kau boleh saja merebut Lisa dariku, tapi kali ini aku tak kan pernah mau melepaskan Anye untukmu setelah aku berhasil menemukannya dari dunia mimpi ke dunia nyata,” gumam Darlen dalam hatinya yang menatap dingin Ungke.
“Gue akan tunjukkan sama Anye kalau gue lebih baik dari pacarnya,” gumam Ungke dalam hatinya yang juga menatap dingin Darlen.
Setelah dilihat semuanya siap, wasitpun mulai melemparkan bola basket ke udara. Baik Ungke maupun Darlen sama-sama melompat dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tapi ternyata Darlenlah yang berhasil menyentuh bola itu dan mampu diraih oleh Robin. Robin bergerak sangat lincah dan cepat dalam mendrible bola. Namun, ketika ia terkepung lawan, ia mengoper bolanya pada Shalu yang tidak dijaga ketat. Shalu mendriblenya sambil mencari celah untuk menembak tapi Shalu memutuskan untuk mengopernya pada Darlen yang posisinya menguntungkan dan langsung saja Darlen melakukan lay up. Skor 2 pun tercetak di papan skor untuk kelas III IPA 4.
Tepukkan riuh menyambut point pertama yang dicetak oleh Darlen untuk kelasnya. Timnya Ungke berusaha untuk mencetak point namun upaya mereka gagal hingga bola rebound itu ditangkap oleh Egan. Timnya Ungke tak mampu mencuri bola yang didrible dan dioper secara cepat oleh timnya Darlen sehingga untuk kedua kalinya Darlen mencetak 2 angka setelah mendapat passing cantik dari Shalu. Ungke berusaha membalasnya namun ia gagal melakukan tembakan 3 angka. Sementara Darlen berhasil melakukan tembakan 3 angka.
Anye sangat terkejut melihat penampilan Darlen yang seperti punya energi ekstra yang entah didapatnya dari mana. Padahal ia tidak memberikan dukungan pada Darlen. Tampak di lapangan Darlen memperlihatkan perlawanan sengitnya dengan memblocking tembakan Ungke sehingga gagal meraih point. Bola itu dapat ditangkap oleh Egan. Mereka saling oper hingga operan terakhir jatuh ke tangan Darlen dan Darlen melakukan aksi slum dunknya yang menawan dan memukau semua penonton kecuali kelas III IPA 1 hingga mengundang tepukkan riuh. Skorpun menjadi 9 angka untuk kelas III IPA 4 sementara III IPA 1 masih 0.
Timnya Darlen tampil sangat solid dan kuat di lapangan. Berbagai aksi permainan cepat, tembakan 2 dan 3 angka yang cantik, dribbling bola yang indah, passing bola yang tepat, dan pertahanan yang kokoh telah mereka pertontonkan dengan baik ke penonton. Mereka melakukan passing tanpa harus melihat dulu rekannya berada di mana posisinya tapi passing-passing yang mereka lakukan selalu tepat ke arah teman setimnya. Jadi, mereka bermain sudah seperti memakai telepati saja. Aksi permainan mereka sungguh enak ditonton sehingga membuat banyak penonton yang berdecak kagum.
Hanya sedikit peluang yang didapat oleh timnya Ungke yang mampu dicetak menjadi angka dan mereka benar-benar seperti dibuat kewalahan pada quarter pertama ini. Hasil sementara di quarter pertama inipun berakhir di skor 27 untuk perolehan point yang dicetak oleh kelas III IPA 4 dan 12 point untuk kelas III IPA 1.
Disaat jeda, pelatih tim kelas III IPA 1 meminta agar anak-anak asuhnya tidak hanya fokus menjaga Darlen saja tapi juga harus mengunci pergerakkan Egan karena dialah yang selalu menjadi pembuka bagi tim kelas III IPA 4 untuk mencetak angka. Berbagai aksi rebound, memotong bola, dan mencuri bola dilakoni dengan sangat baik oleh Egan. Belum lagi blocking yang selalu dilakukan dengan sangat bersih oleh David yang berhasil menggagalkan Tim kelas III IPA 1 mencetak point serta penjagaan pemain yang begitu ketat dilakukan oleh Shalu. Disiplin seakan menjadi kunci kemenangan tim kelas III IPA 4 di quarter pertama.
Saat di quarter kedua ini, para pemain kelas III IPA 1 melakukan semua intruksi pelatih dengan sangat baik sehingga di quarter kedua ini mereka dapat memperkecil ketertinggalan menjadi 50 point untuk tim kelas III IPA 4 dan 47 point untuk tim kelas III IPA 1. Begitu pula di quarter ketiga mereka dapat memperkecil ketertinggalan hanya dengan ½ bola yaitu 71 point untuk tim kelas III IPA 4 dan 70 point untuk tim kelas III IPA 1. Dengan ketertinggalan hanya 1 point itu membuat para pendukung tim kelas III IPA 1 bisa bernapas lega dan timbul harapan bahwa mereka masih punya peluang untuk bisa menang dalam babak penyisihan ini.
Pada quarter keempat ini, pertandingan semakin seru saja. Kedua tim saling balas mencetak angka. Ungke dan Darlen menjadi bintang di masing-masing tim. Aksi mereka berdua di lapangan sudah seperti pamer keahlian siapa yang lebih hebat. Darlen melakukan lemparan 3 angka lalu Ungkepun membalasnya juga dengan lemparan 3 angka. Sebaliknya, Ungke melakukan slum dunk lalu Darlen pun membalasnya juga dengan aksi slum dunk. Bahkan Ungke sampai harus terjatuh ke luar lapangan saat dirinya mencoba memblocking pergerakan Darlen agar slum dunknya gagal tapi ternyata sia-sia saja usahanya. Usai berhasil mencetak angka, Darlen menunjukkan sikap sportifnya dengan mengulurkan tangannya pada Ungke untuk membantunya berdiri dan Ungkepun ternyata mau menerima uluran tangan Darlen. Penonton yang menyaksikan itu langsung berdiri dan bertepuk tangan sebagai apresiasi dari sikap sportivitas yang diperlihatkan oleh kedua pemain itu.
Semua anak kelas III IPA 1 berteriak histeris tatkala Enru berhasil memotong bola Shalu yang hendak dioper pada Darlen. Enru mendriblingnya lalu mengoper pada Ungke, Ungkepun melakukan jump shoot hingga kelas III IPA 1 pun jadi berbalik unggul ½ bola atas tim kelas III IPA 4. Ungkepun meluapkan kegembiraannya dengan mengadu keras dadanya pada Enru. Anak-anak kelas III IPA 1 melonjak kegirangan menyambut keunggulan kelas mereka.
Darlen mencoba membalasnya dengan melakukan aksi slum dunk. Ungke berusaha memblockingnya tapi Ungke malah melakukan technical foul terhadap Darlen sehingga timnya terkena pinalti dan Darlen mendapat hadiah 2 lemparan bebas. Mudah saja buat Darlen untuk melakukannya. Lemparan pertama berhasil masuk dan lemparan kedua juga masuk sehingga kelas III IPA 4 berbalik unggul ½ bola atas tim kelas III IPA 1.
Ungke berusaha memperbaiki kesalahannya dengan melakukan tembakan 3 angka. Namun, usahanya gagal dan bola rebound pun ditangkap oleh Egan. Egan mendriblingnya hanya sebentar lalu mengoper keras bolanya jauh ke Darlen yang sudah berdiri menanti di dekat keranjang dan Darlenpun langsung memasukkan bolanya ke keranjang. 2 angka yang dicetaknya itu telah membuat skor kelas III IPA 4 menjadi unggul 3 point. Skorpun kini menjadi 84 point untuk kelas III IPA 4 dan 81 point untuk kelas III IPA 1.
Ungke seakan belum menyerah dan kapok, Ungke mencoba lagi membalasnya dengan lemparan 3 angka dan berhasil masuk sehingga kedudukan imbang yaitu 84 – 84. Darlen tentu saja tak tinggal diam, Darlen pun membalasnya dengan melakukan lemparan 3 angka juga. Skorpun berubah menjadi 87 untuk kelasnya, unggul 3 point dari kelasnya Ungke yang skornya masih 84.
Dive melakukan lemparan ke dalam dan diterima oleh Ronald. Ronald mendriblingnya lalu mengoper silang pada Enru. Namun, ketika Enru mencoba mengopernya pada Ungke, datang Shalu memotong operan bolanya. Dive dan Ronald berusaha menghalanginya dan merebut bolanya. Namun, tak bisa karena self-defends (pertahanan) Shalu begitu kuat. Shalu begitu lincah dalam menghindari Dive, Ronald, Enru dan Galih. Tapi sehebat-hebatnya tupai meloncat akhirnya jatuh juga, persis itulah Shalu. Ungke datang dari arah yang tidak diduganya, berhasil mencuri bola dari tangannya karena kelalaian Shalu yang terlalu lama mendribling bola dan lambat mengopernya kepada teman-teman setimnya yang berteriak agar bolanya segera dioper. Shalu sepertinya memang sengaja melakukan hal itu untuk memperlambat waktu.
Ungke masih mendribling bolanya, Ungke melihat waktu hanya tersisa seperkian detik lagi. Tak ada celah dia untuk bisa masuk ke area lawan apalagi mengoper bolanya. Ungke memutuskan untuk melakukan tembakan 3 angka agar bisa menyamakan kedudukan dan terjadi over time (perpanjangan waktu).
Bisikan-bisikan beserta doa dari teman-teman sekelasnya agar bola itu masuk ke keranjang mengiringi lemparan bola itu. Namun, apa daya lemparannya gagal dan waktupun berakhir. III IPA 4 menang dengan skor 87 point dan hanya selisih 3 point dari kelas III IPA 1 dengan skor 84 point.
“Yaaahhhh…kita kalah lagi!!” Teriak teman-teman sekelasnya kecewa.
Berbeda dengan anak-anak kelas III IPA 4 yang menyambut kemenangan timnya dengan melonjak dan bersorak kegirangan.
Di lapangan terlihat juga pemandangan kontras. Darlen dan teman-teman setimnya berdiri melonjak-lonjak membentuk lingkaran sambil menyanyikan lagu himne kemenangan. Sedangkan raut wajah kecewa, kesal dan marah menyelimuti kubu tim kelasnya Ungke. Betapa kekalahan ini amat menyakitkan untuk mereka karena sebelumnya mereka sempat punya peluang untuk memenangkan pertandingan ini.
Dengan rasa kesal, kecewa dan marah, Ungke keluar dari aula. Ungke sungguh tak tahan melihat timnya harus kalah dibabak penyisihan oleh kelasnya Darlen karena idealnya tim mereka harusnya bertemu di final.
Anye mengikuti Ungke keluar Aula. Anye bermaksud ingin menghibur Ungke tapi ternyata Ungke malah menghardiknya.
“Mau apa kamu ke sini? Kamu pasti senang kan pacarmu menang lagi?”
“Kamu apaan sih? Niat aku nemenin kamu karena aku ingin menghiburmu. Tapi kamu malah sinis kayak begini ke aku.”
“Aku nggak butuh dihibur sama kamu! Lebih baik kamu samperin aja sana pacar kamu!”
“Kamu kenapa sih? Kok kayaknya kamu nggak suka banget sama Darlen?”
“Mesti berapa kali aku bilang kalau aku nggak suka kamu berpacaran sama Darlen!”
“Kenapa kamu larang aku berpacaran sama Darlen? Emangnya kamu siapa aku? Papa aja nggak melarang.”
“Karena aku…” Ungke menggantung kalimatnya sesaat, “sahabat kamu,” lanjutnya tak berani mengatakan alasan yang sesungguhnya.
“Kamu cuma sahabat! Bukan papa aku, bukan kak David dan juga bukan PACAR. Jadi, kamu nggak ada hak melarang aku pacaran sama Darlen. Kalau kamu memang sahabat, sudah seharusnya kamu mendukung dan membiarkan aku pacaran dengan orang yang aku cinta.”
“Kamu bohong! Kamu nggak cinta sama Darlen, iya kan?”
“Anye, ayo kita pergi dari sini,” Darlen tiba-tiba saja datang menarik tangan Anye.
Ungke begitu kesal dan marah melihat Darlen membawa pergi Anye padahal ia belum selesai berbicara dengan Anye. Masih ada jawaban yang harus dijawab Anye dengan sebenarnya yang ingin ia dengar.
“Dasar brengsek!” Maki Ungke seraya mengambil bola basket yang ada di dekatnya lalu melemparkan bola basket itu kencang ke arah kepala Darlen.
“Auwww!!” Darlen berteriak kesakitan memegang kepalanya.
“Ya ampun!” Anye terkejut melihat kepala Darlen terkena lemparan bola basket yang cukup keras. Anye melihat ke arah si pelempar bola itu berasal. Dilihatnya Ungke tersenyum puas dan tak ada raut wajah bersalah sama sekali meskipun Ungke melihat Darlen kesakitan. Tapi Anye tak ingin menghardiknya sekarang karena ia ingin fokus melihat keadaan Darlen.
Darlen masih merintih kesakitan memegang kepalanya.
“Darlen, kamu nggak apa-apa? Sakit nggak? Kalau masih sakit kita ke Rumah Sakit saja ya. Aku takut kepalamu kenapa-kenapa.”
Meskipun Darlen sendiri sebenarnya merasa kesakitan bahkan ingin rasanya ia mau pingsan tapi ia mencoba untuk terlihat tetap kuat di depan Anye agar Anye tak terlalu khawatir.
“Aku nggak apa-apa,” kata Darlen seraya menahan rasa sakitnya
“Benar?”
“Iya.”
“Ungke itu keterlaluan banget sih. Masak dia melempar bola basket keras banget ke kepala kamu. Itu kan bahaya.”
“Anye, nggak usah,” Darlen menahan Anye yang hendak menghampiri Ungke. “Biarin aja. Ayo kita pulang.” Darlen menuntun tangan Anye masuk ke mobilnya.
“Darlen pasti bohong. Lemparan sekeras itu masak dia nggak kesakitan?” gumam Anye dalam hati yang diam-diam memperhatikan Darlen yang seperti berusaha keras menyembunyikan rasa sakit di kepalanya.
“Kamu beneran nggak apa-apa?” Tanya Anye masih mencemaskan Darlen seraya memegang kepala Darlen.
“Aku nggak apa-apa. Memang, aku tadi sempat kesakitan tapi cuma sebentar kok sakitnya.”
Tiba-tiba saja Darlen merangkul Anye hingga ke pangkuannya kemudian menciumnya. Hati Ungke begitu panas melihatnya. Cepat Ungke berjalan mendekati mobil Darlen. Ungke menarik Darlen keluar dari mobil dan memukul Darlen secara membabi buta. Tak ada perlawanan sama sekali dari Darlen yang memang tak jago berkelahi.
Anye ternganga. Ada satu fakta baru yang ia baru ketahui. “Darlen memang pandai bermusik, bernyanyi, jago gambar, jago melukis tapi ternyata…dia tidak pandai berkelahi. Dari sekian banyak kelebihannya, mungkin ini adalah satu-satunya kelemahannya yang baru aku ketahui sekarang,” gumam Anye dengan hati perih.
“Ini cowok yang kamu bangga-banggain!” Teriak Ungke di depan muka Anye seusai puas memukuli Darlen. “Liat!” Mata Ungke memandang nanar Darlen yang tergeletak lemah tak berdaya, “berantem aja dia nggak bisa! Dia cuma banci!! Banci!!” Teriak Ungke penuh kebencian seraya menendang-nendang tubuh Darlen yang memang sudah tak berdaya lagi.
“Ungke, jangan!” Anye mendorong keras badan Ungke untuk menjauh dari Darlen. “Pergi jauh-jauh kamu dari hidup aku!” Teriak Anye lantang dengan berurai air mata.
“Anye, ngapain kamu nangis buat si banci kaleng itu!”
Plakk! Anye menampar keras pipi Ungke. “Aku benci kamu!! Aku benci kamu!! Aku benci kamu!!” Teriak Anye keras berulang-ulang di depan muka Ungke.
Hati Ungke begitu sedih, bibirnya kelu, tulang-tulangnya seperti mati rasa melihat kebencian yang mendalam yang terpancar dari wajah Anye.
Anye menghampiri Darlen dengan rasa cemas begitu mendengar Darlen merintih kesakitan. Badannya lemas tak tak berdaya hingga tak sadarkan diri lagi.
“Darlen…Darlen…” Anye menepuk-nepuk pipi Darlen dan menggoyangkan badannya. Tapi tetap nihil usahanya karena Darlen tetap tak sadarkan diri membuat Anye jadi cemas. Anye betul-betul panik menghadapi situasi darurat seperti itu. Melihat hal itu, nurani Ungke jadi terusik dan ia pun jadi tergerak untuk melihat kondisi Darlen.
“Kita harus segera membawanya ke Rumah Sakit,” kata Ungke tiba-tiba yang mendapat tatapan heran mata Anye.
“Ternyata Ungke masih punya hati nurani,” gumam Anye dihatinya.
Ungke berinisiatif memapah tubuh Darlen dan Anye juga membantunya sampai masuk ke dalam mobil. Ungke membawa Darlen ke Rumah Sakit dengan menyetir mobil Darlen sedangkan Anye mengikutinya dengan naik taksi karena mobil Darlen hanya muat untuk 2 orang.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺








PERGI !

Darlen koma tak sadarkan diri dengan sekujur badan dan mukanya yang lebam. Sejak hari kemarin sampai sekarang, Darlen belum juga sadarkan diri membuat Anye sangat mencemaskannya. Anye tak henti-hentinya berdoa agar Darlen segera sadar dari komanya.
“Tuhan…tolonglah Darlen. Berikanlah ia kesembuhan. Bangunkanlah ia dari komanya.”
Anye begitu setia menemani Darlen. Tangannya tak pernah lepas dari jemari Darlen agar Darlen tahu bahwa dirinya terus menunggu disisinya dan berharap Darlen dapat segera sadar. Tiba-tiba saja Anye merasakan jemari Darlen yang digenggamnya erat bergerak pelan. Anyepun segera terbangun membuka matanya yang tadi sempat terpejam akibat keletihan karena bergadang sepanjang malam menjaga Darlen.
“Darlen…aku senang kamu sudah sadar,” ucap Anye lega meskipun wajahnya diliputi kesedihan karena tak sanggup melihat wajah Darlen yang lebam. Tidak terlihat lagi wajah tampannya yang seperti biasa dilihatnya setiap hari.
“Aku senang orang pertama yang aku lihat saat sadar itu adalah kamu,” suara Darlen pelan.
“Maaf…maaf…maafkan aku,” suara Anye parau dengan mata berkacak-kacak.
“Syutttt…kamu nggak salah. Tapi aku yang salah karena aku udah ngerebut kamu dari Ungke makanya Ungke sangat marah. Dia melempar bola basket keras sekali ke kepalaku. Dia juga memukulku tanpa ampun, itu semua karena dia sangat marah.”
Anye memeluk Darlen, menangis. Air matanya menetes membasahi bantal Darlen. Anye sungguh bersedih dan menyesal karena dirinya merasa menjadi penyebab dari kemarahan Ungke sehingga Ungke melampiaskan kemarahannnya pada Darlen dan dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Ungke menghajarnya secara membabi buta.
Sementara di luar ruang Darlen dirawat, terjadi suasana yang sangat tegang antara dua keluarga yang berkumpul menunggu pulihnya keadaan Darlen.
“Kami minta maaf atas tindakan kekerasan putra kami terhadap putra Bapak Wisnu dan Ibu Sarah,” suara papanya Ungke, Pak Adi memohon maaf dengan tulus kepada keluarga Darlen.
“Putra saya memang tak pandai berkelahi, Bapak tahu kenapa?” Suara Bu Sarah geram dengan tatapan matanya yang penuh kemarahan. Hatinya pun sangat kecewa karena ia sungguh tak habis pikir anak bungsu kesayangannya habis dibuat babak belur oleh Ungke yang merupakan anak dari relasi bisnis perusahaan keluarganya padahal baik perusahaanya maupun perusahaan Pak Adi sudah memiliki jalinan bisnis yang sangat erat. Dugaannya selama ini kalau tenyata Ungke dan Darlen tak baik hubungannya ternyata benar. “Karena perasaannya sangat halus dan penuh kasih sayang. Dia lebih menyukai bermain musik, bernyanyi, melukis, dan menggambar untuk mengekspresikan diri dan perasaannya daripada menghajar orang,” lanjut Bu Sarah menyindir.
“Ma, sudah,” suara Pak Wisnu mencoba menenangkan istrinya agar tak tersulut emosi.
“Apanya yang sudah, pa? Ungke udah mukulin Darlen sampai koma. Apa mama bisa diam aja melihat anak mama mukanya babak belur. Lihat saja, bahkan tak ada sedikitpun mama lihat penyesalan dari wajahnya.”
“Aku minta maaf Tante, Om,” ucap Ungke akhirnya setelah mamanya menyentuh tangannya untuk memberikan keberanian pada putranya yang sejak tadi hanya diam saja.
“Maaf…,” suara Bu Sarah sangat geram lalu berdiri menghampiri Ungke. “Baru sekarang kamu minta maaf, seharusnya kamu pikir dulu sebelum bertindak barbar terhadap putra bungsu saya!” Bu Sarah sudah benar-benar tak mampu menahan emosinya, ia memukul-mukuli Ungke dengan penuh emosi.
“Ma, sudah ma!” Pak Wisnu mencegah istrinya agar tak kalaf memukuli Ungke terus.
“Iya ma, jangan,” kata Yudha menimpali. “Lagipula kan Ungke sudah minta maaf dan Yudha rasa Ungke juga pasti sudah menyesal atas perbuatannya.”
“Papa sama kakak gimana sih? Kok malah ngebelain Ungke? Diakan udah bikin anak bungsu kesayangan mama jadi koma!” Suara Bu Sarah jengkel karena suami dan anak sulungnya tidak ada dipihaknya tapi malah dipihak orang yang sangat dibencinya.
“Tante…Om…Darlen sudah sadar,” suara Anye yang baru saja muncul sedikit mencairkan suasana yang sempat tegang. Semuanya senang mendengar kabar gembira itu lalu mereka semua bergegas menengok keadaan Darlen. Tapi Bu Sarah mencegah Ungke dan orangtuanya masuk.
“Silahkan kalian pulang. Saya rasa anak saya tidak sudi dijenguk oleh keluarga yang hidupnya lekat dengan kekerasan seperti kalian,” kata Bu Sarah menyindir tajam.
Dalam hatinya Ungke sangat geram mendengar tudingan Bu Sarah yang menurutnya itu tidak benar sama sekali tapi Ungke mencoba menahan dirinya sebagai tanda bahwa ia masih menghormati Bu Sarah dan kedua orangtuanya.
“Ya sudah kalau begitu, Bu Sarah dan Pak Wisnu, kami semua permisi. Kami doakan semoga putra Bapak dan Ibu cepat sembuh,” kata Pak Adi. Baik dirinya dan istrinya sama sekali tak tersinggung dengan ucapan Bu Sarah meskipun itu tidak benar. Pak Adi dan istrinya memakluminya. Coba bayangkan, Ibu mana yang tak marah bila anaknya dipukuli sampai babak belur dan koma seperti itu.
Saat sudah masuk ke ruangan, Bu Sarah sungguh tak kuasa melihat putra bungsunya terbaring menderita dengan lilitan infus dan sekujur luka-luka lebam di wajah dan badannya lalu ia pun menangis.
“Darlen…gimana Nak apa kamu masih merasa kesakitan?” Tanya mamanya seraya mengusap lembut kepalanya. “Ya Tuhan, mama sungguh nggak sanggup melihat kamu terbaring lemah seperti ini dengan wajah lebam.”
“Ma… jangan nangis dong, ma. Darlen nggak apa-apa, kok,” ucap Darlen pelan berusaha menyakinkan mamanya agar tak terus menangis. Hati Darlen sedih melihat mamanya menangis tersedu.
“Iya, ma. Luka-lukanya pasti akan segera sembuh karena dia telah ditangani oleh dokter dengan sangat baik,” ucap papanya juga ikut menyakinkan mamanya.
“Jangan khawatir ma, Yudha yakin kalau ade itu orangnya kuat. Jadi luka-luka seperti itu tidak akan membuatnya lemah. Justru kalau mama nangis kayak gitu nanti ade malah jadi makin sedih dan lama sembuhnya,” kata Yudha ikut menyakinkan mamanya juga.
Lalu beberapa saat kemudian datang dokter bersama perawat untuk memeriksa keadaan Darlen.
“Bapak, Ibu serta semuanya silahkan menunggu di luar dulu karena saya ingin memeriksa pasien dulu setelah ia siuman dari komanya.”
Mereka semua menunggu di luar. Setelah beberapa saat memeriksa, kemudian dokter bersama perawatnya itu keluar.
“Bagaimana keadaan putra saya, dok?” Tanya Pak Wisnu.
“Bapak Wisnu dan Bu Sarah, mari kita bicara di ruangan saya.”
“Kakak, tolong temenin ade dulu ya di dalam,” pinta Bu Sarah pada Yudha, anak pertamanya.
“Iya ma,” sahut Yudha seraya mengangguk.
“Anye, tolong kamu jagain juga Darlen di dalam ya. Saya dan istri saya ingin ke ruangan Dokter Ardi dulu,” pinta Pak Wisnu pada Anye.
“Baik, Om.”
Pak Wisnu dan Bu Sarah pergi ke ruangan Dokter yang tak jauh dari tempat Darlen di rawat.
“Setelah dilaksanakan berbagai pemeriksaan, terdapat luka di ulu hatinya karena Darlen mendapat pukulan yang keras tapi jangan khawatir karena kami sudah memberikan tindakan medis yang cepat dan tepat untuk proses penyembuhan lukanya, begitu pula dengan luka-luka lainnya yang ada di sekujur badan dan wajahnya,” jelas Dokter Ardi.
“Tolong dong berikan yang terbaik untuk putra kami,” Bu Sarah memohon.
“Iya Bu, pasti kami akan memberikan yang terbaik untuk putra Ibu.”
“Terimakasih, Dokter,” ucap Pak Wisnu.
“Iya Pak. Ini sudah menjadi tanggungjawab profesi saya.”
◊◊◊
Sudah 3 hari Darlen dirawat di Rumah Sakit dan dihari ketiga ini Ungke berniat menjenguk Darlen sekaligus minta maaf padanya. Ia sungguh menyesal atas perbuatannya yang telah melakukan tindakan kekerasan terhadap Darlen sehingga ia koma dan dirawat. Semua itu terjadi karena Ungke terbawa oleh emosinya yang tak mampu dikontrolnya ketika melihat Darlen mencium Anye di depan matanya. Awalnya Ungke ragu datang menjenguk, ia takut Bu Sarah akan mengusirnya lagi tapi karena ia banyak mendapat nasihat dari kedua orangtuanya akhirnya ia jadi punya keberanian untuk datang menjenguk Darlen sekaligus minta maaf padanya. Untunglah saat ia datang menjenguk, Bu Sarah tidak ada. Darlen hanya sendirian di ruangannya.
“Gue minta maaf,” kata Ungke tanpa ragu-ragu. Ia berharap Darlen mau memaafkannya.
“Aku tahu kau diam-diam menyukai Anye,” tuding Darlen langsung seraya tersenyum sinis.
Ungke terbelalak. Ia tak menyangka Darlen bisa berkata seyakin itu padanya mengenai perasaan terpendamnya pada Anye.
“Kau tahu…aku memang sengaja mencium Anye di depanmu sekedar untuk mengetesmu dan ternyata benar… kau terbakar cemburu lalu menghajarku. Meskipun aku sadar, aku tak menguasai ilmu bela diri sepertimu tapi aku siap menerima resiko terburuknya.Ya…seperti saat ini, aku terbaring di Rumah Sakit hanya ingin membongkar kemunafikkanmu. Kau diam-diam jatuh cinta pada Anye tapi kau juga tak mau melepaskan Lisa. Bukankah kau sangat serakah!”
“Brengsek!” Ungke menarik kerah baju Darlen. Tangannya siap memukul dan tak sedikitpun rasa takut yang dilihatnya dari wajah Darlen yang ada malah wajah menantang.
“Terserah kau mau bilang aku apa. Mau bilang aku banci, brengsek, tapi ingat…aku selalu menang darimu, LOSER,” ucap Darlen meledek.
Kemarahan Ungke memuncak, giginya bergemeretuk keras dan matanya nanar menatap Darlen dengan penuh kebencian. Sekarang dia benar-benar ingin memukul Darlen tapi ketika hendak memukul Darlen, sebuah suara menahannya.
“Ungke!”
“Anye…” Ungke tampak gelagapan ketika ia berbalik badan, langsung mendapati kemarahan diwajah Anye.
“Kamu sungguh keterlaluan! Disaat Darlen masih lemahpun kamu masih ingin memukulnya juga. Apa untuk membunuh orang kamu belajar karate, hah?” suara Anye berang.
“Anye, aku…”
“Pergi!!” Usir Anye lantang tapi Ungke belum juga mau pergi. Ungke masih mau bicara menjelaskan sesuatu alasan padanya.
“Aku bilang pergi!!” Ulang Anye lagi, keras.
“Oke, aku pergi,” kata Ungke akhirnya. Karena percuma bila ia tetap memaksa bertahan untuk menjelaskan alasannya, Anye sudah tak mau mendengarkannya lagi. Hanya kemarahan dan rasa benci yang mendalam yang dapat dilihatnya dari wajah Anye. “Aku melihatmu yang sekarang sudah bukan Anye yang dulu lagi. Kamu sekarang sudah berubah. Aku lebih dulu yang mengenalmu bahkan sudah begitu lama mengenalmu tapi kamu lebih memilih dia yang baru saja kamu kenal,” lanjut Ungke getir lalu pergi meninggalkan ruangan dengan hati terluka, sedih, dan kecewa.
Tangis Anye meledak setelah Ungke keluar dari ruangan. Anye terduduk lesu di lantai. Anye takut Ungke benar-benar pergi dari kehidupannya setelah apa yang ia barusan dengar. Anye menyesali semua sikap kasarnya pada Ungke yang mungkin itu semua telah melukai hatinya.
Darlen tak tega melihat Anye menangis terisak seperti itu. Hatinya pun terasa amat perih. Dirinya tahu kalau Anye diam-diam mencintai Ungke tapi keadaanlah yang membuat Anye tak bisa mengungkapkan perasaannya. Darlen bangkit dari ranjangnya dan mencabut selang infusnya. Darlen berjalan menghampiri Anye
“Anye, jangan menangis karena aku ada di sini.” Darlen memeluknya erat dari belakang berusaha untuk memberikan kekuatan pada Anye tapi sia-sia karena Anye terus menangis semakin hebat saja hingga butiran-butiran air mata menetes deras dipipinya.
◊◊◊
Kondisi Darlen berangsur-angsur pulih. Luka-luka lebam di wajahnya sudah mulai hilang sehingga wajahnya terlihat tampan seperti dulu. Berbagai macam pemeriksaan akhir telah dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada luka-luka berbahaya baik dibagian dalam tubuhnya atau kepalanya dan semua hasilnya dinyatakan baik oleh dokter.
Saat-saat yang dinantikannya untuk bisa kembali ke rumah, akhirnya tiba juga. Hari ini Darlen bisa dinyatakan oleh dokter sudah boleh pulang setelah 6 hari dia dirawat di Rumah Sakit.
“Darlen, aku senang kamu sudah boleh pulang.”
“Kamu, nggak sekolah? Bukankah hari ini proses belajarnya udah mulai aktif lagi setelah seminggu jeda karena ada perlombaan.”
“Nggak apa-apa, lagipula papa udah ngizinin aku untuk jemput kamu. Lagian kan cuma sehari aku nggak masuk sekolah.”
“Makasih ya,” Darlen mengecup kening Anye. “Kamu memang pacar yang baik.”
“Ayo, apa kalian udah siap pulang atau kalian masih ingin untuk tetap terus di Rumah Sakit?” Suara Pak Wisnu setengah berkelakar.
“Ya pulang dong, pa. Darlen kan udah sembuh sekarang,” suara Bu Sarah menimpali kelakar Pak Wisnu.
Mereka semua tertawa termasuk Darlen yang jarang tertawa. Darlen bisa tertawa karena hari ini dirinya begitu bahagia bisa kembali beraktivitas normal lagi seperti biasa bersama Anye karena kalau terlalu lama dirawat, Darlen kasihan pada Anye yang selalu setia menemaninya sepanjang hari dia dirawat sehingga Anye jadi tak bisa pergi ke mana-mana.
DIA BENAR-BENAR PERGI MENJAUH DARI HIDUPKU

Hari ini Anye mulai kembali ke sekolah setelah kemarin ia tidak masuk. Anye terkejut ketika ia masuk kelas, ternyata Divelah yang akan duduk sebangku dengannya hari ini atau bahkan mungkin untuk seterusnya sampai mereka lulus sekolah.
“Ungke benar-benar pergi menjauh dari hidupku sekarang. Dia mengikuti semua pintaku yang saat itu sedang emosi di mana sesungguhnya itu hanyalah ledakkan emosiku yang sesaat saja,” gumam Anye dalam hatinya menyesal.
“Maaf ya. Sumpah! Ini bukan mauku tapi Ungke yang minta tukeran tempat duduk sama aku dan dia maksa banget,” jelas Dive merasa tak enak pada Anye yang kelihatan sedih harus duduk terpisah dengan Ungke.
“Ya udah. Kalau dia memang maunya seperti itu, biarin aja. Aku nggak apa-apa, kok.” Anye berpura-pura acuh tak acuh tapi air matanya kelihatan menetes dipipinya.
“Anye, kamu kok nangis? Kamu sedih ya nggak bisa sebangku lagi sama Ungke? Kalau gitu, aku pindah aja deh sekarang.”
“Dive, jangan!” Teriak Anye keras mengagetkan semuanya. Ia tidak peduli meskipun Ungke dan teman-teman sekelas yang lainnya juga mendengarnya. “Aku bilang tadi kan nggak apa-apa aku nggak sebangku lagi sama dia! Biarin aja kalau dia emang mau duduk di belakang!”
Dive tak tega melihat Anye menangis sedih seperti itu. Akhirnya iapun mengalah dan menuruti semua apa kata-kata Anye.
“Ini semua pasti gara-gara Darlen, makanya Anye sama Ungke sampai harus pisah seperti ini padahal udah dari sejak dulu kecil mereka sahabatan lama banget,” gumam Dive marah dalam hatinya.
Saat istirahat tiba, Dive bergegas mencari Darlen. Setelah dicari-cari akhirnya ia menemui Darlen yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah.
“Darlen tunggu!” Teriak Dive memanggil.
Darlen berhenti. “Ada apa?”
“Elu tuh emang hebat banget ya,” suara Dive geram. “Tahu nggak sih lu, kalau gara-gara elu Anye sama Ungke jadi harus pisah sekarang! Dari TK, SD, SMP bahkan sampai SMA mereka tuh selalu duduk satu bangku. Mereka sahabatan udah lama banget…dari mereka KECIL!!”
“Bukan aku yang misahin mereka. Tapi itu karena mereka sendiri yang maunya seperti itu,” sahut Darlen dengan tetap tenang menghadapi Dive yang emosian.
“Apa maksud ucapan lu? Gue nggak ngerti! Elunya yang kepinteran atau gue yang terlalu bodoh sehingga gue nggak bisa nangkep bahasa lu yang terlalu rumit itu.”
Darlen tak menyahut, ia malah pergi berlalu begitu saja tanpa permisi lagi.
“Kalau elu emang beneran cinta Anye, lu tuh seharusnya nggak egois!” Dive terpaksa berteriak keras agar Darlen bisa mendengar setiap perkataannya. “Di dunia ini nggak ada yang paling berharga selain persahabatannya dengan Ungke!”
Semua teriakkan Dive tak sia-sia karena Darlen tetap menyimaknya baik-baik meskipun ia tetap terus berjalan.
“Apa benar mereka itu benar-benar bersahabat?” gumam Darlen dalam hatinya, getir. Ia teringat Anye yang sampai harus menangis sedih begitu Ungke keluar dari ruangannya dirawat padahal Anye sendiri yang telah mengusirnya. “Kenapa harus sampai menangis sedih saat Ungke benar-benar pergi? Bukankah ia sendiri yang memintanya? Bukankah maunya Ungke untuk pergi menjauh dari kehidupannya bila itu adalah memang pilihannya yang terbaik untuk mereka?” Langkah Darlen terhenti karena ia mendengar seseorang menangis di sebuah sudut tembok kelas yang tersembunyi. Ia mengendap pelan mendekati sumber suara itu. Ia melihat Anye sedang menangis tersedu dibalik tembok itu. Darlen ingat tembok itu adalah tembok yang sama sewaktu ia dulu pernah pergi mencari-cari Anye untuk memberikan 6 kertas bergambar padanya lalu akhirnya menemukan Anye di tembok itu. Darlen meresapi tiap tangisan Anye. Hatinya begitu sedih dan tercabik karena ia tahu sekarang kalau ia tak ada artinya dihati Anye bila dibandingkan Ungke. “Kenapa kamu harus menangis karena berpisah dengannya, Anye? Bukankah sudah ada aku disisimu sekarang?”
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
REKAN BISNIS

“Selamat siang, Pak Wisnu.”
“Selamat siang, Pak Adi. Silahkan duduk. Saya senang Bapak berkunjung ke perusahaan saya,” sambut Pak Wisnu ramah dan hangat diruangan kerjanya.
Pak Adi sangat terkesan dengan sambutan Pak Wisnu yang sangat ramah padahal gara-gara Ungke, putranya Darlen sampai harus masuk Rumah Sakit. Sungguh tak sedikitpun dilihatnya ada dendam dari dalam diri Pak Wisnu.
“Pak Wisnu sekali lagi saya mewakili putra saya, Ungke, saya betul-betul minta maaf atas perbuatan putra saya terhadap putra Bapak, Darlen.”
“Iya, Pak Adi. Saya sudah memaafkannya.”
“Saya juga mengucapkan terimakasih karena Bapak tidak memutuskan kontrak pengiriman barang dengan perusahaan saya setelah kejadian yang menimpa putra Bapak. Sebab tadinya saya sempat khawatir perusahaan Bapak akan memakai jasa forwarding lain untuk mengirimkan barang-barang ekspor perusahaan Bapak.”
“Saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Saya tidak ingin mencampuri urusan pribadi dengan urusan bisnis. Sebagai pribadi seorang ayah, saya memang sedih melihat Darlen terluka seperti itu tapi sebagai seorang businessman saya haruslah professional karena dipundak saya menanggung banyak beban tanggungjawab dari karyawan-karyawan yang saya pekerjakan dan kepercayaan investor dan konsumen yang tetap harus saya jaga. Bapak bisa bayangkan kalau seandainya saya harus memutuskan kontrak, maka distribusi barang akan terhambat, belum lagi harus melakukan tender ulang sementara barang sudah harus segera didistribusikan tepat pada waktunya ke agen-agen kami di luar supaya barang-barang itu bisa cepat sampai ke buyer-buyer kami dan konsumen akhir produksi kami. Saya juga berpikir, yang rugi tentunya bukan hanya perusahaan saya saja, Pak Adi pasti juga akan kehilangan pendapatan miliaran rupiah akibat dari pembatalan kontrak sepihak.”
“Iya, Pak Wisnu benar.” Ada rasa kagum Pak Adi kepada Pak Wisnu yang merupakan rekan bisnis terbesarnya. Dimatanya, Pak Wisnu adalah seseorang yang sangat bijak, berwibawa, lugas, tegas dan sangat berintegritas.
“Sekarang bagaimana keadaan putra Bapak?” Tanya Pak Adi berempati.
“Alhamdulillah, Darlen baik. Darlen sudah pulang dari Rumah Sakit dan sudah bersekolah lagi.”
“Syukurlah Pak kalau begitu, saya ikut senang. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan putra saya memukuli putra Bapak. Sebab, anak saya sendiri tidak mau menceritakan apa alasannya.”
“Sudahlah, Pak, tidak usah dibahas lagi. Lebih baik kita lupakan saja persoalan ini. Semoga kejadian ini bisa menjadi pelajaran yang dapat dipetik hikmahnya baik oleh putra Bapak maupun putra saya, Darlen. Sebab, sayang sekali kan bila kita kedua orang tuanya saja sudah mempunyai hubungan bisnis yang terjalin erat cukup lama sementara Ungke dan Darlen malah bermusuhan.”
“Iya. Pak Wisnu betul. Semoga mereka bisa akur setelah kejadian ini,” ucap Pak Adi penuh harap.
Bincang-bincang mereka di dalam ruangan Pak Wisnu berakhir karena waktu telah memasuki makan siang dan Pak Wisnu mengajak Pak Adi untuk makan siang bersama.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺







MENGENANG KEMBALI SEMUA KENANGAN BERSAMA

Sudah 2 minggu Anye dan Ungke berpisah tempat duduk. Mereka juga tidak pernah lagi bertegur sapa. Setiap kali situasi yang mengharuskan Anye berinteraksi dengan Ungke atau sebaliknya mereka selalu menggunakan Dive sebagai perantara komunikasi diantara mereka.
“Dive, tolong tanyakan pada teman sebangkumu apakah dia sudah selesai mengerjakan soal ulangannya?” Tanya Ungke yang meminta bantuan pada Dive untuk menjembatani komunikasinya dengan Anye. Risikonya sebagai ketua kelas membuatnya harus mengambil kertas ulangan teman-teman sekelasnya termasuk kertas ulangan Anye.
“Anye, kamu udah selesai belum?” Tanya Dive.
“Sudah,” sahut Anye seraya menyerahkan kertas ulangannya pada Dive.
“Katanya sudah. Nih kertas ulangannya juga,” kata Dive rada jengkel seraya menyerahkan kertas ulangan Anye pada Ungke.
“Sampai kapan sih kalian akan seperti ini?” Cetus Dive yang membuat langkah Ungke terhenti dan Anye menoleh ke arahnya. Dive tahu Anye dan Ungke menoleh ke arahnya dan mendengar ucapannya. “Diam-diaman terus!” lanjut Dive memandang lurus ke depan. Dive tak mau memandang baik ke arah Anye maupun Ungke karena ia sangat kesal dengan permusuhan mereka yang belum juga berakhir sampai saat ini.
Baik Anye dan Ungke tak mau menjawabnya. Ungke melanjutkan kembali langkahnya untuk mengambil kertas-kertas ulangan teman-teman sekelasnya.
◊◊◊
“Darlen, boleh nggak kalau sebelum pulang kita jalan-jalan dulu melewati kawasan Sudirman, Thamrin, Kuningan, dan Gatot Subroto?” Tanya Anye ketika sudah masuk ke dalam mobil Darlen.
Darlen sebenarnya merasa aneh tapi ia enggan bertanya. Ia menduga ini pasti ada kaitannya dengan kenangan Anye bersama Ungke dan Anye ingin mengenangnya kembali.
“Boleh.”
“Makasih ya.”
Darlen menyalakan mesin mobilnya. Sepanjang perjalanan sejak keluar dari gerbang sekolah, Anye hanya diam saja tak bergeming. Mata Anye memandang ke luar jendela seperti tatapan kosong. Namun, ketika mobil sudah memasuki kawasan Thamrin, tubuh Anye mulai bergerak dan tangannya aktif menurunkan kaca mobil. Anye seperti mengulang kembali semua kegiatannya dulu sewaktu bersama Ungke melewati jalan yang dipenuhi dengan gedung-gedung jangkung ibukota. Anye memandangi jajaran gedung berkaca yang menghasilkan mozaik atau kolase atas obyek yang dipantulkannya. Anye banyak menemukan mozaik-mozaik menarik dari jajaran gedung-gedung tinggi berkaca itu. Kaca-kaca yang menyusun fasad gedung-gedung tinggi seakan kumpulan puzzle yang menyusun gambar-gambar pantulan bangunan lainnya di sampingnya. Mungkin tak banyak orang yang menyadarinya atau bahkan malas melihatnya lantaran takut dibilang norak tapi buat Anye, ia seperti menemukan keasyikan tersendiri ketika melihat aneka refleksi dijajaran kaca tersebut yang memantulkan bangunan di sebelahnya. Tiba-tiba saja Anye meminta Darlen untuk melambatkan mobilnya ketika melewati bunderan HI. Anye ingat dulu ia dan Ungke pernah berfoto di sana. Mengingat itu, timbul dikeinginannya untuk melihat-lihat kembali semua patung-patung yang ada di Jakarta di mana dulu ia juga pernah berfoto bersama Ungke di situ. Darlen menuruti semua perintah Anye tanpa bertanya banyak pada Anye.
◊◊◊
Anye dan Darlen duduk diujung dermaga menghadap laut lepas.
Ada genangan air mata dipelupuk mata Anye dan dihatinya menahan kerinduan yang teramat dalam kepada Ungke saat ia memandang pulau nan jauh di sana.
“Laut ini adalah kenangan yang masih tersimpan rapi disudut hatiku. Kenangan yang begitu indah saat-saat kita naik boat bersama ke pulau seribu. Akankah kenangan ini bisa terulang lagi? Jika masih ada waktu untuk kami bisa bersama lagi, aku ingin sekali lagi pergi naik boat dengannya ke pulau itu,” gumam Anye dalan hati pilu.
Anye terhenyak ketika Darlen tiba-tiba menggenggam erat tangannya seperti ingin memberikan kekuatan padanya karena Darlen tahu kalau Anye sedang bersedih.
“Katakanlah….jika memang ada sesuatu yang ingin kau katakan. Jangan kau pendam saja itu di dalam hatimu terus karena itu hanya akan menjadi beban.”
Anye merasakan seperti ada dorongan yang kuat untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini selalu mengganjal dihatinya dan tak mampu diungkapkannya. Anye berpikir apa yang telah dikatakan Darlen itu benar. Anye ingin sekali ada seseorang yang tahu akan isi hatinya yang sesungguhnya agar ia merasa lega dan bisa terbagi bebannya kepada orang itu.
“Jika kau mengerti… jika kau mengerti… a… aku sesungguhnya… mencintaimu…sejak kau pergi,” ucap Anye dengan terpatah-patah membayangkan wajah Ungke dalam tubuh Darlen.
Darlen tahu kata-kata itu bukan untuknya tapi untuk seseorang yang sudah ia tahu siapa orangnya. Namun, Darlen berpura-pura tidak tahu. Ia memeluk erat Anye dan membiarkan Anye menangis tenggelam dalam pelukkannya.
“Sudahlah, jangan menangis karena aku ada di sini untukmu dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan selalu ada di sisimu dan kupastikan semua akan baik-baik saja,” kata Darlen berusaha memberikan kekuatan pada Anye yang menangis lemah dalam pelukkannya.
“Terimakasih Darlen karena engkau selalu ada disisiku ketika aku amat sangat membutuhkan seseorang untuk aku berbagi dan menjadi sandaran ketika aku menangis,” suara Anye pelan.
“Aku sekarang benar-benar tahu apa perasaanmu terhadapnya. Ternyata kecurigaanku selama ini bahwa kau diam-diam mencintainya itu benar. Tapi maaf Anye, aku tak bisa membantumu. Jika suatu hari nanti kamu meminta aku untuk melepasmu…aku takkan mau melepaskanmu karena aku sangat mencintaimu. Aku tak masalah jika hatimu harus kau bagi untuk aku dan juga dia, yang terpenting aku bisa memiliki dirimu,” gumam Darlen dalam hatinya, getir.
◊◊◊
Ungke duduk termangu di bangku taman menghadap patung yang ada dikolam air. Patung itu sengaja ia buat sebagai refleksi dari penantiannya yang menunggu untuk bisa berjumpa kembali dengan Anye. Ungke kembali teringat dengan ucapan Dive.
“Sampai kapan gue dan Anye akan diam-diaman terus seperti ini?” desis Ungke pelan. Ungke mengenang kembali semua kenangannya bersama Anye baik saat mereka bercanda, bertengkar, tertawa, musuhan lalu baikkan lagi. Ungke tak menyangka kalau dirinya begitu bahagia bila bersama Anye dan begitu kesepian bila tidak bersama Anye.
“Anye, aku berusaha untuk mencoba memahami perasaanku sendiri terhadapmu. Mungkin aku takkan pernah sadar kalau saja Lisa tidak mencurigai perasaanku terhadapmu. Aku sadar kalau rasa tidak sukaku melihatmu sangat dekat dengan Darlen itu lantaran karena cemburu dan aku sadar mulai mencintaimu sejak aku kehilanganmu, Anye. Aku ingin sekali kita bisa bersama-sama lagi seperti dulu,” suara Ungke seperti mengadu pada angin yang berhembus di taman. Ungke berharap untaian kata-katanya dapat disampaikan bersama hembusan angin pada Anye.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺













BELAJAR BERSAMA DARLEN

Meskipun hari terus berganti hari dan bulan pun terus berganti bulan, belum ada perkembangan berarti antara hubungan Anye dan Ungke. Persahabatan mereka yang telah terjalin cukup lama harus kandas sejak peristiwa itu. Ungke benar-benar menjauh dari kehidupan Anye guna mengikuti pinta Anye yang sesungguhnya itu hanya luapan emosi sesaatnya saja.
Mereka hidup saling mengisolasi diri dengan egoisme masing-masing hati yang tinggi sebagai tembok pemisahnya. Tidak ada yang mau saling bicara satu sama lain. Tidak ada yang mau saling berinteraksi satu sama lain. Tidak ada yang mau melepas egonya.
Sikap keras hati yang mereka tunjukkan berdua telah membuat mereka semakin jauh saja. Di antara mereka sudah tidak ada lagi tegur sapa, istirahat bareng, belajar bareng, pulang bareng, bermain bareng, canda dan tawa.
Bahkan itu terus berlanjut hingga saat Ujian Nasional tinggal beberapa hari lagi. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing dalam mempersiapkan diri mereka menghadapi Ujian Nasional nanti. Kalau dulu sewaktu SMP mereka belajar bersama dalam memecahkan soal-soal ujian kini sekarang mereka berdua harus belajar sendiri-sendiri.
Meskipun kelasnya hari ini tidak ada jadwal Pendalaman Materi untuk persiapan Ujian Nasional, Anye tetap rajin belajar di perpustakaan.
“Duh, ini gimana ya ngerjainnya. Coba di sini ada Ungke, pasti dia bisa ngerjain soal ini,” keluh Anye sendirian di perpustakaan.
“Mana coba lihat,” suara seseorang tiba-tiba datang mengagetkannya.
Anye mendongak terkejut, “Darlen.”
Darlen duduk di sebelahnya lalu Anye menunjukkan soal matematika yang tak bisa dikerjakannya kepada Darlen. Darlen melihat soal itu sekilas lalu mulai mengerjakannya sambil mengajarkan caranya pada Anye.
“Wow! Aku nggak menyangka ternyata Darlen itu anak yang pintar padahal awalnya aku sempat ragu ia bisa mengerjakan soal yang sulit itu,” gumam Anye takjub dalam hatinya.
“Lain kali kalau kamu kesulitan baik soal apapun itu kamu jangan sungkan-sungkan nanya sama aku.”
“Iya. Makasih ya.”
“Ini aku bawain makanan dan minuman untuk kamu soalnya aku lihat dari tadi kamu belum makan. Kamu nggak lagi diet, kan?” Darlen memberikan pizza ukuran medium dan air mineral.
Anye tertawa begitu mendengar kalimat terakhir Darlen. Baginya ucapan Darlen itu persis sebuah candaan untuknya.
“Ih…kamu tuh lucu juga ya. Aku nggak nyangka ternyata kamu tuh bisa berkelakar juga ya. Aku nggak mungkin diet lah soalnya aku kan masih dalam usia pertumbuhan. Tapi makasih ya, kamu udah perhatian banget sama aku.”
Darlen senang bisa membuat Anye tertawa sebab belakangan ini sejak tak pernah bertegur sapa lagi dengan Ungke, Anye selalu murung.
Anye memakan sepotong pizza itu bahkan ia memberikannya juga ke mulut Darlen. Ia tak ingin perutnya kekenyangan kalau ia hanya makan sendirian pizzanya, jadinya ia memutuskannya untuk berbagi pada Darlen. Darlen juga membukakan tutup botol air mineral ketika Anye hendak minum. Anye sangat terkesan dengan perhatian yang diberikan Darlen kepadanya.
Seusai perutnya kenyang, Anye kembali lagi mengerjakan soal-soal yang belum ia kerjakan. Dia tak sendirian dalam mengerjakan soal-soal matematika itu karena Darlen membantunya dengan membimbingnya ketika Anye mulai kesulitan mengerjakannya.
Darlen merasa ada yang janggal ketika dia mengerjakan soal yang dinilainya cukup sederhana dan siapapun pasti dapat mengerjakannya.
“Masak sih soal semudah ini Anye nggak bisa?” Tanya Darlen yang curiga dalam hatinya. Diliriknya Anye yang ketahuan sedang menahan tawa. “Kamu ngerjain aku ya?”
“Nggak. Aku emang beneran nggak bisa, kok,” elak Anye seraya berusaha memasang tampang menyakinkan kalau ia memang benar-benar tak bisa.
“Tapi, kok…,” Darlen kembali melihat soalnya tapi ia tetap tak percaya. Ia melihat Anye yang sedang menahan tawa hingga akhirnya lepas juga ketawanya karena ia merasa senang mengerjai Darlen.
“Tuh kan…kamu ketawa. Berarti kamu tuh bohong. Kamu emang ngerjain aku kan? Ayo ngaku,” Darlen mengelitiki pinggang Anye sehingga Anye kegelian. Anye berusaha sebisa mungkin menghindari tangan Darlen tapi ia tak mampu.
“Ampun, ampun, ampun,” kata Anye menyerah lalu Darlen pun berhenti mengelitikinya. “Iya, aku emang beneran ngerjain kamu. Abis kamu itu kan orangnya serius banget. Jarang ketawa terus juga jarang senyum. Tapi kayaknya aku berhasil deh…karena sekarang aku bisa ngeliat kamu ketawa dan senyum. Kamu tahu nggak, kalau kamu lagi senyum dan ketawa ternyata kamu tuh ganteeeeeng… banget.”
“Uh dasar cewek gombal!” Kata Darlen yang tertawa lalu tersenyum manis.
Dari balik jendela ada Ungke yang ternyata dari tadi memperhatikan Anye, “sepertinya Anye sudah benar-benar nggak membutuhkan gue lagi karena sudah ada Darlen di sisinya yang akan selalu siap membantunya. Tuhan, aku sekarang telah benar-benar merasa kehilangan dirinya,” gumam Ungke. Hatinya terasa perih dan cemburu.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺







HAPPY GRADUATION !

Hari terus berganti dan begitu cepat tak terasa waktu Ujian Nasionalpun telah tiba. Bekal persiapan ujian yang cukup matang telah membuat Anye dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan rasa percaya diri yang tinggi, tenang dan tidak grogi. Anye juga sangat teliti dalam mengerjakan soal-soal ujian karena banyak pertanyaannya yang menjebak. Hari pertama ujian, kedua, dan ketiga dapat dilalui Anye dengan baik. Anye merasa yakin kalau ia akan lulus ujian karena hampir semua soal-soal yang ada dalam ujian adalah mirip dengan bentuk soal-soal yang sudah pernah ia pelajari dalam masa persiapan ujian baik yang diselenggarakan sekolah maupun yang ia pelajari bersama Darlen. Kini kerja kerasnya terbayar sudah setelah menempuh pendidikan selama 3 tahun di SMA, Anye mendapatkan namanya lulus dalam kertas yang ia baca.
“Aku lulus! Aku lulus Darlen!!” Anye memeluk Darlen senang. “Kamu sendiri bagaimana?” Tanya Anye seraya melepaskan pelukannya.
“Aku juga lulus.”
“Horeeee…berarti kita berdua sama-sama lulus! Makasih ya kamu udah banyak membantu aku dalam belajar terutama matematika.”
“Iya, sama-sama. Kamu juga udah banyak membantu aku memahami soal-soal Bahasa Indonesia yang soalnya panjang-panjang dan rumit,” ucap Darlen berusaha merendah diri. Darlen memang jago matematika, fisika, dan kimia tapi dia kesulitan dalam memahami soal-soal bahasa Indonesia yang menurutnya soalnya sangat bertele-tele dan merepotkan karena harus dibaca semua soal-soal yang panjang dengan telaten sedangkan dia adalah orang yang suka sama sesuatu yang praktis. Tapi untunglah Anye banyak membantunya saat mereka belajar bareng menjelang Ujian Nasional.
Tiba-tiba saja ada 4 teman sekelasnya Anye yang datang langsung menyemprot seragam Anye hingga jadi penuh warna-warni. Usai puas menyemprot lalu keempat temannya yang semua cowok itu bergantian menandatangani seragam Anye.
“Jangan lupain kita-kita ya meskipun kita udah lulus,” kata Dive seraya menandatangani seragam Anye. Dive merupakan orang keempat yang menandatangani seragam Anye setelah tadi Enru, Galuh dan Ronald menandatangani seragamnya. “Oh iya, kamu tandatangani juga dong seragamku.”
“Oke, mana sini spidolnya.”
Dive memberikan spidolnya pada Anye. Anye menandatangani belakang seragam Dive dan menulis namanya. Anye juga menandatangani seragam Enru, Galuh dan Ronald.
“Happy graduation,” kata Dive sebelum pergi. Namun, Anye menahannya ketika Dive, Enru, Galuh dan Ronald hendak pergi.
“Eh, tunggu dulu.” Anye merebut semprotan cat berwarna itu dari tangan Dive.
“Happy graduation, Darlen!” Teriak Anye seraya menyemprotkan seragam Darlen dengan cat berwarna biru kesukaannya.
Awalnya Dive, Enru, Galuh dan Ronald terkejut menyaksikannya. Namun, akhirnya Enru, Galuh dan Ronald terpancing juga menyemprotkan seragam Darlen dengan cat berwarna merah, orens, dan hijau. Buat Enru, Galuh dan Ronald sangat menyenangkan bisa menjalin keakraban dengan Darlen yang memiliki pergaulan ekslusif itu dalam suasana menyambut kelulusan seperti ini setelah selama 3 tahun mereka menganggap Darlen adalah si mahkluk es yang dingin dan nggak bisa disentuh. Tapi nyatanya kini sekarang mereka bisa menjalin keakraban dengan menyemprotkan cat berwarna ke seragam Darlen.
Ternyata aksi Enru, Galuh dan Ronald disaksikan juga oleh anak-anak yang lainnya. Merekapun ikut bergabung dan antri menyemprot Darlen dengan cat berwarna bahkan ada yang berani menyemprot di rambut Darlen. Darlen dibuat tak berkutik dengan aksi banyak orang yang dengan semangat 45 menghujaninya dengan banyak semprotan warna. Sehingga jadilah Darlen seperti orang yang baru aja kecemplung cat. Cinta yang tadi sukses membuat rambut Darlen berubah menjadi warna merah, langsung meloncat-loncat kegirangan begitupula dengan Rindu yang sukses mencuri-mencuri kesempatan menandatangani seragam Darlen lalu menulis namanya juga meloncat kegirangan.
“Kapan lagi kita bisa sedekat ini dengan The iceman yang punya penampilan cool itu. Lu bayangin Cin, 3 tahun kita nggak bisa ngedeketin dia dan baru sekarang…di moment seperti ini kita-kita jadi bisa punya alasan untuk deket dan akrab sama dia,” kata Rindu kegirangan.
“Iya, lu bener banget, Rin,” timpal Cinta yang sama girangnya dengan Rindu. “Walaupun baru sekarang tapi itu udah berarti banget buat kita-kita yang udah lama banget pengen deket dan bisa bercanda-canda kayak gini sama dia.”
Sedangkan Bunga tidak ingin ikut-ikutan mengerjai Darlen. Dia malah sibuk mengabadikan peristiwa langka itu dengan memotret setiap detail momentnya. Selain itu ia juga tidak tega melihat Darlen yang biasa dilihatnya selalu tampil rapi dengan pakaiannya yang putih bersih dan berbalut jaket biru kini penampilannya sudah berantakan dengan unsur-unsur warna cat yang bertabrakan dan tanda tangan mulai dari yang kecil, sedang, besar, panjang, dan pendek dengan bubuhan nama-namanya di bawah tandatangannya. Bunga sendiri sebenarnya merasa heran, tumben-tumbenan Darlen tidak memakai jaketnya. Darlen jadi seperti terbiasa melepas jaketnya semenjak Ujian Nasional karena saat ujian berlangsung, setiap siswa memang dilarang memakai jaket atau sweater untuk menghindari terjadinya tindak kecurangan seperti menaruh contekan dibalik jaket atau sweater.
“Eh bagaimana kalau kita foto bersama buat kenang-kenangan,” usul Bunga sambil mengacungkan kamera fotonya.
Semuanya menyambut ide Bunga. Merekapun berjajar rapi, yang di depan berjajar jongkok sedangkan yang dibelakang berjajar berdiri.
“Eh tunggu dulu!” Teriak Dive ketika Bunga hendak memotret.
“Apalagi sih?” Tanya Bunga kesal begitupula yang lainnya juga kesal.
Dive berlari ke arah Ungke dan Lisa lalu menarik mereka untuk bergabung dalam sesi foto bersama. Dive sengaja menyuruh Ungke untuk berdiri di samping Anye sehingga jadilah Anye berdiri dengan diapit Darlen dan Ungke. Ada rasa senang dihati Anye dan Ungke bisa foto bersama yang mungkin ini adalah untuk terakhir kalinya.
“Oke semuanya siap?” Tanya Bunga.
“Siap!” jawab mereka serempak seraya bergaya aneh-aneh.
“Cheers,” aba-aba bunga lalu memotret. KLIK.
LONDON

Pak Erlangga mengetuk pintu kamar Anye dan Anye mempersilahkan papanya masuk.
“Anye, sepertinya kamu serius sekali mempersiapkan dirimu untuk ikut seleksi masuk Universitas Negeri sampai-sampai sudah malam begini kamu masih juga belajar.”
“Iya dong pa, kan ujian sekolah udah selesai. Jadi setelah UN selesai, aku sekarang lagi fokus belajar untuk ikut ujian seleksi masuk Universitas Negeri, pa.”
“Aduh, kalau begini caranya bagaimana saya bisa menyampaikan kabar ini padanya,” gumam Pak Erlangga dalam hati.
“Papa kenapa sih? Kok kelihatannya papa kayak punya sesuatu yang pengin diomongin ke Anye.”
“Anye maaf ya, kayaknya kamu harus memupus impian kamu masuk Universitas Negeri,” kata Pak Erlangga akhirnya dengan suara berat.
“Loh, emangnya kenapa? Jangan bilang kalau papa nggak punya duit untuk nguliahin Anye di Universitas Negeri karena itu nggak mungkin kan untuk seorang Direktur kaya seperti papa.”
Pak Erlangga tergelak. “Kamu tuh ada-ada aja guyonnya.”
“Abisnya papa aneh sih dan Anye nggak ngerti aja. Emangnya karena apa sih pa, Anye nggak bisa kuliah di Universitas Negeri impian aku?”
“Karena papa…” Pak Erlangga menggantung kalimatnya, “akan pindah tugas ke luar negeri, London,” lanjutnya berat.
“Apa! Papa akan pindah tugas lagi. Itu artinya…”
“Iya, karena kamu anak papa, tentunya kamu akan ikut juga ke London. Papa nggak akan mungkin ninggalin kamu sendirian tinggal di sini.”
“Tapi, pa…aku nggak mau berpisah…” Belum selesai Anye berbicara, papanya sudah langsung memotongnya.
“Kamu jangan khawatir karena Darlen akan kuliah juga di London. Semua urusan kuliah kamu sudah diurus sekalian oleh Bu Sarah. Bu Sarah tahu betul mana Universitas yang bagus untuk Darlen dan kamu kuliah.”
“Bukan Darlen, pa maksud aku. Tapi aku nggak mau pisah lagi sama Ungke. Soalnya aku yakin banget anak secerdas Ungke pasti juga ingin masuk Universitas Negeri itu,” Anye menjerit dalam hatinya, getir.
Anye tak bisa berkata-kata lagi. Ia tak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya. Papanya pasti akan merasa aneh karena sepengetahuannya, ia berpacaran dengan Darlen. Ia tak ingin mengungkapkan perasaan cintanya terhadap Ungke pada papanya karena sepengetahuan papanya, ia dan Ungke hanyalah bersahabat yang masing-masing sudah punya pacar. Ia berpacaran dengan Darlen dan Ungke berpacaran dengan Lisa.
◊◊◊
Hari ini Pak Erlangga mengajak Anye ke pameran pendidikan Universitas-universitas di luar negeri. Pak Erlangga mengajak Anye ke stan Universitas yang akan ia masuki nanti di London. Maksud Pak Erlangga mengajaknya ke tempat ini supaya Anye dapat informasi lebih banyak tentang tempat kuliah yang akan dia masuki nanti bersama Darlen tetapi pikiran Anye melayang-layang jauh saat Ambassador dari perwakilan Universitas tersebut menjelaskan detail informasi tentang keungggulan kampusnya.
“Mungkin, kalau aku minta sendiri secara baik-baik agar tak jadi memindahkan papa bertugas ke luar negeri pasti Pak Wisnu akan mau mempertimbangkannya kembali kemudian membatalkannya,” pikir Anye mantap.
“Anye…Anye….” Papanya memanggil berkali-kali hingga akhirnya Anye terhenyak.
“Pa, udah yuk cepetan kita pergi dari sini,” Anye menarik keras lengan papanya menuju keluar gedung tetapi sesampainya di luar, ia berjumpa dengan Lisa yang ditemani neneknya. Merekapun saling menyapa dan bersalaman.
“Lisa, kamu mau ke mana?”
“Oh, aku mau mengembalikan formulir ini?”
“Formulir apa?”
“Formulir masuk Universitas di Amerika.”
“Jadi, kamu mau kuliah di Amerika.”
“Iya, aku seneng banget bisa kembali lagi ke Amerika soalnya aku akan bisa kumpul lagi sama orangtuaku di sana. Oh iya, Ungke juga akan kuliah di Universitas yang sama denganku di Amerika. My life is perfect, right? Selain kumpul lagi sama orangtua tapi aku juga tetap bisa bersama Ungke,” cerita Lisa sangat senang.
Sementara Anye jadi bersedih setelah mendengar semua perkataan Lisa barusan. Padahal tadinya dia begitu bersemangat ingin menemui Pak Wisnu dan memintanya agar tak jadi mengirimkan papanya bertugas ke London. Iapun akhirnya mengendurkan niatnya itu.
“Anye, kamu kenapa?” Tanya Lisa yang melihat perubahan di wajah Anye yang seperti bersedih.
“Ah, nggak apa-apa, kok.”
“Ya udah, kalau begitu aku pergi dulu ya. Bye.”
“Bye.”
“Anye, kita mau ke mana?” Tanya Pak Erlangga setelah Lisa dan neneknya berlalu. “Kita kan belum selesai melihat-lihatnya.”
“Pulang aja pa. Hari ini kepala aku pusing banget.”
“Ya, sudah kalau begitu kita pulang. Biar kamu bisa istirahat di kamarmu.”
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺




MALAM PESTA PERPISAHAN

Malam ini adalah malam pesta perpisahan untuk anak-anak kelas tiga yang telah lulus menempuh ujian sekolah. Semuanya terlihat senang dan menikmati acara pesta malam ini, kecuali Ungke.
Mata Ungke tak pernah lepas memperhatikan Anye yang selalu dikawal oleh Darlen. Ingin sekali rasanya ia datang menghampiri dan menyapa Anye. Namun, ia takut suasana akan bertambah runyam bila ia nekad mendekati Anye.
Bukan hanya Ungke yang memperhatikan Anye secara diam-diam tapi ternyata Ungke juga telah diperhatikan secara diam-diam oleh Dive. Dive mengerti betul apa yang dirasakan oleh Ungke saat ini.
“Ungke, sebaiknya lu samperin Anye,” saran Dive pada Ungke seperti sebuah perintah.
“Males ah.”
“Lu mau sampai kapan bakalan diam-diaman terus sama Anye. Ingat, ini udah malam pesta perpisahan kelulusan kita. Apa lu pikir masih ada waktu lagi bisa ketemu dia kalau bukan di malam ini lu ngomong ke Anye. Mulai baikkan lagi sama Anye.”
“Tapi Anye marah banget sama gue setelah Darlen habis gue bikin babak belur.”
“Lu yakin Anye beneran masih marah sama elu? Katanya lu udah bersahabat lama banget sama dia. Masak lu nggak tahu kalau dia itu berhati lembut, pemaaf dan bukan pendendam. Gue aja yang belum lama kenal sama dia aja tahu.”
Ungke menimbang-nimbang ucapan Dive. Dia menilai ada benarnya juga Dive berbicara seperti itu.
“Oke. Gue akan samperin dia tapi nanti kalau Darlen udah nggak ada sisinya.”
“Nah…gitu dong. Kalau soal Darlen, serahin ke gue,” tukas Dive lalu ngeloyor pergi.
“Dive, lu mau ke mana?”
“Mau menjalankan misi gue demi sahabat gue!”
Ungke menyaksikan aksi Dive yang naik ke atas panggung dan langsung mengambil microphone. Rupanya Dive menjadi MC dadakan di atas panggung untuk memanggil band Cartenz agar segera tampil. Aksi Dive itu jelas saja membuat panitia acara panik karena belum waktunya band Cartenz dijadwalkan tampil tapi melihat banyaknya tepukan riuh yang menyambutnya, panitia tak jadi membatalkannya. Ungke tertawa ceria menyaksikan kenekadan sahabatnya yang setia itu, Dive.
Dari kejauhan sana, Dive mengacungkan jempol bahwa misinya beres dan Ungkepun membalasnya dengan acungan jempol tanda salut.
“Terima kasih Dive,” Ungke tetap mengucapkan rasa terimakasihnya meskipun sebenarnya tidak dapat didengar oleh Dive.
Ungke datang menghampiri Anye setelah Darlen terpaksa harus tampil bersama bandnya.
“Hai,” sapa Ungke.
“Hai,” Anye balas menyapa hangat.
“Aku…” Anye dan Ungke berebutan bicara.
“Ya udah, kamu duluan,” kata Ungke mencoba mengalah.
“Nggak. Kamu aja yang duluan,” kata Anye tak ingin egois.
“Mmm…aku…”
“Kalau soal minta maaf atas kejadian yang kemarin-kemarin, sudahlah…lupain aja. Lagian ternyata hidup tanpa kamu tuh berasa jadi garing banget,” potong Anye seperti sudah tahu apa yang hendak dibicarakan Ungke.
Ungke tertawa mendengar guyonan Anye dan Anyepun juga ikut tetawa.
“Ungke, apa benar kamu akan kuliah di Amerika dan satu Universitas dengan Lisa?”
“Iya. Kamu tahu dari mana?”
“Lisa.”
“Oh…Trus kamu sendiri rencananya mau kuliah di mana?”
“Di London,” sahut Anye tak bersemangat. “Papa pindah tugas lagi ke sana. Jadinya ya aku terpaksa kuliah juga di sana sama…” Anye menggantung kalimatnya. Ia tak siap menerima reaksi Ungke. Ia tak ingin suasana yang akrab ini berubah jadi kacau bila ia menyebut nama Darlen di telinga Ungke karena ia tahu Ungke sangat alergi dengan nama itu.
“Darlen,” sambung Ungke.
Anye terkejut. “Kok kamu tahu sih?”
“Iya. Aku tahu dari papaku. Ya… biasalah, papa dan Om Wisnu kalau udah ketemu... mereka ternyata bukan cuma suka ngobrol soal bisnis aja tapi juga suka sering ngobrolin soal Universitas-universitas yang bagus yang ada di luar negeri hingga pembicaraan jadi nyerempet soal aku yang mau kuliah di Amerika dan soal Darlen yang mau kuliah di London.”
“Kamu kapan berangkat?”
“Seminggu lagi. Kamu sendiri?” Ungke balik bertanya.
“3 hari lagi,” sahut Anye getir.
“Sudah puas bicaranya,” tiba-tiba saja suara Darlen menghentikan suasana keakraban mereka. Saking larutnya berbicara, baik Anye dan Ungke sampai tak menyadari bandnya Darlen telah selesai tampil. Darlen tahu kalau dirinya telah dikerjai oleh Dive supaya Ungke dapat mengobrol bebas dengan Anye. Wajah Darlen terlihat tak senang kekasihnya bicara dengan orang yang diam-diam dicintainya.
“Anye, udah dulu ya. Semoga dilain kesempatan kita bisa ngobrol lebih banyak lagi.”
“Iya,” sahut Anye pendek. Ia tak bisa berkata banyak lagi karena ia ingin menjaga perasaan Darlen. Darlen pasti tahu kalau dirinya tak menyimak lagunya makanya Darlen pasang wajah kesal.
“Darlen,” Anye mencoba merajuknya tapi Darlen malah pergi berlalu darinya. Anye hanya bisa menghela napasnya panjang. Anye berusaha mengejarnya diantara kerumunan tapi langkahnya terlalu kecil lantaran kebaya yang ia pakai tidak memungkinkannya untuk bisa berjalan cepat sehingga Anyepun terjatuh.
Darlen berhenti karena ia mendengar teriakan kesakitan dari bibir Anye.
“Anye, kamu nggak apa-apa?” Tanya Darlen cemas.
Anye tak peduli dengan rasa sakitnya. Ia malah peduli dengan rasa sakit yang ada dihati Darlen di mana rasa sakitnya pasti lebih besar daripada rasa sakit yang ada dikakinya.
“Maaf…aku benar-benar minta maaf. Aku mau bicara dengannya karena aku pikir kita sudah nggak punya banyak waktu lagi untuk saling mengobrol.”
“Hei, kamu kok nangis.” Darlen mengusap air mata Anye lalu memeluknya. “Maafin, aku ya udah marah sama kamu dan bikin kamu nangis.”
Ditempatnya berdiri, Ungke melihat Anye dan Darlen saling berpelukkan. Hatinya terasa perih. Ungke berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya agar tak menetes dibanyak kerumunan orang meskipun saat ini hatinya begitu sedih dan dadanya sesak menahan rasa cemburu.
“Mungkin, aku harus rela melepaskanmu untuknya dan merajut kasih dengan Lisa yang sudah terlanjur menjadi pacarku. Anye, jika saja kau mengerti betapa aku sudah mencintaimu secara diam-diam sejak aku merasakan telah kehilangan dirimu dan sungguh aku tak sanggup hidup tersiksa dengan perasaan seperti ini. Aku harap kau juga tahu bahwa aku mencintaimu. I love you, Anye,” gumam Ungke dalam hatinya, perih.
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺



PERPISAHAN ITU TIBA JUGA

Akhirnya saat perpisahan itu tiba juga. Anye dan Ungke saling mengucapkan kata-kata terakhirnya di Bandara.
“Ungke,” sebut Anye seraya memeluk Ungke erat.
“Ya,” sahut Ungke pendek.
“Adakah pesan terakhir untukku?” Tanya Anye seraya diam-diam mengeluarkan sepucuk surat dari kantong mantelnya dan memasukkannya ke kantong jaket Ungke tanpa sepengetahuannya.
“Mungkin aku akan sangat merindukanmu. Dulu kita bertemu dan berpisah. Kemudian kita bertemu lagi dan sekarang… kita berpisah lagi. Aku berharap ini bukan perpisahan kita untuk selamanya.”
“Aku akan rajin mengirimkan email untukmu dan aku pasti akan selalu menelponmu setiap saat. Aku pasti akan selalu rindu pada suaramu, wajahmu, marahmu, nakalmu, jahilmu dan juga otakmu yang bodoh ini,” Anye berusaha melucu dan mengajak Ungke tertawa untuk menghilangkan kesedihan tapi tetap saja ini adalah hari terberat untuk mereka berdua.
Ungke tak protes dirinya disebut bodoh oleh Anye. “Mungkin kamu benar aku bodoh karena saat ini aku tak bisa mempertahankanmu,” gumam Ungke dalam hatinya perih.
“Aku pasti akan selalu merindukan semua yang ada dalam dirimu dan aku berjanji tidak akan pernah melupakanmu. Kau akan selalu di hatiku selamanya. Ungke, apakah kau keberatan aku pergi?” Tanya Anye dengan suara parau.
“Kau ingin aku mengatakan apa, Anye? Semuanya sekarang sudah sangat terlambat. Kau sudah ada di bandara dan sebentar lagi pesawatmu akan berangkat. Kalau masih ada kesempatan, aku ingin kau tetap tinggal bersamaku,” gumam Ungke dalam hatinya perih.
Anye melepaskan pelukannya karena Ungke belum juga bicara.
“Ungke, apa yang sedang kau pikirkan? Aku bertanya padamu apakah kau keberatan aku pergi?” Tanya Anye lagi.
Ungke menunduk dalam-dalam. Diam-diam ia menahan tangisnya.
“Selamat jalan,” kata Ungke akhirnya seraya mengangkat kembali kepalanya. “Kuharap semua kenangan kita akan terulang. Kuharap kau…kau bahagia di sana bersamanya…sahabat,” lanjut Ungke terpatah-patah. Ungke berjuang keras untuk tidak menangis dan menahan air matanya agar tidak menetes dipipinya. Ia tak ingin Anye tahu bahwa hatinya saat ini begitu sedih karena harus berpisah lagi dengan Anye dan entah kapan akan berjumpa lagi.
Anye menatap dalam mata Ungke berusaha untuk menemukan kebenaran dari ucapannya barusan.
“Dasar bodoh! Bukan itu yang ingin ku dengar. Mengapa di saat detik-detik terakhirpun kau tidak juga mampu mengucapkan 3 kata yang kuinginkan. Ungke, aku mencintaimu dan apakah kau juga mencintaiku?” jerit Anye dalam hati.
Ungke kembali memeluk Anye sangat erat seperti tidak ingin melepasnya pergi. Sikap Ungke sangat bertolak belakang dengan ucapannya.
Disaat itupula, Anye menarik kembali suratnya dan diremas-remasnya kuat dalam kepalan tangannya lalu dibuangnya surat itu ke tempat sampah yang ada di dekat mereka. Betapa kecewa hatinya karena Ungke merelakannya pergi dan melepaskannya untuk Darlen. Tak ada gunanya lagi surat yang ia buat semalaman suntuk bila Ungke sendiri tak merasakan hal yang sama dengan dirinya. Padahal jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, Anye ingin Ungke bisa seperti Darlen yang begitu berani menyatakan cinta padanya.
“Anye, ayo berangkat. Kita sudah sangat terlambat,” Darlen menarik paksa tangan Anye dan membawanya pergi menjauh dari Ungke.
Butiran-butiran air mata akhirnya menetes juga dipipi Ungke setelah cukup lama ia menahannya. Tangisnya mengiringi kepergian Anye yang juga menangis di sana.
“Selamat jalan, bidadari kecilku. Semoga Tuhan mempertemukan kita kembali. I love you,” tutur Ungke pilu seraya menatap Anye yang terus melangkah dalam genggaman erat tangan Darlen. Tiga kata yang sangat diinginkan Anye telah keluar dari ucapannya namun percuma karena Anye sudah tak mungkin bisa mendengarnya.
Anye mengucapkan untaian puisi yang ia buat dalam suratnya tadi yang urung ia berikan pada Ungke. Ia seakan tak peduli bila Darlen juga mendengarnya dengan seksama ditengah-tengah keriuhan suasana bandara.
“Yang tersisa bukanlah sisa cinta. Untaian cinta kasih masih tersimpan rapi di sudut hati. Rasa yang ada bukan sekedar fantasi. Ada rahasia terselubung dalam hati kecilku yang takkan mampu kuungkapkan. Akankah sirna ditelan waktu? Kutebar asa disetiap langkah untuk menggapai hatimu. Ku tutup telinga dan berpicing mata. Aku hendak menjerit, tapi….Ku coba menahan gejolak didada. Haruskah ku diam seribu bahasa menantikan waktu yang berbicara? Dengan sepintal harapan semu. Raih hatimu pun aku tak sanggup. Yang tercipta hanya sketsa raut wajah yang mengisi ruang hatiku. Ada ribuan harapan yang tersimpan. Ku panjatkan doa di tepian malam…” Anye menggantung puisinya. Ia merapat ke kaca mencari sosok yang ia cari. Matanya masih melihat Ungke berdiri di sana, diam tak bergerak diantara lalu lalang manusia. Jauh Anye menatapnya dengan rasa cinta yang dalam, akhirnya ia tuntaskan juga untaian puisinya. “Untukmu yang tak mengerti aku.”
“Anye, ayo cepat kita jalan,” Darlen mengingatkannya.
“Sebentar,” pinta Anye lembut. “Aku ingin melihat dia untuk terakhir kalinya. Aku merasa ia ingin mengucapkan sesuatu di sana.” Anye kembali menatap Ungke setelah ia mendapat pengertian dari Darlen yang mau bersabar menunggunya.
“Anye, kan ku untai puisi indah untuk mengiringi kepergianmu,” suara Ungke lirih seraya menatap Anye yang masih berdiri dari balik kaca seperti enggan meninggalkannya. “Entah mengapa…gelora cintaku kian membara. Walau aku tak menginginkan ini, sehebat ini…?! Walau hatiku dan hatimu takkan bertemu, walau tak ada tegur sapa di antara kita, kan ku lukis raut wajah di hamparan awan dan kan kupandangi selalu. Disetiap desah nafas, naluriku berbisik…Diakah sandaran hidupku? Seandainya kau mengerti dan merasakan apa yang kurasakan. Saat ini…aku tak tahu. Rasa ini membuatku semakin menderita. Mengertilah….Terpuruknya aku dalam besar pengharapan,” Ungke menelan pahit ludahnya karena belum sempat ia melanjutkan puisi terakhirnya, ia melihat Darlen menarik paksa tangan Anye untuk segera kembali berjalan menuju pesawat. Dengan pahit, Ungke melanjutkan baris terakhir puisinya meskipun ia sendiri sadar kalau puisinya itu tidak mungkin bisa didengar oleh Anye, “Adakah cintanya untukku?”
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺






















PENULIS
JIKA KAU MENGERTI AKU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar